Rusunawa; Menghitung Hari

Beberapa hari lagi mahasantri program Ma’had Al-Jamiah angkatan semester ini diwisudakan. Dengan waktu yang begitu singkat, mahasantri ditempa sedemikian maksimal oleh para ustadz dan musaid.

Tak heran jika usai wisuda ma’had nanti, mahasantri mampu menghafal satu juz alquran, berdiri menyampaikan pidato didepan umum, serta mampu berbahasa asing seperti bahasa inggris dan bahasa arab dengan orang lain.

Rusanawa. Bangunan empat lantai dengan jumlah kamar 97 pintu ini telah menjadi bagian dari kehidupan saya dan teman-teman lainnya. Rusunawa adalah salah satu asrama dari tujuh asrama lainnya di UIN Ar-Raniry. Sebanyak 330 mahasantri hidup bersamaan di satu tempat. Kondisi ini melatih kami bagaimana berinteraksi dan berjiwa sosial yang baik antar sesama mahasantri lainya.

Sabtu, 19 Maret 2016. Hari itu adalah awal perjalanan melewati program Ma’had Al-Jamiah UIN Ar-Raniry. Tak ada yang saling kenal. Semua terasa asing. Mulai dari teman, tempat tinggal, hingga para ustadz yang ada.

Malam itu, usai shalat magrib di musala yang juga berada di pekarangan asrama, para ustad memperkenal berbagai fasilitas serta aturan yang mesti dipatuhi seluruh mahasantri. Tak jarang terdengar erangan keluhan dari mahasantri, pasalnya aturan yang diterapkan tak beda jauh dengan aturan di pondok pesantren dan dayah salafi.

Kondisi ini awalnya terasa sulit terutama bagi mahasantri yang berlatar belakang pendidikan sekolah umum seperti SLTA dan sederajat. Membagi waktu antara tugas kuliah dan proses belajar malam yang berlaku di asrama membuat para mahasantri mengeluh.

Namun kemudian, semua menjadi terbiasa. Keadaan justru ini melatih para mahasantri menjadi lebih jeli dalam membagi waktu dan kebiasaan menyia-nyiakan waktu pun mulai dapat di minimalisir.

Dipaksa, terpaksa, biasa, terbiasa, dan luar biasa. Semboyan ini tentu sudah tak asing bagi santri pesantren. Semua hal yang baik seperti salat tepat waktu, tilawah alquran dan berbagai kegiatan mahad lainya berawal dari dipaksa. Namun dari semua itu ternyata membawa manfaat yang amat besar bagi setiap mahasantri asrama.

Berbagai kegiatan yang menjadi program selama di asrama seperti, perbaikan bacaan alquran(tahsin), fiqih, mentoring, belajar bahasa inggris dan bahasa arab setiap malamnya, telah memberikan dampak positif kepada seluruh mahasantri.

Para ustadz yang memberikan materi adalah mereka yang telah mumpuni dibidangnya. Salah satunya guru fiqih. Syekh yang sengaja didatangkan langsung dari Arab. Hal ini dilakukan agar para mahasantri benar-benar mendapatkan ilmu langsung dari pakarnya.

Tak sedikit, mahasantri yang awalnya belum mampu membaca alquran dengan baik dan benar setelah ikut program tahsin, bacaan alquran mahasantri mulai terasa bagus.

Seorang teman saya yang juga mahasantri Mahad Al-Jamiah UIN Ar-Raniry, Rahmad Zakaria Ansar bercerita tentang dampak positif yang dirasakan ketika menjalani program asrama, salah satu perubahan positif yang ia rasakan ialah lebih tepat waktu dalam mengerjakan shalat.

“Semua sudah cukup baik. Hanya saja peralatan kamar mandi yang mesti dimaksimalkan lagi,” tutur Rahmad.

Kemudian-kewajiban lain seperti menghafal juz ‘amma sebagai syarat pengambilan ijazah asrama, menggunakan bahasa inggris dan bahasa arab di asrama serta salat tepat waktu dan tilawah alquran mendidik mahasantri agar senantiasa menanamkan nilai-nilai ketaatan dan karakter islami sebagai generasi islam.

Tak ubahnya di pesantren. Setiap paginya mahasantri diberikan kosakata bahasa inggris dan bahasa arab oleh para musaid, atau asisten ustadz. Tujuannya adalah sebagai modal bagi setiap mahasantri agar mampu berbahasa asing dengan baik dan bisa bersaing ditengah globalisasi yang semakin canggih kedepannya.

Mahasantri juga secara bergantian menjadi imam dan menyampaikan kultum setiap usai salat magrib, insya, dan subuh. Hal ini melatih setiap mahasantri agar tampil berani dan dapat bermanfaat dikalangan masyarakat.

Mirza Firdaus yang juga ketua lantai empat mengibaratkan kehidupan para mahasantri Ma’had Al-Jamiah seperti sebuah keluarga. Kekompakan dan sikap saling menjaga selalu diutamakan. Menurutnya, perbedaan watak dari setiap individu adalah hal yang wajar dan tak perlu dimaknai secara negatif.

Banyak yang menakut-nakuti bahwa asrama adalah tempat yang terkungkung dan menghalangi seseorang dalam mengikuti kemajuan zaman. Tetapi pengalaman saya pribadi, justru tinggal di ma’had dan menjadi mahasantri membuat kita melihat banyak hal baru yang dengan cepat mengembangkan potensi yang kita miliki.

Belajar agama akan mempermudah kita mempelajari ilmu lainnya. Karena pada dasarnya semua ilmu datangnya dari Allah. Dan belajar ilmu agama tak perlu menjadi sebuah ketakutan. Karena tak hanya mendapat manfaat di dunia saja, tetapi dunia akhirat.

Penulis bernama Sara Masroni, mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.

ilustrasi: internet