FJPI Aceh Kutuk Pemukulan Jurnalis Perempuan

Banda Aceh– Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Aceh, mengutuk aksi pemukulan dan pengeroyokan terhadap seorang jurnalis perempuan yang bekerja untuk Paser TV Balikpapan, yang dilakukan oleh Kepala Desa dan sejumlah warga. jurnalis
Ketua FJPI-Aceh, Saniah LS, mengaku sangat terkejut saat mendapat kabar dari berbagai jaringan jurnalis di Indonesia. “ kami sangat berduka untuk Yuni, dan sangat menyesalkan hal ini bisa dilakukan oleh seorang aparatur pemerintah, yakni Kepala Desa, bahkan dengan sengaja juga membiarkan warga lainnya ikut mengeroyok Yuni,” jelas Saniah, Minggu (3/3/2013).
Yang lebih menyedihkan tambah Saniah, saat ini korban diketahui sedang hamil dengan usia kehamilan satu bulan, dan menurut keterangan dokter, kehamilannya tersebut gugur, akibat mengalami tindak kekerasan fisik.

“Kami sangat berharap kasus ini segera ditangani oleh hukum dan para pelaku mendapat hukuman yang setimpal, dan kami juga menuntut agar kasus ini ditangani dengan UU pers, selain KUHpidana karena tindak kriminal tersebut,” sebut dia.

FJPI Aceh juga meminta pemerintah setempat agar memecat Kades yang bermental preman tersebut dan meminta pihak kepolisian dalam hal ini Kapolda Kaltim memberi hukuman berat kepada pelaku kekerasan terhadap jurnalis perempuan di Balikpapan tersebut.
“Kita juga meminta pengambil kebijakan di perusahaan pers, Pemred, Redpel, maupun redaktur, agar dalam menjalankan tugasnya jurnalis perempuan yang sedang hamil agar tidak dibebankan tugas jurnalis yang bisa membahayakan jiwa dan janin yang kandungnya,” tegas Saniah.
Jurnalis perempuan dari media televisi lokal Paser TV, Normila Sariwahyuni (23)  mendapat tindakan kekerasan oleh Kepala Desa dan warga, saa tmelakukan peliputan di Desa Rantau Panjang, Kecamatan Tanah Grogot, Kalimantan Timur. Akibatnya, Yuni mengalami keguguran akibat dianiaya sang Kepala Desa Ilyas dan 15 laki-laki bersikap preman, Sabtu (2/3/2013) sekitar pukul  11.00 WIB.

Senada dengan itu, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Balikpapan, Wibi yang dihubungi melalui saluran telepon, juga mengutuk keras aksi tersebut. Wibi menceritakan kronologis kejadian yang menimpa jurnalis perempuan Paser TV, Normila Sariwahyuni. Menurutnya kejadian itu berawal ketika Yuni (panggilan akrabnya) saat akan mengambil gambar kasus sengketa tanah dan pemukulan/perusakan rumah warga oleh preman di Desa Rantau Panjang, Kecamatan Tanah, Grogot.

“Waktu si wartawati akan mengambil gambar. Baru saja mengeluarkan kamera, Kades Rantau Panjang, Ilyas menampar dia.  Kemudian dari arah belakang ada yang menarik rambutnya hingga terjatuh. Saat terjatuh itu dia ditendang, dipukul, dan dipijak oleh sekitar 16 orang salah satunya Ilyas. Limabelas orang lainnya kaki tangan Ilyas,” sebut Wibi.

Saat itu dari cerita Yuni, dia minta agar dirinya jangan disakiti dan mengatakan diri wartawati. Yuni juga kata Wibi sempat menyebutkan kalau dirinya sedang mengandung. Tapi tidak dihiraukan 16 orang tersebut yang terus melakukan kekerasan.

Kamera Yuni ikut juga dirusak. Tak lama kemudian polisi Paser datang ke lokasi dan menyelamatkan Yuni. Jurnalis perempuan yang sedang hamil satu bulan itu dibawa lari ke rumah sakit terdekat karena mengalami pendarahan.

“Yuni sempat pingsan. Dokter yang memeriksa Yuni mengatakan kalau pendarahan berasal dari rahim dan  Yuni mengalami keguguran akibat kekerasan itu,” sebut Wibi.

Yuni sudah melaporkan kasus ini kepihak kepolisian dan sudah menyerahkan hasil visumnya. Menanggapi hal tersebut, Senin (4/3) AJI Balikpapan bersama PWI, IJTI, dan beberapa organisasi pers lainnya di Balik Papan akan menemui Kapolda Kaltim.

“AJI sudah menurunkan orang ke TKP untuk mengecek langsung kebenaran kasus ini. Besok kita akan mengajak PWI, IJTI, dan beberapa organisasi Pers lainnya menemui Kapolda Kaltim,” ujar Wibi.

Koordinator Divisi Perempuan AJI Indonesia, Alida Bahaweres menyebutkan, kekerasan terhadap jurnalis perempuan bukan sekali terjadi. Sebelumnya di Aceh Timur, Ivo Lestari, Endang di NTB, perampokan jurnalis perempuan selesai liputan di Pontianak, dan pelecehan seksual jurnalis perempuan di Jayapura.

“Saya prihatin dan mengutuk keras tindakan kekerasan ini. Kekerasan ini tidak saja menimbulkan kekerasan fisik tetapi juga kekerasan psikologis kepada korban. Kita juga bisa melihat sendiri dari keterangan korban gimana dia diperlakukan, Ini menunjukan bahwa pelaku tidak memiliki jiwa kemanusiaan lagi,” ujarnya.

Alida mengatakan,  AJI saat ini sedang mengawal kasus ini dan berharap agar pelakunya dihukum berat.“Jurnalis dalam melaksanakan tugasnya tidak boleh dihalang-halangi. Ini merupakan mandat dari Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999,” ujarnya. [rel]