Kisah Sedih Kakak Beradik Thalasemia

Sumberpost.com | Banda Aceh – Kehidupan Nuraini (40) jauh dari kata sempurna. Sehari-hari menjalani aktivitas dikursi roda. Setiap bulan, ia harus mendapatkan darah untuk bertahan hidup. Sejak umur tiga tahun, ia menderita cacat. Pada 2006, Nuraini divonis mengidap talasemia.

Kisah duka Nuraini berawal dari suntikan imunisasi oleh seorang petugas kesehatan dari kecamatan tempat ia tinggal, di Seuremo, Indrapuri, Aceh Besar. Saat itu ia berumur tiga tahun. Setelah suntikan itu, Nuraini merasakan keganjalan di kaki kirinya.

“Waktu kecil, pas lagi jalan-jalan sama kawan, kakak sering jatuh. Dua langkah jalan, jatuh. Sekarang nggak ada fungsi lagi kaki kiri,” cerita Nuraini beberapa waktu lalu di Rumah Sakit Umum Zainal Abidin (RSUZA).

Hari-hari masa kecil ia lewati dengan cacat pada kaki kiri. Baru pada tahun 2006, Nuraini menerima bantuan kursi roda dari seorang NGO. Kala itu ia sedang merawat kakaknya, Suriya, di RSUZA yang terjangkit talasemia. Karena kaki kirinya lumpuh, Nuraini menggunakan kursi roda rumah sakit. Di sana, ia ditanyai seorang NGO yang melihat gelagat aneh Nuraini.

Ia ditanyai mengapa naik turun dari kursi roda. Nuraini kemudian menceritakan kondisi fisiknya kepada NGO itu, lalu diberikan bantuan kursi roda.

Kehidupan Nuraini menjadi lebih mudah dengan kursi roda. Bertahun-tahun ia menjalani aktivitas tidak lepas dengan alat itu. Namun belakangan, kursi roda bantuan NGO tersebut tidak lagi bisa ia gunakan karena sudah usang dan rusak.

“Sekarang kalau di rumah, harus merangkak dengan lutut,” aku Nuraini.

Di tahun yang sama, belum pun Suriya sembuh, Nuraini divonis terkena penyakit talasemia oleh dokter di RSUZA. Penyakit yang juga diderita Suriya. Nuraini sangat terkejut mengetahui hal tersebut. Oleh dokter, ia diberitahu kalau pengidap talasemia seumur hidup membutuhkan transfusi darah serta tidak bisa sembuh.

“Nggak ada istilah sembuh. Ya Allah, saya terkejut waktu dengar pertama kali. Sedih,” ujar perempuan kelahiran Juli 1979 ini.

Setelah itu ia dirawat di rumah sakit tersebut. Masih membekas diingatan Nuraini dan Suriya ketika masih dalam masa perawatan. Mereka seminggu sekali harus kontrol ke poli dan sebulan sekali rutin transfusi darah. Mereka baru masuk ruang khusus talasemia pada November 2012 lalu.

Kakak beradik yang mengidap talasemia ini lebih sering menjalani rawat jalan daripada rawat inap, disebabkan kurang biaya. Sejak ayah mereka, Fazani Makam meninggal, ekonomi keluarga mereka terus merosot. Ketika di rumah sakit, mereka sering pusing karena harus memikirkan biaya konsumsi, transportasi, dan obat.

Tahun 2010, mereka krisis biaya untuk pengobatan. Suriya dan Nuraini lalu bermusyawarah dan memutuskan untuk meminta bantuan ke kantor Gubernur Aceh. Selama dua bulan, mereka habiskan untuk mengurus surat dan berkas serta bolak-balik Indrapuri-Banda Aceh. Setelah semua persyaratan dipenuhi, pemerintah Aceh memberikan bantuan dana Rp2 juta. Uang tersebut kemudian habis untuk mengobatan kakak beradik ini.

Pengalaman pahit juga pernah mereka rasakan. Ketika itu, mereka meminta bantuan kepada pemerintah, namun tidak diberikan karena ayah mereka seorang pegawai negeri sipil. Seingat Nuraini dan Suriya, mereka belum pernah menerima bantuan dari dinas sosial.

Kepada sumberpos.com, Suriya juga bercerita mengenai kisahnya. Ia pertama kali dirawat di RSUZA pada 2005. Bulan Maret, ia menjalani pemeriksaan. Sebulan setelah itu, ia kembali dipanggil kembali ke RSUZA untuk diberitahu penyakit apa yang mengidap di tubuhnya.

Dokter sempat menduga-duga penyakit apa yang diderita Suriya. Ia ingat pertama kali dokter memvonisnya terkena anemia tragis, namn dokter lainnya membantah karena limpa Suriya masih bagus. Setelah dicek kembali, baru Suriya divonis talasemia.

“Nggak ada istilah sembuh untuk kami,” ujar Suriya dengan raut wajah sedih.

Bertahun-tahun ia dan Nuraini menjadi pasien di RSUZA hingga mereka menyebut diri sebagai “pasien abadi”. Berita duka kembali datang ditahun 2013. Tulang Suriya diketahui sudah rapuh. Pemeriksaan pun kembali dijalani, ia juga diberikan obat.

Tetapi pada September 2014, tulang paha kanan Suriya jatuh dengan sendirinya. Ia sangat terkejut karena tanpa tanda dan benturan apapun, paha kanannya patah. Setelah itu, selama tujuh bulan ia hanya terbaring tanpa bisa berbuat apapun. Yang merawat Suriya ialah ibunya, Nurhayati dan adiknya Nuraini.

“Mamak juga udah pusing kekmana biaya ini. ‘Kenapa kamu sakit terus, kita biaya nggak ada lagi, kekmana ini nak,’” kata Suriya meniru ibunya. Mereka sudah tidak tahu berbuat apa dengan kondisi serba terbatas.

Keluarga ini mempunyai empat orang anak selain Suriya dan Nuraini, yaitu dua orang laki-laki yang keduanya sudah berkeluarga. Keduanya pula yang memenuhi kebutuhan makan sehari-hari Suriya, Nuraini, dan Nurhayati.

Selain mengidap talasemia dan rapuh tulang, pendengaran dan penglihatannya juga bermasalah. Menurut Nuraini, kakaknya pernah infeksi telinga sehingga bermasalah dengan pendengaran.

Suriya memang sudah bisa berjalan dengan bantuan tongkat yang diberikan sanak keluarganya. Tetapi masih ada resah setiap kali berjalan menggunakan tongkat. Ia takut terpeleset dengan tongkat yang ia gunakan sekarang, terlebih jika melewati lantai licin.

Ia membutuhkan kursi roda untuk menghilangkan rasa khawatir, juga untuk mempermudah Suriya menjalani aktivitas sehari-hari.

“Kita takut kalau udah rapuh tulang begini, jatuh nggak bisa, mau diurut nggak bisa, orang mau bantu nggak bisa juga kalau salah pegang. Saya kadang menangis sendiri,” tutur Suriya.

Nuraini dan Suriya, kakak beradik penderita talasemia ini membutuhkan bantuan sosial untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, setidaknya untuk biaya makan, obat, dan transportasi.

Sementara Ketua Community Care Children Cancer, Ratna mengatakan, pihaknya berupaya membantu Nuraini dan Suriya dengan mengajukan permohonan ke Baitul Mal Aceh. Sebelumnya, ia telah meminta berbagai berkas yang diperlukan untuk mengurus bantuan di lembaga tersebut.

“Sekarang lagi dalam proses,” kata Ratna beberapa waktu lalu. []

Abdul Hadi F | foto : Ratna