Merevolusi Kampus Dengan Kata

Sumberpost (Banda Aceh), Pers mahasiswa (persma), menurut Nuraini Juliastuti dalam sebuah situs jurnalistik menyebutkan, persma adalah organisasi pers yang dikembangkan oleh sekelompok mahasiswa yang mempunyai bakat jurnalistik untuk mencapai tujuan perubahan. Persma sudah ada sejak Indonesia merdeka, bergerak melawan penjajahan dan menyuarakan aspirasi seluruh mahasiswa melalui media cetak. Persma diprakarsai oleh mahasiswa yang ingin melihat perubahan. Perubahan tersebut menyangkut masalah politik, sosial, pendidikan dan budaya. Namun, seiring berputarnya zaman, fungsi persma berkembang dari pengamat kritikus pemerintahanmenjadi tempat mahasiswa meniti bakat dan minat.

Budi Kurniawan sendiri mengelompokkan pergerakan mahasiswa melawan rezim pemerintahan dalam beberapa fase. Era 1920-an, gerakan mahasiswa bergerak menentang kekuasaan penjajahan. Isu yang diangkatpun seputar penjajahan itu. Era 1940-an, gerakan mahasiswa tak jauh dari isu-isu era sebelumnya. Mereka menentang penjajahan dan bermuara pada kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Meskipun kemerdekaan telah diraih, kemenangan hampir sepenuhnya berada ditangan mahasiswa. Namun, kepemimpinan orde baru sedikit mengekang ruang lingkup persma. Segala bentuk tatanan politik mulai berubah. Era 1960-an mahasiswa mulai bergerak menentang kekuasaan yang mereka lihat korup. Kembali dengan “kekejaman kata”, mahasiswa ikut mengkritik disamping unjuk rasa yang terus dilakukan ditiap sudut kota.

Memasuki era 1970-an, gerakan mahasiswa berada dalam lingkungan menentang kekuasaan dan dominasi modal asing. Mereka mulai menentang tataran kampus yang dianggap tidak adil. Ruang lingkupnya memprotes sarana dan prasarana serta biaya kuliah yang tinggi. Fenomena ini terus berlangsung sampai era 1980-an.

Pada era ini mahasiswa masih menuntut keadilan yang merata, namun pihak rektorat dan pemerintah masa itu masih terkesan cuek. Untuk membendung gerakan mahasiswa yang mulai memanas, pemerintah mulai menyusun strategi. Salah satunya menawarkan posisi lembab di pemerintahan.

Banyak mahasiswa terpengaruh dengan tawaran ini, tidak jarang pula mahasiswa tetap kritis dan menggugat rezim yang mereka lahirkan diluar. Umumnya mereka bergerak dalam masalah politik dan ekonomi. Mahasiswa juga memberikan orasi-orasinya yang menggugah. Salah satu tokoh yang dielukan adalah Soe Hok Gie.

Sejarah Pers Kampus Aceh

Umumnya persma bersekretariat di Unit kegiatan Mahasiswa (UKM), bernaung di fakultas atau jurusan.

Di sebuah ruang kecil, fasilitas minimal dengan dana terbatas. Di sanalah media kecil itu bergerak. Menyuarakan suara demi suara, untuk sebuah perubahan kearah yang lebih baik. Pengurus persma bukanlah orang-orang terkenal seperti media lokal ternama, namun bukan berarti keahlian mereka perlu dipandang sebelah mata. Wartawan-wartawan handal, umumnya lahir dari media kecil seperti ini. Hingga akhirnya menjadi seorang wartawan ternama.

Wartawan di persma direkrut dari mahasiswa dalam sebuah perguruan tinggi. Persma sama halnya seperti media-media lain yang mempunyai jadwal deadline dan memiliki redaksi. Keseluruhan pengurus masing-masing mempunyai job description yang berbeda-beda. Seperti yang dikatakan Nizwar, sekretaris redaksi Ar-Raniry Post, “sebelum meliput, kita juga melaksanakan rapat redaksi. Disinilah kita membicarakan isu-isu apa saja yang akan kita angkat dan siapa wartawan yang bertanggung jawab dalam hal itu.”

Banyak media pers mahasiswa yang lahir di bumi Serambi Mekkah. Sayangnya, mereka tak pernah berusia lama. Hanya tumbuh beberapa edisi, sampai akhirnya tutup buku dan tinggal sejarah. Meskipun sejarah matinya tak seindah saat kelahiran. Ia dinantikan dan disambut dengan senyuman penuh kebanggaan para pencetus.

Di IAIN Ar-Raniry sendiri terdapat beberapa persma yang namanya sempat booming. Diantaranya Ar-Raniry post, Peuneugah, Tajam, Forum Dakwah, Meupakat dan sumberpost yang saat ini ada di tangan pembaca. Belum lagi di Unsyiah, Universitas Negeri yang juga mempunyai potensi jurnalistik meski belum ada program studi ilmu bersangkutan. Sebut saja DETaK, Perspektif dan Cakra. Serta masih banyak media-media kampus yang namanya timbul tenggelam dibelantika kebebasan pers. Di dua kampus jantong hatee rakyat Aceh sendiri mempunyai dua nama pers kampus yang sangat historistik dan mencoba bangkit diantara ketertatihan keminiman dana. Media itu adalah Ar-Raniry post dan DETaK.

Ar-Raniry Post lahir pada tanggal 24 Februari 1978, dengan tujuan mendukung dan membela aktivitas mahasiswa. Selama beberapa kurun waktu, Ar-Raniry Post telah mengalami 3 kali pasang surut dalam perkembangannya. “Tiga edisi pertama Ar-Raniry berhasil terbit dengan mulus. Kemudian ada beberapa hal membuatnya vakum kembali. Beberapa saat kemudian, terbit lagi dengan sebutan media “telanjang”. Julukan ini disandang selama empat edisi, sampai akhirnya media mahasiswa kembali vakum akibat pemberedelan dan dipangkas anggaran,” kata Taufiq Al-Mubarak, salah satu tokoh Persma.

Redaksional Ar-Raniry Post direkrut dari berbagai fakultas. Media ini kurang mendapat perhatian pihak rektorat. Taufik juga mengungkapkan, walaupun Ar-Raniry Post media kampus, dana yang dibutuhkan juga sangat besar. “Pers kampus itu membutuhkan anggaran minimal 3 juta per tahun dengan biaya percetakan 2500 per examplar,” Ujarnya lagi sambil menyalakan sebatang rokok.

Pers kampus yang menjunjung tinggi semboyan tri darma perguruan tinggi, tentunya memiliki komitmen yang sangat tinggi. Mereka memfokuskan diri dari sudut pandang mahasiswa. Jika pers kampus mengangkat ruang lingkup yang luas, maka bukan mustahil pers kampus bisa dikenal oleh masyarakat. Jika saat ini pers kampus adalah media percobaan bagi jurusan tertentu, namun tidak buat Ar-Raniry Post. Media ini langsung bernaung dibawah institut. Sayangnya, pers ini kurang dikenal oleh masyarakat, akibat tidak ada yang benar-benar bertahan. Pemasukan yang diandalkan melalui iklan pun tidak selancar pengeluaran.

Selain Ar-Raniry Post yang membumi di IAIN, Unsyiah sendiri memiliki organisasi jurnalistik yang tergabung dalam UKM pers. Dimasa terbentuknya UKM ini, mahasiswa sangat membutuhkan media untuk menuangkan ide-ide mereka dalam bentuk tulisan. Periode pertama, tahun 1993-1994 dengan dukungan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), lahirlah majalah KAMPIUM, edisi pertama dan itu juga yang terakhir. Periode selanjutnya tidak menghasilkan apapun.

Melihat keadaan ini, aktivis kampus kegerahan. Akibatnya, mereka membuat newsletter bernama VIRUS. Isinya yang vocal dan keredaksiannya tak jelas, hingga kemunculannya pun membuat semua kalangan, terutama pihak rektorat, terkejut. Pihak rektorat melalui Pembantu Rektor III saat itu, Suardi Sukirman, memahami situasi dan menghidupkan kembali UKM pers yang telah lama vakum. Dibawah pimpinan Azwar Nurdin dan Nurdin LJ, maka lahirlah DETaK mahasiswa, tepat pada tanggal 17 Agustus 1995.

“Media ini mulanya berbentuk mading, tanpa boks redaksi. Isinya menggugat rektor karena kebijakannya yang merugikan mahasiswa. Rektorat memanggil aktifis-aktifis termasuk penggagas DETaK. Atas saran bang Azwar Nurdin, dibentuklah lembaga pers mahasiswa untuk mengantisipasi VIRUS (sebutan untuk majalah dinding gelap pada saat itu–red)” ungkap Boy, wartawan yang pernah bergabung di tabloid ceureumen ini.

