Berdemokrasi dalam Pilkada

Istilah demokrasi tentu tidak asing lagi bagi kita. Demokrasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bermakna gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Disimpulkan, demokrasi adalah sistem yang memberi hak bagi setiap warga negaranya secara leluasa untuk berpartisipasi dan ambil peran di setiap lini kehidupan bernegara. Dalam hal ini, penulis akan mengupas tentang Pilkada di Aceh terkait dengan prinsip berdemokrasi itu sendiri.

Demokrasi adalah sebuah sistem parsitipatif dimana seluruh rakyat terlibat di dalamnya, yang tergambarkan dalam prinsip dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pilkada (Pemilihan Daerah) yang akan berlangsung serentak di beberapa daerah di Indonesia, termasuk Aceh 15 Februari mendatang adalah salah satu ekspresi dari wajah demokrasi.

Sejarah mencatat, di Indonesia sudah empat kali mengalami pergantian konstitusi, yaitu dari Demokrasi Parlementer diganti menjadi Demokrasi Terpimpin (1959), tahun 1966 kemudian diganti menjadi Demokrasi Pancasila Orde baru, dan tahun 1998 kembali diganti menjadi Demokrasi Pancasila Orde Reformasi yang berlaku hingga sekarang. Walau beberapa kali mengalami perubahan setidaknya hal tersebut masih dalam bingkai demokrasi.

Sebelum disahkannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah daerah mulai dari gubernur, bupati dan wali kota dipilih oleh lembaga legislatif yaitu DPRD. Setelah disahkannya UU tersebut baru pemerintah daerah dipilih dalam suatu perhelatan yang disebut dengan Pilkada.

Pilkada di Indonesia pertama digelar bulan Juni 2005 di DKI Jakarta, sedangkan di Aceh perdana di gelar 11 Desember 2006, saat itu serentak se-19 Kabupaten dari jumlah seluruh 21 Kabupaten di Aceh.

Berdasarkan riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang di publish tahun 2015, menyebutkan bahwa potensi konflik  pilkada serentak  3 kali lebih besar daripada pemilu nasional. Muhammad yang mengetuai Bawaslu saat itu menjelaskan hal tersebut, diantaranya disebabkan karena pilkada bersifat lokalistik sehingga ruang lingkup dan persaingan dalam pilkada serentak sangat sempit, dimana saat yang bersamaan elit-elit politik mulai dari kelas menengah hingga sampai akar rumput, semuanya akan bergerak memenangkan pasangan calon yang diusung (Liputan6.com, 2015).

Pilkada serentak di Indonesia akan berlangsung dalam hitungan hari lagi. Penentukan kualitas Pilkada Aceh dan kemungkinan konflik dapat dilihat dari beberapa indikator; Pertama, Aceh adalah daerah bekas konflik, disaat yang bersamaan keberadaan senjata bekas konflik semisal senjata api tidak dapat dipastikan kepunahannya pasca perdamaian. Hal ini terkuak ketika ada kelompok Din Minimi misalnya yang tiba-tiba muncul menggugat pemerintah karena faktor ketidakpuasan, padahal kedua orang ini dulunya “kawanan di hutan”.

Kapolda Aceh Irjen Husein Hamidi (saat itu) mengatakan, “sebagai daerah bekas konflik, masih banyak masyarakat yang menyimpan senjata api sisa konflik. Namun, dia tidak bisa menyebutkan berapa jumlah pasti senjata yang masih beredar di masyarakat.

Menurutnya, sejak perjanjian damai, polisi sudah memotong 840 pucuk senjata dari mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 2006. Di tahun 2013, sebanyak 900 pucuk senjata kembali diserahkan oleh masyarakat kepada polisi. Begitu juga dengan pengumpulan senjata api beberapa bulan lalu di daerah Aceh Timur dari kelompok Din Minimi, dan itu masih ada sisanya,” kata Husein Hamidi, di Mapolda Aceh (Portalsatu, 3 Januari 2016).

Kedua, faktor rivalitas. Empat dari enam pasangan calon gubernur adalah eks (mantan) GAM. Walaupun orang-orang ini dulunya saboh kanot bu (satu dapur), tetapi sekarang kondisinya adalah berbeda. Secara substansi dulunya orang ini berada dalam satu barisan dengan satu tujuan, namun hari ini mereka berada dalam satu barisan dan dengan tujuannya masing-masing kemenangan.

Tidak terpungkiri bahwa yang mendukung masing-masing calon tersebut adalah orang-orang yang juga eks GAM. Seperti ingatan kita yang masih membekas saat Pilkada 2012, dimana saat itu duo eks, Irwandi dan Zaini Abdullah memperebutkan kursi nomor satu Aceh. Setidaknya nuansa-nuansa panas saat itu juga menjadi barometer dalam hal ini.

Faktor selanjtnya yaitu angka kemiskinan yang tinggi, kualitas pendidikan masyarakat yang rendah dan kesadaran demokrasi yang masih labil. Yang kesemua faktor ini mempengaruhi pandangan seseorang mengenai pilkada yang berimplikasi kepada Aceh untuk kedepannya.

Berita yang pernah di tulis (Serambi Indonesia, 14/1/2016) menyebutkan bahwa Aceh berada pada peringkat ketujuh termiskin di Indonesia dan peringkat kedua termiskin di Sumatera. Berkenaan dengan kemiskinan Nabi Muhammad pernah menyebutkan bahwa miskin itu dekat dengan kekufuran, dan benar saja bahwa bila kita miskin harta dan miskin ilmu maka kita adalah manusia yang tanpa arah.

Kemiskinan juga bisa berimbas kepada money politic (politik uang), sehingga yang akan terjadi adalah notabane masyarakat tidak melihat paslon berdasarkan loyalitas, kemampuan dan integritasnya, tetapi yang dipandang layak adalah yang suatu hari itu membayar uang kopinya dan mungkin menitip oleh-oleh untuk anak-istri di rumah.

Selanjutnya adalah faktor pendidikan dan kesadaran demokrasi. Pendidikan yang sebenarnya tidaklah mesti berijazah SMA atau sarjana, tapi bagian dalam  pendidikan juga ketika seseorang belajar dari masa lalu dan lingkungan disekitarnya sekarang. Sehingga kedepan memiliki pertimbangan yang fair (adil) dalam memilih pemimpin yang layak. Faktor-faktor tersebut tentunya tidak akan menentukan kualitas pilkada tanpa kesadaran demokrasi yang baik, sehingga akan mengoptimalkan satu menit untuk 5 tahun kedepan.

Oleh karenanya, untuk menjadikan pilkada Aceh berkualitas dan jauh dari hal-hal yang menunjukkan ketidakdewasaan dalam berdemokrasi. Pertama, para elit politik jangan merevisi prinsip demokrasi menjadi “dari uang, oleh uang dan untuk uang”. Selanjutnya masyarakat harus cerdas memahami politik dan tidak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan demokrasi. Nah!

Gambar: http://www.teoripendidikan.com/

Penulis adalah Muhammad Ghafar, mahasiswa Pendidikan Biologi Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry