Apa Itu Deradikalisasi?

Ada beberapa penafsiran ayat yang membawa radikalisasi. Tafsir-tafsir yang sering dirujuk oleh para radikaliser (baca: teroris) adalah seperti tafsirnya Sayyid Qutb (Tafsir Fii Dzilalil Qur’an), Hamka (Tafsir Al-Azhar), Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim (Ibnu Katsir). Dalam tafsir tersebut tidak dapat dipungkiri terdapat sebutan jihad-jihad dan radikalisme.

Namun, janganlah ditelan secara mentah-mentah bagaimana penafsiran mereka. Harus diteliti atau di-tabayyun dahuulu mengapa mereka menafsirkan ayat-ayat tentang jihad dan radikal itu dengan semangatnya, dengan menggebu-gebunya dan seolah-olah sangat marah pada pemerintahan. Sebagai contoh, Sayyid Qutb menafsirkan ayat kekerasan karena memang pada saat itu kondisinya dalam penjara akibat kontranya dengan pemerintah. Penjara yang sangat menyiksa fisiknya, membuat dirinya menggebu-gebu dalam menafsirkan ayat-ayat jihad dalam Alquran yang disebutkan kurang lebih ada 41 kali.

Begitupun dengan Hamka, akibat pergolakan politik yang menimpanya saat itu serta membuatnya mendekam dipenjara selama dua tahun tujuh bulan. Hal seperti pula yang lagi-lagi mempengaruhi dalam penafsiran seorang mufassir dalam menfsirkan ayat-ayat Alquran.

Jadi, sebelum melakukan sesuatu sebaiknya kaji dulu bagaimana dan mengapa hal seperti itu bisa terjadi, bagaimana bisa penafsirannya bisa seperti itu? Apa yang melatarbelakanginya mufassir menafsirkan dengan seperti itu?

Deradikalisasi. Ini merupakan lawan kata radikalisasi. Deradikalisasi merupakan upaya mencegah terjadinya kekerasan beratasnamakan agama. Deradikalisasi menjadi penting karena agama pada dasarnya adalah mengajarkan kemoralan, kerohanian, akhlak mulia, lemah lembut, kedamaian. Bukan mengajarkan bentuk kekerasan, pembantaian apalagi pembunuhan.

Untuk mederadikalisasi Islam dalam masa abad modern sekarang ini, Faried F. Saenong, seorang antropolog Islam sekaligus ahli dalam bidang Islamic Studies menjelaskan melalui dua objek. Pertama adalah melalui sumber hukum teringgi yang dijadikan pedoman oleh manusia, yakni Alquran. Seseorang mesti berhati-hati dan memilik sikap objektif dalam memahami konteks, asbabun nuzul, serta pemaknaan teks dan prinsip dalam Alquran.

Kedua adalah Hadist. Yakni dengan mengetahui asbabul wurudnya, ‘illat, asas, maslahat dan posisi Nabi ketika itu. Begitulah beberapa metodologi yang bisa digunakan untuk meredakan, menormalisasi dan meminimalisasi terjadinya radikalisasi yang tengah berkembang saat ini. Sebab bagaimanapun juga radikalisme tidak sesuai dengan ajaran Islam, karena sesungguhnya dalam Islam tidak ada yang namanya radikalisme.

Dalam al-Qur’an dan hadis sendiri memerintahkan umatnya untuk saling menghormati dan menyayangi serta bersikap lemah lembut kepada orang lain meskipun orang itu penganut agama lain. Wallahul Muwafiq Ila Aqwamit Thariq. []

Penulis adalah Muhammad Ikram Al-Mubarak, Mahasiswa Prodi Hukum Pidana Islam, UIN Ar-Raniry.