Deni, Pejuang Diantara Sampah

Sumberpost.com | Banda Aceh – Di tengah bayangan pepohonan kawasan taman Unsyiah, Kopelma Darussalam, Banda Aceh, sejumlah mahasiswa duduk santai seraya melepas penat dan berdiskusi.

Diantara keteduhan taman Unsyiah, seorang anak laki bertubuh mungil, dengan karung dan kait yang ikut dibawa pada Rabu sore, dua pekan lalu, terlihat berjalan diselanya, mengais sampah-sampah plastik yang akan ditukar dengan rupiah.

Sorot matanya menyiratkan keteguhan. Ia tak hirau pula keadaan sekitar. Meski banyak anak seusianya justru menghabiskan waktu sore dengan bermain bola di lapangan sekitar kawasan tersebut.

Belakangan diketahui anak laki itu bernama Deni (10 tahun), asal Kajhu, Aceh Besar. Deni saat ini masih mengecap pendidikan di kelas 5 Sekolah Dasar. Ia sendiri sudah memulung sejak kelas 2 SD, untuk membantu ibunya mencari rezeki. Sementara Ayah Deni meninggal ketika ia berumur empat tahun.

Saban siang, usai menjalani rutinitas di SD, Deni bergegas mengganti seragam merah-putih dengan pakaian sederhana, mengganti tas ransel dengan karung goni ukuran sedang. Untuk kemudian menyusuri jalan, mengambil sampah plastik diantara debu dan asap kendaraan.

Deni kerap mencari rezeki bersama ibunya, Yati, namun di tempat yang berjarak dengan Deni agar memperoleh hasil yang cukup untuk mereka.

“Mamak di sebelah sana,” ucap Deni menunjuk lokasi ibunya.

Sampah plastik biasanya dihargai Rp. 3.500-5.000 perkilogram oleh pengepul. Sedangkan pendapatan Deni sehari-hari berkisar Rp. 5.000-10.000. Uang itu di gunakan untuk menambah kebutuhan sehari-hari serta untuk membeli peralatan sekolah.

Mereka biasanya mencari tempat yang dianggap ramai untuk mencari rezeki. Tak jarang, ia dan ibunya harus menempuh waktu 30 menit sampai 1 jam naik angkutan umum labi-labi untuk mencari tempat.

Kawasan taman Unsyiah merupakan tempat keramaian, khususnya menjelang sore dan petang. Ada banyak orang terutama mahasiswa yang melakukan aktifitas di sana, mulai dari berolahraga hingga bersantai sembari menikmati panganan dan minuman.

Tak jarang berbagai jenis sampah ditinggalkan dan diabaikan. Sampah-sampah yang kerap dianggap tak berguna lagi, justru sangat berguna bagi Deni yang menggantungkan hidup diantara sampah-sampah plastik.

Deni tak malu dengan pekerjaannya itu. Pun ia sering mendapat cemoohan oleh teman-teman sekolahnya yang pernah melihatnya memulung, tak pernah menyurutkan semangatnya untuk terus membantu sang ibu mencari nafkah dan membiayai sekolahnya.

“Saya pengennya bisa sekolah terus kak,” tutur Deni.

Sesuatu yang patut diapresiasi adalah karakternya yang tak langsung memposisikan diri sebagai orang yang patut dikasihani. Ia memilih memikul karung putih berisi sampah plastik daripada memelas minta sedekah. []

Rahma Atikah