foto : merdeka.com

Feature | Mereka yang Dilupakan

Sumberpost.com – “SAYA Umar Al Faruq. Saya sekarang baik-baik saja dan berada di Banda Aceh, Indonesia. Bersama kami semua 129 orang  di tempat karantina Indonesia. Kalian semua jangan bersedih karena paman juga bersama saya di sini. Sampaikan doa dan salam kami dengan ucapan Assalamualaikum.”

foto  :  merdeka.com
foto : merdeka.com

Surat itu ditulis dalam Bahasa Urdu dan dialamatkan kepada keluarga Umar di Jumulaparh, Burma. Bahasa Urdu merupakan bahasa yang lazim dipakai di Asia Selatan, asal nenek moyang etnis Rohingga yang juga dikenal sebagai ras Bengali. Etnis Rohingga merupakan salah satu etnis minoritas di Burma.

Umar salah satu pengungsi etnis Rohingga yang terdampar di Krueng Raya, Aceh Besar pada 16 Februari 2011 lalu. Dia pengungsi termuda. Usianya baru 13 tahun dan belajar di kelas empat  sekolah dasar di kampungnya.

Dengan segera dia mencuri perhatian semua petugas di penampungan dan menjadi kesayangan mereka. Warga yang berkunjung ke penampungan ini pun tak lupa memberi Umar berbagai hadiah.

Bola matanya coklat. Kulitnya sawo matang. Hidungnya mancung. Rambutnya hitam. Ciri-ciri fisik ini membuat Umar tak jauh beda dengan anak anak pesisir Krueng Raya. Terlebih lagi dia mengenakan baju merah bertuliskan “Pusat Pelatihan Gajah Seulawah” hari itu, membuatnya disangka penduduk setempat. Ketika ada yang memanggilnya, dia selalu tersenyum. Dia bicara dengan isyarat kepada orang-orang yang tak memahami bahasanya.

Umar  diajak pamannya Hafis Sayed Karim mengarungi laut, meninggalkan Burma. Hafis merupakan gelar untuk mereka yang mampu menghapal Alquran secara utuh atau minimal setengahnya. Dia didaulat jadi imam di tempat penampungan ini.

Ayah Umar sedang sakit, sehingga tidak bisa berjalan serta berlayar bersama Umar dan pamannya. Di Krueng Raya, Umar sering diajak jalan jalan atau berkunjung kerumah warga yang menyelenggarakan kenduri atau sekedar diundang makan. Dia juga senang bermain dengan anak-anak seusianya.

Perahu para pengungsi ini ditarik oleh kapal nelayan  Aceh di dekat perairan Sabang setelah 20 hari terkatung-katung di laut lepas.

Etnis Rohingga tinggal di utara Burma, daerah yang berbatasan dengan Bangladesh. Mereka memeluk agama Islam.  Orang-orang ini mengungsi akibat situasi Burma yang dikuasai junta militer, yang juga melakukan diskriminasi serta kekerasan etnis.

Burma terdiri dari tujuh negara bagian. Etnis Bamar adalah etnis mayoritas di negara itu atau komposisinya merupakan sepertiga dari keseluruhan penduduk negara tersebut. Selain Bamar, ada etnis Karen, Shan, Arkan atau biasa disebut Rakhine, Mon, Kanchi dan Rohingga. Pada 18 Juni 1989, junta militer Burma mengubah nama negara ini  jadi Myanmar.

“Waktu melihat mereka sampai pertama kali, turun dari perahu, bisa nangis kita,” ujar Hendra, salah seorang warga Krueng Raya yang membantu para pengungsi turun dari perahu.

“Selain kurus-kurus sekali, juga sangat bau, tak sanggup kita cium,” tambahnya.

Dulu para pengungsi ini ditampung di bekas tempat  penjualan tiket di Pelabuhan Malahayati, Aceh Besar. Sebelum tsunami, orang-orang yang akan berangkat ke Sabang, Pulau Weh, akan menunggu kapal di sini. Tapi sekarang pelabuhan penumpang telah dipindahkan ke Ulee Lheu. Pelabuhan Malahayati jadi pelabuhan bongkar muat barang.

Banyak warga yang berkunjung untuk sekadar melihat-lihat keadaan pengungsi atau mengantar sedikit sumbangan. Di malam hari para pengungsi belajar Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia tingkat dasar. Para pengajar mereka adalah beberapa warga Krueng Raya. Di sore hari mereka bermain sepak bola atau voli, tapi tak boleh meninggalkan kompleks pelabuhan tanpa izin. Banyak warga  peduli, karena kejadian yang menimpa para pengungsi ini hampir sama dengan nasib orang Aceh saat melarikan diri dari konflik bersenjata antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka.

Tiga hari setelah mendarat di Pelabuhan Malahayati, orang-orang Rohingga ini diperiksa kesehatannya. Satu per satu mereka masuk dalam ruang periksa dadakan di bekas tempat penjualan tiket itu.

Mereka antre dengan tertib. Beberapa memakai kaos biru dan dan kain sarung. Ada yang sakit. Rata-rata menderita sakit kulit dan sakit mata. Salah seorang yang lumayan mampu berbahasa Inggris membantu dokter mencatat keluhan teman-temannya. Sesekali terdengat tawa di ruangan tersebut.

Mereka yang belum mendapat giliran diperiksa menunggu sambil berjongkok. Ketika barisan di depannya telah kosong mereka pun bergerak sambil berjongkok dengan tangan di samping tubuh. Tidak seorang pun meminta mereka berlaku semacam itu, tidak juga dua polisi yang ada di situ. Sesekali para pengungsi ini terlihat mengusir lalat yang hinggap di kulit.

