Quo Vadis Sarjana IAIN Ar-Raniry

Oleh : Teuku Muhammad Syahrizal

Institut Agama Islam Negeri (IAIN), merupakan tempat studi perguruan tinggi (PT) yang menitik beratkan disiplin ilmu dalam cakupan Islam pada sistem perkuliahannya. Di Indonesia, tersebar lebih kurang 16 IAIN di beberapa wilayah, di samping juga terdapat beberapa Universitas Islam Negeri (UIN) yang sangat sering kita dengar akan gaungnya, seperti UIN Sunan Kalijaga yang bertempat di Yogyakarta atau UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain IAIN dan UIN, terdapat pula Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) yang juga memiliki disiplin ilmu dengan bungkusan keagamaan Islam dalam sistem perkuliahannya. Begitu juga dengan IAIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh, yang merupakan salah satu PT Jantong Hatee masyarakat Aceh untuk melahirkan sarjana yang berkopeten.

Sejak petama lahirnya IAIN Ar-Raniry yang diawali oleh Fakultas Syari’ah pada tahun 1960 dan Fakultas Tarbiyah tahun 1962, tentunya pendidikan Agama Islam ini telah mewisudakan ribuan mahasiswa/i dari berbagai fakultas. Bahkan, pada wisuda tahun 2012, tepatnya pada tanggal 20 september 2012 lalu, IAIN Ar-Raniry mewisudakan 841 mahasiswa/i. Dengan rincian Pascasarjana 33 orang, Fakultas Syariah, 151 orang, Fakultas Ushuluddin, 41 orang, Fakultas Dakwah, 65 orang, Fakultas Adab, 112 orang dan Fakultas Tarbiyah 439 orang. Sehingga pada tahun 2012, PT yang terdiri dari 5 Fakultas ini mencatat sejarah baru dalam ruang lingkup kampus sebagai Wisuda terbanyak sepanjang Sejarah IAIN Ar-Raniry. Bahkan, Pembantu Rektor bidang akademik Prof. Drs. H. Amirul Hadi, MA, Ph.D disela-sela persiapan tempat rapat tebuka senat dan wisuda IAIN (18/9) di kantornya Biro Rektor, seperti yang dimuat pada The Globe Journal edisi Selasa, 18 September 2012, menyebutkan bahwa diantara 841 yang telah diwisudakan terdapat 136 yang memperoleh predikat istimewa pada yudisium strata satunya. Tentu ini merupakan prestasi yang sangat mengagumkan yang bisa diukir oleh Institut Agama ini.

Namun, prestasi mangagumkan ini menyimpan banyak pertanyaan yang bisa dilontarkan, baik oleh akademisi, non akademisi bahkan oleh masyarakat awam sekalipun. Di antaranya, Apakah lulusan IAIN Ar-Raniry bisa menjawab tantangan zaman dan dapat memberikan tambahan wawasan di dunia keperpustakaan (sumbangan pemikiran baru di dunia pendidikan)? Terlepas, dari para sarjana tahun 2012, 2011, 2010, dan tahun-tahun yang telah lalu.

Banyak kisah dan fakta terekam di memori, menyangkut pertanyaan tersebut. Misalnya saja pemikiran Mahasiswa baru yang masuk ke Perguruan Tinggi. Mereka lebih melihat peluang kerja yang pasti dari studinya, sehingga secara tidak langsung menuntun mereka untuk menyelesaikan kuliah dikarenakan ijazah dan kerja. Harapan atau pun keinginan yang demikian memang tak salah, karena dunia kerja bagian dari kehidupan. Akan tetapi, kita juga harus melihat kouta yang di butuhkan dan juga Sumber Daya Manusia (SDM) yang mengincar posisi tersebut. Atau secara kasar bisa dipresentasekan 1 : 100. Sehingga peluang atau kesempatan untuk posisi tersebut belum tentu bisa kita dapatkan. Jadi wajar, sarjana yang seharusnya bisa memberikan terobosan baru di dunia pendidikan, beralih kepada profesi swasta, wiraswasta atau menjadi pengangguran. Begitu juga bagi mahasiswa yang telah sarjana, yang mengincar posisi tertentu di berbagai bidang di dunia kerja. Sedangkan ilmu yang telah didapat hanya sebagai jembatan menuju dunia kerja, bukan jembatan menuju pembentukan SDM yang baik.

