Keterbukaan Informasi di Aceh Masih Lemah

Sumberpost.com | Banda Aceh – Kabid Edukasi, Sosialisasi, dan Advokasi Komisi Informasi Aceh (KIA) Hamdan Nurdin mengatakan, keterbukaan informasi di Aceh masih sulit diakses masyarakat, terutama pada laporan keuangan dan program kerja suatu badan pemerintah.

Pernyataan itu ia sampaikan berdasarkan kasus dan laporan masyarakat yang diadukan ke KIA. Banyak masyarakat, kata Hamdan, mengeluh karena tidak bisa mendapat informasi yang diminta ketika datang ke dinas-dinas.

“Pelaksanaan keterbukaan informasi di Aceh masih sangat lemah. Informasi tentang keuangan dan program kerja pemerintah masih sulit diperoleh datanya oleh masyarakat,” kata Hamdan dalam diskusi publik di Aula Fakultas Hukum Unsyiah, Selasa (25/8/2015).

Masyarakat yang tidak memperoleh informasi yang diminta, akan mempersengketakan hal tersebut ke kIA. Hamdan menyebutkan, lebih dari 40 kasus sudah dilaporkan masyarakat terkait keterbukaan informasi di Aceh, 24 diantaranya berada di Aceh Tengah.

Dikatakan Hamdan, seharusnya setiap badan pemerintah yang anggarannya bersumber dari APBD/APBN sudah membentuk lembaga Pedoman Pengelolaan Informasi dan Dokumentasi (PPID) untuk membantu masyarakat memperoleh informasi tentang badan pemerintah tersebut.

Pembentukan PPID pada badan pemerintah di Aceh mengacu pada Peraturan Gubernur Aceh no. 39 tahun 2012 tentang pedoman pengelolaan informasi dan dokumentasi. Sementara secara nasional, undang-undang tentang keterbukaan informasi publik sudah disahkan pada 2008. Namun pelaksanaannya baru pada 2010.

“jadi KIA, untuk menyelesaikan sengketa informasi antara masyarakat dan pemerintah. Kalau PPID, membantu masyarakat dalam memperoleh informasi, misalnya tentang pembangunan. Penyelenggaraan keterbukaan informasi publik untuk kepentingan masyarakat juga,” kata Hamdan.

Keterbukaan informasi juga memudahkan masyarakat yang ingin melakukan penelitian untuk memperoleh data. Meski demikian, ada informasi yang tidak boleh diberikan ke publik dengan alasan untuk melindungi kepentingan negara, misalnya informasi tentang pertahanan negara, ujar Hamdan.

Sementara Rudi Ismawan, perwakilan dari Ombudsman Provinsi Aceh mengatakan, pelayanan publik di Aceh masih banyak terjadi kekurangan dan pelanggaran. Ia mencontohkan pungutan liar dan sogokan yang kerap terjadi.

Kendati demikian, Rudi menyebutkan, pelanggaran bisa terjadi juga disebabkan oleh kesadaran masyarakat yang masih rendah. Lanjutnya, masyarakat terkadang memilih jalan pintas untuk mencapai tujuan, seperti membuat SIM.

Menurut Ombudsman, pelayanan yang bisa diberikan untuk publik berupa barang, jasa, dan administrasi. Untuk administrasi, ada 10 pelanggaran yang bisa terjadi atau disebut mal administrasi.

“Salah satu pelanggarannya berpihak. Misalnya di rumah sakit, karena berasal dari keluarga dokter, seorang pasien bisa dilayani lebih dulu,” kata Rudi. []

Abd Hadi F