Noor Alam menanggapi pertanyaan-pertanyaan warga dengan senyuman. Dia hanya bisa sedikit bahasa Melayu. Tapi itu pun bahasa Melayu Pattani, nama wilayah orang-orang Melayu di selatan Thailand.

Dia bercerita bahwa mereka sebenarnya tidak memiliki tujuan negara. Asalkan tempat itu lebih baik, itulah yang mereka inginkan. Menurut Noor, di kampungnya banyak orang dipukul polisi meskipun tak punya kesalahan yang jelas. Dia memperlihatkan beberapa bekas lukanya pada saya, termasuk luka di dadanya. Seorang dari polisi yang mendengar pembicaraan kami tiba-tiba menyela, “ Mungkin sama seperti ketika Aceh konflik dulu ya,” seraya berlalu.

Perahu pengungsi berukuran 3 meter x 20 meter persegi. Kemudinya sudah berkarat. Dalam perahu itu tadinya ada lima karung beras dan tiga di antaranya berisi beras yang telah basah serta menghitam, beberapa piring, dua periuk nasi, baskom, dan beberapa bungkus kecil garam bermerek Pueng Peng Mim.

Setelah shalat Jumat, para pengungsi di penampungan memperoleh jatah makan siang.

“Orang ini tidak perlu ikan. Yang penting nasi diberikan yang banyak,” ujar Deny, salah seorang petugas dapur umum.

Menu hari ini itu nasi, telur ayam, ikan asin dan sup. Selain itu, petugas juga menyediakan cabe, garam dan saus tomat atau sambal. Sekali makan mereka bisa menghabiskan selusin lebih sambal botol.

Dapur umum ini didanai Departemen Sosial. Untuk sekali makan, dibutuhkan 50 kilogram beras dan dua kilogram ikan asin.

Umar membantu petugas dapur umum menyiapkan makanan.

“Kalau Umar makannya nanti, bersama kami. Sekarang dia bantu-bantu dulu,” ujar seorang petugas dapur.

Setelah makan, sebagian pengungsi mencuci piring dan ada pula yang membersihkan lantai. Mereka kemudian duduk berjajar sambil mendengar alunan musik atau lagu Aceh.

Muhammad Harun duduk santai di dekat tangga. Sesekali dia tersenyum. Dia satu-satunya yang mampu berbahasa Inggris dan sering dimintai petugas atau dokter untuk membantu menyampaikan bermacam hal kepada teman-temannya sesama pengungsi.

Harun berusia 21 tahun. Dia bersekolah sampai kelas tiga sekolah menengah atas. Ibunya sudah meninggal dunia, sedang ayahnya dia tinggalkan di kampung.

Saya menanyakan alasannya meninggalkan Burma.

Dia menjawab dalam Bahasa Inggris, “Pemerintah membunuh rakyat di Burma.”

“Di sana seperti tidak ada polisi, tidak ada pemerintah,” tambahnya.

Dia tidak ingin kembali lagi ke Burma.

Harun yang lain, dengan nama lengkap Harun Yahya, juga menceritakan kisahnya hingga terdampar di Aceh. Noor Alam dan Harun tampak berunding dulu sebelum menjawab pertanyaan dengan gerakan tangan. Mereka juga menyebut nama negara mereka “Burma”, bukan “Myanmar”.

Mereka memulai perjalanan ke luar Burma pada 27 Januari 2011. Perahu itu tanpa nakhoda dan haluannya dijaga secara bergiliran oleh dua orang.

Perahu amat sempit, Untuk memuat penumpang sebanyak itu, mereka harus punya cara yang tepat: seorang duduk sambil memeluk kaki yang sudah ditekuk dan seorang lagi duduk di atasnya. Ketika sudah lelah, mereka bertukar posisi. Sementara itu perahu berlayar tanpa henti.

Mereka pernah ditangkap di perairan Thailand. Tentara Thailand memberi orang-orang Rohingga ini makanan setelah melakukan interogasi. Tapi sialnya tentara-tentara itu mengambil mesin dan bahan bakar perahu. Tentara Thailand lantas kembali menarik perahu mereka ke laut dan membiarkannya melaju membawa para penumpangnya tergantung arah angin.

Ketika angin membawa perahu tersebut mendekati Pulau Weh, tampak satu kapal nelayan. Mereka minta tolong pada nelayan itu. Kapal penangkap ikan asal Sigli tersebut akhirnya menarik perahu mereka sampai ke Krueng Raya.

Ini bukan kali pertama para pengungsi Rohingga terdampar di Aceh.  Pada 2 Februari 2009, 220 pengungsi diselamatkan nelayan dan 22 di antaranya meninggal dunia akibat lapar dan haus. Selain mereka, 193 pengungsi terdampar di Sabang dan 198 di Idi rayeuk. Nasib mereka belum jelas. Pemerintah junta militer Myanmar tak mengakui mereka sebagai warganegara.

Tapi nasib Harun, Noor, dan Umar tidak berakhir di Krueng Raya.

Pada Rabu malam, 30 Maret 2011, seluruh pengungsi  dibawa ke Medan. Pemindahan tersebut berdasarkan keputusan UNHCR (United Nations High Commisioner for Refugees), lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menangani pengungsi,  yang akan mengirim orang-orang Rohingga ini ke sejumlah negara yang bersedia menerima mereka.

Banyak warga Krueng Raya yang bersedih atas kepergian mereka.

Pengungsi Rohingga sampai sekarang tidak pernah mendapatkan pengakuan sebagi etnis minoritas yang berhak menjadi warga negara Burma dari 137 etnis yang diakui pemerintah negara tersebut. Padahal nenek moyang mereka sudah ada di negeri itu sejak abad ke-7 Masehi dan menetap di wilayah Arkan.***

*Khiththati. Tulisan ini pernah dimuat di Aceh Feature. Foto : merdeka.com