Realitas Pendidikan Di Seuramoe Mekkah

Oleh: Putra Hidayatullah

Suatu ketika sebuah kalimat ironi keluar dari mulut seorang pengarang Amerika, Mark Twain:  I was born intelligent, education ruined me. Aku dilahirkan pandai tetapi pendidikan/sekolah menghancurkanku. Kalimat ini agaknya masih relevan dengan kondisi di Aceh. Sebagai contoh kita lihat sekolah sebagai institusi pendidikan formal, tapi justru di sekolah anak-anak mengenal pornografi, rokok, bahkan narkoba. Yang lebih menghebohkan, beberapa waktu lalu media masa memberitakan seorang paman yang rela memperkosa keponakannya sendiri kemudian membunuhnya. Kejadian ini menjadi luka bagi kita semua dan sekaligus menjadi cerminan bahwa moralitas dan pendidikan kita sedang di titik nadir.

Sejatinya bila kita merujuk pada makna, pendidikan adalah proses memanusiakan menjadi manusia. Supaya ia menjadi insan kamil yang berguna bagi sesama. Dengan pendidikan pula manusia diharapkan menanggalkan sifat-sifat kebinatangannya yang melekat padanya. Seorang akademisi kita, Prof. Yusni Shaby, suatu hari dalam perkualiahannya, pernah menjelaskan perihal pendidikan secara apik. Beliau memisalkan seekor kucing yang tidak perlu mendapat pendidikan untuk menjadi kucing. Tetapi manusia harus. Kalau tidak, ia bisa gagal menjadi manusia. Oleh karena itu pendidikan bagi manusia adalah sama pentingnya dengan eksistensi manusia itu sendiri.

Namun realita yang ada justru berbanding terbalik. Di setiap desa hampir tidak ada anak-anak yang tidak bersekolah, minimal pendidikan dasar. Setiap tahun tingkat persaingan untuk masuk universitas meningkat. Banyak pula yang masuk ke sekolah atau perguruan tinggi swasta sebagai alternatif. Dalam pada ini muncul paradox, jumlah orang-orang yang mengecap pendidikan begitu tinggi tapi di saat bersamaan tingkat kejahatan dan pelanggaran justru meningkat. Tentunya ada yang sesuatu yang tidak beres dalam proses pendidikan formal salah satu di antaranya adalah dalam fokus dan orientasi pendidikan.

Sudah bukan kabar baru jika sekolah mengajari peserta didik untuk memperoleh nilai tinggi-tinggi pada setiap mata pelajaran yang disajikan dalam kurikulum. Jika tidak, akan muncul konsekuensi semisal tidak lulus ujian. Konsekuensi ini kemudian berdampak pula pada psikologis peserta didik. Sebagai contoh pemberlakuan ujian nasional sebagai syarat kelulusan. Kalau tidak mendapat nilai bagus, maka tidak lulus. Selanjutnya peserta didik berpikir kegagalan membuat mereka kehilangan masa depan. Pada di titik ini terjadi semacam pemaksaan yang membuat siswa frustrasi, alih-alih membuat belajar menjadi sesuatu yang menarik dan menyenangkan.

Model pendidikan seperti ini juga berdampak pada disorientasi pendidikan. Dengan adanya aturan dan konsekuensi berlebihan ini, pembelajaran akan bergeser pada penguatan kognitif belaka. Sehingga perkara afektif dan psikomotorik menjadi terabaikan. Menjamurnya bimbingan belajar yang menawarkan cara-cara instan menjawab soal adalah salah satu pertanda. Dalam mindset siswa akan terbentuk yang dikatakan belajar itu adalah mengerjakan soal dan menghindari kesalahan. Selanjutnya siang malam mereka mempelajari soal.

Selain itu yang perlu menjadi sorotan adalah relevansi antara apa yang diajarkan di sekolah dengan apa yang mereka hadapi dalam kehidupan nyata. Saat ini seakan-akan ada missing link antara pelajaran/soal yang mereka pelajari di sekolah dengan permasalahan-permasalahan sosial. Pendidikan terkurung dalam ruang sekolah yang dipenuhi rumus dan soal-soal. Semestinya di saat kita menghadapi kasus korupsi yang menjadi-jadi, pendidikan yang membangkitkan kesadaran akan bahaya laten korupsi semakin ditekankan. Di saat munculnya kebobrokan moral, pendidikan menjadi obat yang mengarahkan dan membentuk kedewasaan berpikir para peserta didik.

Benjamin S. Blume membagi pendidikan kepada tiga ranah: kognitif, afektif dan psikomotorik. Kognitif menekankan kecerdasan, afektif pada sikap dan psikomotorik fokus kepada keterampilan. Saat ini yang menjadi titik fokus utama pendidikan kita adalah di kognitif. Sementara afektif dan psikomotorik terkesan menjadi nomor dua. Ada sebuah adagium mengatakan bahwa orang pandai tanpa akhlak adalah sumber kekacauan (chaos). Untuk mendukung pernyataan ini orang sering mengambil contoh seorang ilmuan yang mencipta bom. Kecerdasannya berakhir pada kejadian Hiroshima, misalnya. Pesan moral di sini adalah antara kognitif, afektif, dan psikomotorik harus diporsikan sama. Bukankah akan lebih menarik jika sekolah tidak hanya menjadi gudang soal tapi juga penuh dengan kisah-kisah inspiratif dari orang-orang yang telah berjasa untuk kemanusiaan. Kisah-kisah ini menjadi salah satu cara bagaimana menanamkan nilai-nilai luhur.

Sebagai penutup, pendidikan kita perlu perubahan secara radikal dan harus lebih berorientasi kepada pembentukan sikap atau disebut pendidikan karakter. Dengan ini, tameng moral akan terbangun dan disorientasi tersembuhkan. Semoga.
    Penulis adalah Alumnus Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry.