Belajar Budaya Baca dari Finlandia

Oleh Febrina Arfi

Sudah banyak diberitakan di media cetak atau media online tentang minat baca masyarakat Indonesia yang sangat rendah. Hal ini dibuktikan dari hasil survei UNESCO dan Most Literate Nations in the World, Indonesia menempati posisi dua terakhir dari 61 negara di dunia.

IKAPI pada tahun 2014 melaporkan 30 ribu buku yang diterbitkan dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 250 juta, dengan perbandingan 1:5 artinya 5 orang dengan membaca 1 buku. dan data terbaru Indonesia 12,88 juta orang indonesia tidak mampu membaca dan menulis.

Padahal jika lebih jauh di refleksi, banyak dukungan yang telah dilakukan untuk meningkatkan minat baca masyarakat.

Melakukan kampanye hari buku, perpustakaan keliling, aplikasi perpustakaan digital yang telah dilakukan di beberapa daerah, program membaca buku 10 menit sebelum kegiatan belajar di sekolah dimulai, pojok baca, kegiatan sosial dengan donasi buku, pendidikan aksara untuk buta huruf dan banyaknya berdiri komunitas literasi di berbagai daerah.

Dan pemerintah juga telah berupaya untuk meningkatkan minat baca masyarakat dengan mengeluarkan kebijakan Rancangan Undang-Undang Sistem Perbukuan untuk mewujudkan buku yang terjamin dari segi mutu, segi keterjangkauan harga, dan dari segi akses yang merata.

Upaya-upaya di atas juga tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Masyarakat hanya mengalami euforia sesaat ketika hari buku diperingati. tindak lanjut aksi selanjutnya sering tidak jelas dan tidak berlangsung lama karena minatnya sudah berkurang.

Berhasil atau tidaknya upaya kita untuk meningkatkan minat baca tidak terlepas dari kebiasaan yang kita pupuk sejak dini. Kita juga jangan lupa bahwa pembudayaan minat baca dimulai dari percontohan di lingkungan keluarga. Kebiasaan yang dibawa dari keluarga akan dibawa hingga dewasa dan menjadi kebiasaan yang umum di masyarakat.

Kita bisa mengambil contoh dan belajar dari kebisaan negara yang tingkat minat bacanya tertinggi di dunia. Negara Finladia sebagi negara terpelajar di dunia mendukung pendidikan anak sejak dini. Ibu dan ayah diberi buku bacaan tentang perkembangan anak. Keluarga menjadi gerbang pendidikan awal untuk anak.

Sistem pendidikan Finlandia juga menekankan pembelajaran dengan metode imajinasi, bermain dan self dicovery daripada berfokus pada tes dan nilai. Setelah bersekolah, setiap anak diwajibkan membaca satu buku setiap minggu. Sistem pendidikan ini membantu budaya baca tumbuh menjadi kultur budaya masyarakat Finlandia.

Kultur bercerita juga menjadi tradisi orang Finlandia dari masa ke masa, misalnya memperkenalkan hal-hal yang baik dan buruk, menghormati orang tua, dan menghargai sesama. Lewat tradisi bercerita ini minat baca terpupuk sejak dini. Selain itu, keaktifan orang tua sebagai penunjang belajar anak pun dapat terus berjalan. Tradisi inilah yang membuat minat baca dalam keluarga menjadi berkembang.

Memang patut diingatkan bahwa refleksi hari buku sedunia yang dimaksudkan adalah lebih baik mulai aksi dalam revolusi budaya membaca daripada bersikap sinis dengan fakta-fakta terhadap lesunya minat baca. Hidup kita bisa berubah melalui buku yang kita baca.

Semua orang ingin hidup dalam lingkungan yang nyaman dan sejahtera, tetapi tidak semua orang berkomitmen untuk ikut aksi agar menjadi kenyataan, lambat tapi pasti budaya membaca akan meningkat dan kualitas hidup masyarakat juga akan meningkat.

Maka, kita bisa bertanya pada diri sendiri apakah kita termasuk orang yang cuma mendengar tetapi tidak melakukan aksi? Mendiang Proklamator Indonesia, Muhammad Hatta pernah berkata aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas. [ron]

Febrina Arfi, Dosen Kimia Fakultas Sains dan Teknologi UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Email: arfi2102@gmail.com