Wartawan handal ala pers kampus

Baik Ar-Raniry Post, DETaK, maupun pers kampus lainnya, mempertahankan media dengan terus melakukan regenerasi. Ar-Raniry Post sendiri telah mengalami pasang surut. Bahkan sekarang telah lahir kembali dalam bentuk Tabloid. Tentu yang menjadi pengurus-pengurus didalamnya bukanlah orang-orang lama, karena mereka telah menamatkan program studi di IAIN.

Dalam perekrutan anggota atau wartawan dalam sebuah persma, sama halnya dengan perekrutan wartawan pada media komersial. Secara umum, calon wartawan melengkapi administrasi dan mengikuti tahap interview dalam beberapa hal. Mulai dari wawasan umum, feature, reporting, writing, editing, sampai berita. Semua prosedur tersebut dilakukan untuk memperkuat dan mengorek minat yang dimiliki calon wartawan dalam dunia jurnalistik.

Perekrutan anggota yang dilakukan pun terbuka untuk seluruh mahasiswa. Namun, tak perlu berkecil hati bagi wartawan-wartawan kampus. Karena dengan berkarya di persma, setidaknya sudah memiliki skill untuk hidup.

“Di sini kita mencari pengalaman baru, mendapat skill baru dan dapat dikembangkan di luar. Tanpa lapangan kerja pun kita bisa bertahan hidup setelah jebol dari kampus. Salah satunya menjadi wartawan,” kata Boy Nashruddin Agus, pimpinan umum DETaK mahasiswa.

Bukan sedikit jebolan pers kampus menjadi wartawan handal di media besar. Dari Unsyiah sendiri ada beberapa orang jebolan persma yang tak bisa dipandang sebelah mata. Belum lagi dari IAIN, banyak nama besar wartawan lahir dari persma.

“Seorang jurnalis profesional tidak serta merta lahir begitu saja. Mereka harus melewati proses-proses tertentu. Dan dia terlahir dari media-media seperti ini (pers mahasiswa—red). Ini harus didukung oleh semua pihak. Jika ada yang mengatakan pers kampus tidak penting, maka ia tidak siap lahir di era demokrasi,” ujar Muhammad Hamzah, ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh.

Apresiasi buat persma

Melirik isinya yang lebih vokal, bukan hanya mengulas seputaran kampus. Buah karya mahasiwa ini berhak mendapat suatu apresiasi. Setidaknya dana yang sedikit memadai untuk biaya percetakan dari pihak rektorat.

Bahkan agen majalah dan koran menanggapi bahwa, pers kampus sangat layak untuk dijual. “Kalau memang dananya bukan bantuan donor dan tidak terikat, sebaiknya dijual saja. Penjualannya penting buat kerja keras wartawan yang telah berbuat lebih untuk kampus dan masyarakat. Setidaknya hasil penjualan itu bisa untuk biaya cetak ulang dan segelas kopi,” kata Fauzi, 28 tahun, seorang loper koran yang membuka usaha di Simpang Koppelma (simpang galon) Darussalam.

Isinya penting bagi khalayak umum. Dengan adanya pers kampus, orang luar banyak tahu bagaimana sebuah kampus itu. “Perannya sangat besar. Untuk mahasiswa, mereka bisa mengetahui keadaan kampus dan mendapatkan informasi yang lengkap secara transparan. Untuk masyarakat sendiri lebih berarti. Dengan adanya pers kampus, masyarakat bisa mengetahui perkembangan kampus secara menyeluruh,” tambah Fauzi, disela-sela kesibukannya menata majalah Aneka Yess!.

Pers kampus menjadi sarana dan prasarana untuk belajar. Selain di dua perguruan tinggi negeri, dari perguruan tinggi swasta pun sangat berharap lahirnya pers kampus. Seperti harapan Isma Wardani, mahasiswi DII PGMI, STAI PTIA Chiek Pante Kulu.

“Kita kepingin ada lembaga pers yang dapat menunjang kreativitas mahasiswa seperti kampus-kampus lain. Karena kita sangat berharap adanya perbaikan ke depan. Kampus kita yang kurang dikenal, dapat diangkat melalui media ini.” Demikian Isma Wardani .

Wartawan : Nana Muliana