Eksistensi Riba di Negeri Syariat

Mengambil keuntungan yang berlebihan (tidak sesuai dengan ketentuan syara’), inilah yang sering kita dengar dari definisi riba. Jika dilihat dari sudut pandang sejarah, riba memang sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW.

Dalam sistem ekonomi islam sudah ditegaskan haramnya riba dan dianjurkan bagi hasil atau disebut juga mudharabah, agar sosial ekonomi mencapai tujuan, yakni tercapainya kemaslahatan masyarakat.

Di tataran kehidupan masyarakat Aceh, praktek riba ini masih sangat banyak ditemui bahkan dalam hal–hal kecil. Misalnya dalam bentuk utang-piutang, akan ada penambahan nominal pembayaran dalam tenggang waktu tertentu.

Pada dasarnya hal semacam ini dianggap biasa saja, tetapi menurut syara’ kegiatan itu termasuk ke dalam bentuk riba. Demikian pula dalam transaksi jual beli di pasar, tambahan harga untuk satu jenis barang yang dijual, seperti menjual satu bambu beras dengan harga 5000 Rupiah, maka jika ada tambahan harga, itu adalah riba dan haram. Transaksi seperti itu masih ada dalam kegiatan jual beli masyarakat di Aceh.

Apabila riba telah menjadi sistem dan telah menggagasi sedemikian kuatnya, maka sistem itu akan dapat memberikan efek buruk bagi perekonomian secara komprehensif. Dampak dari praktek ribawi sangat membahayakan perekonomian masyarakat di Aceh. Konsekuensinya juga tidak hanya dirasakan di dunia, namun juga di akhirat kelak.

Aceh merupakan satu satunya daerah yang diberi wewenang oleh pemerintah pusat untuk menegakkan syariat islam secara kaffah. Dalam hal muamalah, harus ada perhatian khusus dari pemerintah guna menindaklanjuti keberadaan riba yang terus aktif dalam praktek jual beli masyarakat di Aceh.

Salah satu solusinya ialah penerapan ekonomi berbasis syari’ah, sistem ekonomi ini akan mampu menjawab pertanyaan–pertanyaan masalah sosial ekonomi bila masyarakat benar–benar menerapkannya. Dengan tidak adanya sosialisasi tentang sistem ekonomi syari’ah, tidak menutup kemungkinan praktek jual beli ribawi akan terus diaplikasikan dalam kehidupan sehari–hari.

Penulis bernama Mirdali Aswinda, mahasiswa Perbankan Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam. Juga menjawab sebagai Sekretaris Umum Economic Club FEBI