Tentu terdapat faktor yang mendorong seseorang memposisikan kuliah sebagai ajang mencari kerja, sekaligu mengakibatkan penyimpangan dalam memahami pendidikan di dunia perkuliahan. Adapun faktor tersebut meliputi faktor eksternal dan internal.

Pada faktor eksternal, bisa dikatakan pula faktor yang berasal dari lingkungan. Faktor ini disebabkan pengaruh sosio masyarakat yang mengarahkan kita secara tidak langsung pada pemikiran “kuliah-kerja.” Misalnya saja, di masyakat kita yang dari dulu telah mengedepankan kerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah pekerjaan yang terbaik. Sehingga para sarjana berlomba-lomba mengejar posisi tersebut.

Selain itu, faktor eksternal ini juga disebabkan oleh pemahaman siswa/i Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat yang hendak memasuki PT. Pada faktor ini, Dekan Fakultas Syari’ah Dr. Nazaruddin A. Wahid, MA., saat menjadi pemateri di Radio Seulaweut 91FM (2 September 2012) yang membahas tema “Meluruskan Visi Perkuliahan.” Beliau mengelompokkan siswa/i tamatan SMA/Sederajat kepada tiga katagori. Pertama, SMA/Sederajat sebagai penyelesaian tugas sebagai siswa/i. Kedua, para siswa juga melihat jurusan yang dipilih memudahkan mereka mendapatkan kerja atau tidak. Ketiga, orangtua dan teman yang mengarahkan dia masuk jurusan tertentu. Sehingga tidak heran ketika banyak sarjana disekitar kita kurang bisa mengamplikasikan ilmu yang di dapat dengan seharunya.

 

Sedangkan faktor internal atau dikenal dengan faktor dari dalam, merupakan faktor untuk mempertahankan faktor eksternal. Di mana seseorang tidak melakukan dobrakan yang signifikan untuk merubah itu semua. Bisa juga dikatakan bahwa seseorang terbawa arus yang menuntun ia kepada pemikiran jauh dari hakikat pendidikan itu sendiri. Sehingga ketika faktor eksternal dan internal dipadukan, maka peran mahasiswa untuk menyesuaikan diri dengan persaingan global tidak di dapatkan.

Menyikapi semua ini, ada baiknya kita kembali menanamkan bahwa hakikat dari pendidikan yang sebenarnya adalah membentuk Sumber Daya Manusia (SDM). Bukan dikarenakan hanya sekedar memperoleh satu kursi di sebuah lembaga atau institusi. Banyak sisi positif yang kita dapatkan ketika kita mengerti hakikat dari pendidikan, di antaranya seorang sarjan memiliki daya jual di dunia pendidikan sebagai sarjana yang bisa mengamplikasikan ilmunya secara sempurna. Selain itu tuntutan profesionalisme juga akan lahir ketika kita memahami akan hakikat ilmu. Rasa ingin tahu dan meningkatkan ilmu juga akan terlahir dengan sendirinya.

Sebagai contoh, seorang sarjana lulusan Tarbiyah yang telah mendapat pekerjaan sebagai guru. Sarjana ini tidak berpikir bahwa setelah tamat kuliah dan menjadi guru lalu habis masa menuntut ilmu. Namun, dengan pemahaman hakikat ilmu sebagai pembentukan SDM, maka sarjana tersebut  terus belajar dan mencari informasi sebisa mungkin agar terciptanya profesionalisme. Sehingga secara tidak langsung sarjana tersebut akan menjadi pakar di dunia mengajar yang mengerti akan apapun sifat, tehnik serta metode dalam pembelajaran. Alhasil, ia pun tidak akan tersingkirkan dengan perkembangan zaman secara global. Begitu juga ketika seorang sarjana yang tidak atau belum mendapatkan pekerjaan tetap. Maka ia tetap memperkaya ilmu yang telah didapat selama masa studi untuk menjadi sarjana dengan SDM yang baik. SDM yang baik ini pula membuat pekerjaan menghampiri seorang sarjana.

Ketika mahasiswa/i IAIN Ar-Raniry memiliki pemikiran yang demikian, maka tidak mustahil bahwa sarjana yang berasal dari IAIN Ar-Raniry bisa menyesuaikan diri secara global. Sehingga ketika muncul pertanyaan di sekitar kita, quo davis (mau dibawa ke mana) sarjana IAIN Ar-Raniry?, maka dengan mudah bisa kita jawab, disegala lini kehidupan.

Penulis adalah mahasiswa Fakultas Syaria’ah Jurusan perbandingan Mazhab dan Hukum