Cerpen | Maafkan Aku Ibu

Oleh : Zijjue el syifa

Aku masih menyeret langkahku, menjauhi pantai. Yang kini terlihat olehku hanya keping luka kenangan. Tak ada lagi yang tersisa, hanya luka saja yang membutir, mengunung bersama kesedihan bisa jadi hilang dengan waktu atau malah bertahan hingga jutaan bahkan milyaran tahun lagi. atau jangan-jangan sampai Aku mati. Meski Aku sangat berharap esok ketika matahari terbit luka-luka itu keropos meski secuil. Aku, seharusnya kuat. Sebab Aku laki-laki, begitu mereka bilang bukan? laki-laki kuat dan pantang untuk menangis. Apa yang kutangisi ? padahal Aku tak kehilangan keperawanan seperti perempuan-perempuan itu.

Aku hanya sempat menyentuh bibir seorang gadis dengan bibirku, hanya sebatas itu saja. Lantas apa yang Aku tangisi? Aku sesalkan? Harapan ?. Ya, harapan ibuku ketika pertama kali Aku berangkat dari kampung halaman. Dengan modal Rp 300 ribu untuk mendaftar di sebuah Universitas Negeri bergengsi. Dan dengan tekat serta kerja kerasku, selalu saja Aku memperoleh nilai tertinggi 3.95 dari semester satu hingga sekarang di semester 6. IPK yang kuperoleh tidak pernah dibawah angka itu, sehingga tidak heran jika diam-diam banyak beasiswa kecantol denganku. Hal lumrah untuk orang yang punya segudang prestasi.

Aku sudah mengecewakan harapan ibuku, ibuku pernah berharap “Janganlah Engkau mendekati 3 hal anakku, rokok, wanita dan pantai karena ketiga hal ini tidak pernah menjanjikan kebaikan.” Aku telah menghancurkannya, Aku berdekatan dengan seorang perempuan. Namanya Tania. Dia gadis yang paling imut kupikir, dan IPKnya tidak pernah turun dari 3.8. ditambah lagi banyak lelaki yang mengharapkan cintanya. Untuk menyenangkan hati Tania, Aku sering memboncengnya dengan sepeda motorku. Membawanya kesana-kemari, dan Ia sangat menyukai pantai.

Pada awalnya Aku mengharapkan keseriusan dengan gadis ini, namun ternyata Ia hanya ingin bermain-main denganku. Permainan layangan cinta. Kalian pasti tau maksudku. Itu artinya menarik ulur cintaku. Tak ada terbersit dalam pikirannya untuk serius. Air mataku mengalir perlahan “Maafkan Aku Ibu,” lirihku. Aku sudah menghancurkan harapan Ibuku karena terlena oleh buaian sapaan manja Tania. Dekapannya membuatku lupa diri, mabuk darat hingga mencium gadis itu. Hal yang menjijikkan dan tidak pernah kulakukan sebelumnya, menghancurkan harapan ibu. “Jaga tubuhmu dari sentuhan wanita manapun dan jangan pula kau menyentuh wanita manapun selain istrimu nanti sebab mereka tak ubahnya babi, haram,” kata ibuku dulu.

Mulanya Aku menganggap remeh harapan Ibu, Aku kan laki-laki yang rugikan wanita? begitu biasanya hukum di masyarakat berkata. Prinsip itu ternyata salah, benar-benar sebuah pelarian untuk menenangkan hati gaya laki-laki. Padahal dengan jelas dalam firman suci Tuhan telah menjelaskan, setiap perbuatan akan diminta pertangung jawaban. Bukankah disana tidak disebutkan jenis kelamin? jelas prinsip yang kupegang selama ini adalah keliru, nol besar.

Aku terus menyeret langkahku, menjauhi pantai sambil berjanji pada diriku untuk Ibuku “Aku akan meninggalkan tiga hal yang dilarang, berusaha terus memperbaiki diri.

Perlahan matahari merayap sepi sekali, menyelesaikan hari ini berharap besok matahari bersinar kembali dan menghapus sedikit dosa tidak terlalu muluk hanya berharap dimasa depan dengan kebaikan. Bukankah laki-laki dilihat dari masa depannya? Aku akan berjuang untuk itu, hari ini, esok dan sampai Aku mati demi harapan Ibuku. Walau Aku lelaki, tak akan kurusak kehormatan diri lagi. []

Penulis adalah mahasiswa semester 5 Fakultas Adab UIN Ar-Raniry Banda Aceh