Moral dan Kreativitas

Dalam mempersoalkan kondisi pendidikan di Indonesia, ada dua keresahan yang jika saja mampu diantisipasi akan menjadikan kesuksesan sejati sehingga dapat menjadi torehan prestisius bagi keilmuan bangsa Indonesia. Pertama, pada permasalahan moral yang selalu saja telah mampu diidentifikasi namun belum mencapai kesembuhan yang senormal-normalnya.  Dan selanjutnya ialah daya uji ‘antibodi’ dalam mencetak generasi yang memajukan bangsa melalui generasi yang diperhitungkan dari bekal tersalurnya kreativitas yang dimiliki baik itu dari pendidik maupun yang terdidik.

Keduanya, baik moral dan kreativitas yang menjadi diskursus wacana yang akan coba penulis sampaikan dalam tulisan ini. Moral secara sederhana, apabila diiistilahkan mulai dari pemahaman orang awan sampai pada tingkat akademisi dan politisi tidak akan berbeda jauh. Moral sebagai keadaan atau situasi akhlak dan budi pekerti seseorang yang mempertimbangkan hal baik buruk, adat dan kesopanan dalam bertindak. Moral menjadi penangkal atau tameng khususnya bagi yang kaum terdidik (pelajar atau mahasiswa) mempertahankan kemurnian sikap dan perilaku mereka. Disaat berbagai peristiwa yang jelas membenamkan tatanan nilai dan norma pendidikan, misalkan saja permasalahan tawuran yang marak terjadi di antara pelajar atau mahasiswa hingga menelan korban jiwa, maka ketika dicari akar penyebabnya pasti akan mengacu pada persoalan moral yang telah terdegradasi.

Sejauh ini, keresahan dalam tingkat kerusakan moral tidak hanya merambah pada jalur lintasan pendidikan di negeri ini. Segalanya telah meluas ke segala lini kehidupan. Baik dalam politik, ekonomi, sosial dan berbagai bidang penyangga lainnya dalam pemerintahan, pertahanan keamanan, keagaman, kebudayaan dan lain sebagainya. Sebut saja, dalam perpolitikan negeri ini, berbagai kasus korupsi yang terjadi telah melibatkan aktor utamanya, eksekutif, legalislatif dan yudikatif sebagai tersangka. Yang semestinya peranan mereka mengakomodir aspirasi rakyat. Namun, berbalik arah justru semakin memperkeruh suasana semakin menyengsarakan rakyat.

Hal yang tersebut di atas berdasarkan pada fakta atas data yang disampaikan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang menyebutkan dalam kurun waktu tahun 2012, negara telah dirugikan akibat praktik korupsi yang sangat dasyhat dengan total nominal uangnya sekitar 39,3 Triliun rupiah. Angka tersebut bahkan memungkinkan mengalami pertambahan menutup akhir tahun ini. Padahal dengan nominal yang terbilang begitu fantastis itu, saat negara mampu mengefisienkan penggunaan dana tersebut pasti membuahkan hasil menyejahterakan masyarakat atau mengurangi kemiskinan negeri. Tetapi, keadaan berkata lain dimana segelintiran orang yang memiliki kekuasan dalam perpolitik lebih memilih untuk menyelewengkannya. Atas dasar itu, moral terkesan tidak terpupuk dalam hati dan pikiran sehingga terus menemukan segala bentuk pelanggaran dalam berbagai institusi atau lembaga negara. Maka tak khayal aspek lainnya turut mengikuti, ekonomi dengan kapitalismenya terlihat dari aksi demo buruh pabrik, juga pada ranah sosial, rakyat yang seharusnya memiliki hak atas kelayakan hidup, pendidikan, dan taraf kesejahteraan tidak memperoleh ruh sosialnya semakin saja terjajah walau hidup di negeri yang sejak lama telah merdeka.

Selanjutnya, keresahan dalam daya uji kreativitas sebagai kebutuhan yang bukan saja harus dimiliki kaum terdidik. Melainkan juga jadi tauladan dari pendidik yang nantinya akan menjadi tolak ukur bagi anak didiknya. Baru saja dalam sebuah pertemuan di pertengahan bulan Desember 2012, penulis menyempatkan waktu menghadiri sebuah diskusi mini tentang pendidikan dari ajakan seorang teman yang bekerja di lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang konsen peningkatan kemajuan perempuan dan kaum muda. Yang menjadi narasumber dalam pertemuan tersebut adalah seorang anggota dewan pendidikan di kota Surabaya yang telah melanglang buana terlibat dalam berbagai kegiatan formatur perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia mulai dari tahun 1994 sampai sekarang. Dalam penuturan sang narasumber, ada yang menarik untuk dipahami secara mendalam, “Sebenarnya ketika kembali adanya perubahan kurikulum pendidikan dalam negeri. Sejauhmana kesuksesan nantinya akan sangat bergantung dari guru yang mampu kreatif.” Kreativitas menjadi tumpuan dalam berbagai proses dari cita-cita di masa depan. Seorang guru yang kreatif akan memiliki kekuatan yang mempengaruhi para pendidiknya secara langsung. Ketika hal tersebut diupayakan lingkungan sekolah, maka hal ini  senantiasa memberikan nafas lega bagi usaha memperjuangkan kemajuan.

 Kolaborasi dalam berperan

                Sebagai perenungan bersama, alangkah pantas kiranya mengambil dua ungkapan yang dinyatakan oleh seorang ilmuwan fisika terkemuka di dunia, Albert Einsten. “Jangan sekali-kali melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani sekalipun itu dituntut oleh negara.” Kiranya ungkapan tersebut, meminta moral yang diletakkan pada hati nurani yang dijalankan agar mampu mengontrol diri dalam bersikap sekalipun harus berhadapan dengan negara otoriter. Dan selanjutnya, ungkapan, “Imajinasi lebih penting daripada ilmu pengetahuan.” Seruntutan proses imajinasi didayahgunakan menjadikan manusia akhirnya sebagai sosok yang kreatif.

                Oleh karena itu, perlu rasanya menumbuhkan moral yang didalamnya dibarengi dengan kesadaran diri yang kreatif, yang serta merta akan mengarahkan generasi penerus bangsa untuk terus sibuk mengemas moral tanpa melupakan sisi kreatif. Seseorang yang telah memiliki moral dalam diri akan senantiasa bijak dalam bersikap. Seringkali dengan bekal moral menjadi seorang kita peka dalam berempati dengan lingkungan sosial. Dan juga ketika ruang kreativitas membumi tidak akan kita temukan lagi suatu bangsa yang pencerahan masa depannya hanya sebatas utopia (angan-angan). Dikarenakan kreatifnya seorang anak bangsa akan menghasilkan karya bagi kemajuan bangsa itu sendiri nantinya. []

Penulis adalah Nurkhalis Pegiat kajian Sosial