Cut Meutia, Pakai Hijab atau Tidak?

Sumberpost.com | Banda Aceh – Sejak Bank Indonesia merilis desain baru rupiah yang diantaranya memuat potret wajah salah satu pejuang Aceh, Tjoet Nyak Meutia atau Cut Meutia, menimbulkan berbagai reaksi dari banyak kalangan.

Pasalnya, wajah Cut Meutia dalam uang seribu rupiah itu tanpa jilbab atau penutup kepala. Hal itu dinilai kontras dengan daerah Aceh yang kental syariat Islam. Potret wajah Cut Meutia pada pecahan seribu rupiah itu dinilai mencoreng nama baik dan citra wanita Aceh.

Menanggapi hal itu, pencinta sejarah dan budaya Aceh mengadakan diskusi bertajuk Hijab untuk Cut Meutia pada Selasa, 27 Desember 2016 di 3 in 1 Coffee, Banda Aceh.

Diantara pembicara yang hadir ialah Husaini Ibrahim dari arkeolog Unsyiah dan Yayasan Warisan Aceh Nusantara (Wansa), Taqiyuddin Muhammad peneliti Sejarah Kebudayaan Islam dari CISAH (Central Information for Samudra Pasai Heritage), Harun Keuchik Leumiek budayawan kolektor pakaian dan perhiasan bangsawan Aceh, Haikal Afifa dari Institut Peradaban Aceh dan Muhajir Ibnu Marzuki dari Sekolah Hamzah Fansuri.

Husaini Ibrahim menjelaskan, Aceh sejak sebelum penjajahan Belanda, sudah dikenal menjunjung tinggai nilai keagamaan dan ajaran Islam. Selain itu juga dikenal dengan kejayaan pada masanya.

Namun dalam perjalanannya, setelah Belanda menyerang dan memporak-poranda Aceh, kejayaan Aceh semakin pudar. Begitu juga dengan ajaran dan nilai-nilai ke-Islamannya.

Pun demikian, menurut Husaini, ketika Aceh perang melawan Belanda, perempuan Aceh tetap memakai penutup kepala yang dikenal dengan nama ija sawak. Ia juga mengaku belum tahu, apakah pada masanya, Cut Meutia memakai hijab atau tidak. Tapi ia yakin, Cut Meutia merupakan wanita yang menjujung ajaran Islam.

Husaini menilai, potret wajah pada pecahan seribu rupiah bukanlah sosok Cut Meutia, karena hingga saat ini belum ditemukan foto asli tentang pahlawan Aceh itu.

Dijelaskan Haikal Afifar dari Institut Peradaban Aceh, dalam buku sejarah yang ditulis mantan perwira Belanda bernama Zendraf, dijelaskan sosok Cut Meutia merupakan wanita yang taat dan memegang nilai-nilai agama. Buku lainnya tentang Aceh seperti General Stuart Pacificator Aceh, juga menyebutkan hal yang sama.

Namun ia juga mengaku belum menemukan foto asli tentang sosok Cut Meutia. Jadi ia juga tidak tahu, apakah Cut Meutia mengenakan jilbab atau tidak.

Selain itu, Afifa menambahkan, ketika masa melawan penjajahan Belanda, hampir 90 persen wanita tidak menggunakan hijab, melainkan memakai penutup kepala seperti ija sawak.

Sementara itu, cicit pahlawan nasional Cut Meutia, Dara Meutia Uning meminta masyarakat tidak mempersoalkan nenek buyutnya memakai jilbab atau tidak.

“Cut Meutia barangkali tak peduli apakah dirinya dianggap pahlawan atau bukan. Yang terpenting baginya hanya kemerdekaan bagi bangsanya,” demikian ditulis Dara pada Kamis, 22 Desember 2016, di indonesiana.tempo.co, seperti diberitakan tempo.co.

Lanjutnya, Cut Meutia seorang yang ahli perang, bukan ahli agama. Keluarga besarnya sepakat bahwa buyutnya itu tak berjilbab. “Hanya mengenakan kain yang tidak 10 persen menutup rambut. Seperti tudung lebih tepatnya.”

Teuku Ramli, salah satu keluarga Cut Meutia, menilai gambar yang dipakai dalam uang baru sudah benar. “Dalam peperangan dulu mana ada pakai jilbab, jilbab itu kan baru-baru ini. Orang Aceh pakai jilbab itu kan baru sekarang-sekarang ini,” katanya saat dihubungi Tirto.id, Selasa (21/12/2016).

Ramli memang bukan keturunan langsung Tjut Meutia, ia adalah cucu dari kakaknya Cut Meutia. Tetapi dia tahu banyak tentang Meutia dan Aceh karena lahir dan hidup di sana.

Teuku Rusli, cucu langsung Tjut Meutia yang kini berusia 77 tahun juga mengungkapkan hal senada. Selain pakai selendang, katanya, orang Aceh sering memakai kain yang dililitkan di leher, bukan jilbab yang tertutup seperti sekarang.

“Tapi kan Tjut Meutia posisinya tak selalu pakai tudung, kalau lagi pakai baju perang kan tidak pakai,” ujarnya. Rusli menyatakan tak keberatan dengan tampilan gambar neneknya di uang seribu yang baru.

Perempuan di Uang Rp. 1000

Tirto.id menulis, gambar pada pecahan Rp. 1.000 baru itu adalah hasil produksi ulang dari foto hasil jepretan Christiaan Benjamin Nieuwenhui tahun 1901 di Kutaradja (sekarang Banda Aceh).

Foto lama itu terarsip di Universitas Leiden, Belanda. Dalam keterangan foto itu, sama sekali tak ada keterangan nama Tjut Meutia. Ia hanya diberi judul “Vrouw in Atjeh” atau “Perempuan di Aceh”, tak ada keterangan lain. Koleksi fotonya bisa dilihat pada tautan ini.

Nieuwenhui, sang fotografer, datang ke Batavia (Jakarta) pada 1883 sebagai anggota Royal Military Band—semacam kelompok musik militer—dan dikontrak selama enam tahun. Nieuwenhui memperpanjang kontraknya selama setahun.

Tahun 1890, ia berhenti menjadi tentara dan hijrah ke Padang, Sumatera Barat. Di kota itu, ia bekerja di sebuah studio foto bernama Koene & Co. Setahun kemudian, Nieuwenhui membuka studio fotonya sendiri. Dia meninggal di Padang pada 1922.

Foto jepretannya yang disebarluaskan pemerintah Indonesia sebagai foto Tjut Meutia tampak berlokasi di studio foto. Latar belakangnya bukanlah pemandangan asli, melainkan kain bergambar, seperti di studio foto pada umumnya.

Di foto itu, tampak juga beberapa ornamen khas Aceh, seperti wadah tembaga berbentuk bulat dan berkaki. []

Abd Hadi F | ilustrasi: internet