Mengenal ‘Skizofrenia’ dari Kacamata Psikologi

“Gila” adalah stigma paling umum yang diindentikkan dari pandangan masyarakat setempat di Indonesia untuk mendeskripsikan penyakit mental satu ini.

Skizofrenia, pada perspektif psikologi umum, adalah satu penyakit mental kronis yang menyebabkan gangguan pada proses berfikir sehingga menyebabkan penderitanya bersikap dan berperilaku aneh.

Skizofreniaatau penyakit gila ini pertama kalinya diidentifikasikan sebagai “demence precoce” atau gangguan mental dini oleh Benedict Muller (1809-1873), seorang dokter berkebangsaan Belgia pada tahun 1860. Manakala dari istilah bahasa, skizofrenia dapat diartikan sebagai “Splitting of Mind” atau pikiran yang terpecah, yang diambil dari awal munculnya kata Skizofrenia itu sendiri yang berasal dari kata Latin baru, yaitu schizo yang berarti “terpecah” dan phrenia yang berarti “pikiran”.

Adapun dalam ranah psikologi sendiri, terdapat lebih dari satu teori dan penelitian terkait gangguan psikologis kronis ini. Namun, tidak banyak dari masyarakat khususnya di Aceh, yang peka akan masalah gejolak jiwa atau kelainan mental ini sebagai suatu bentuk gangguan psikologis yang mana pasien atau si penderita layaknya diberikan bantuan dan dukungan sehingga andai mereka tidak dapat pulih sepenuhnya, setidaknya gangguan yang mereka alami tidak malah semakin parah atau berakibat fatal pada diri juga pada lingkungan sosial.

Tidak jarang, penderita gangguan jiwa skizofrenia ini dipandang orang dengan perasaan takut, jijik, serta menganggap mereka berbahaya. Mereka sudah lali dengan tindak perlakuan semena-mena sebagian masyarakat seperti menerima cemoohan dan penghinaan, perlakuan kasar sehingga dipasung dalam kamar gelap atau tidak diperbolehkan berinteraksi sosial.

Penulis  mengangkat tema ini sempena Hari Kesehatan Mental Sedunia yang jatuh pada tanggal 10 Oktober setiap tahun,  setelah mengamati berdasarkan fakta bahwa di Aceh sendiri kesadaran tentang gangguan jiwa ‘Skizofrenia’ ini masih terkesan minim. Hal ini dapat dinilai dengan meningkatnya jumlah pasien di Rumah Sakit Jiwa di Banda Aceh setiap tahunnya. Maka sama-sama kita rungkai persoalan tentang skizofrenia; dari kacamata psikologi.

Skizofrenia dapat dijelaskan dalam kajian secara biopsikologi melalui beberapa hal yang diperhatikan; diantaranya kerusakan otak atau abnormalitas ketidakseimbangan struktur otak, genetik atau keturunan, meningkatnya kadar neurotransmiter dopamin dan gangguan pada bagian lobus area serebal terutama dibagian lobus frontal otak, yaitu terdapat abnormalitas struktural pada bagian otak tertentu penderita skizofrenia yang bisa jadi merupakan hasil dari infeksi virus pada saat perkembangan prenatal.

Salah satu hipotesis biologis menarik dalam menjelaskan skizofrenia adalah otak dari penderita gangguan ini dapat mengalami ketidakseimbangan biokimia. Misalnya, hipotesis dopamin menjelaskan bahwa skizofrenia terjadi karena terdapat aktivitas berlebihan pada area otak menggunakan dopamin sebagai neurotransmiternya.

Manakala dari segi alur genetiknya seorang pengidap skizofrenia, semakin dekat hubungan antara seorang penderita skizofrenia dengan individu lain, semakin besar kemungkinan individu tersebut akan mengalami gangguan ini. Teori yang paling dekat dapat dilihat adalah dari ruang lingkup keluarga, jika ada diantara orang tua pengidap Skizofrenia, maka bisa jadi salah satu dari anak mereka juga berpotensi mengalami gangguan jiwa yang sama. Meski tidak  dapat disangkal bahwa secara holistiknya gangguan jiwa ini tidak hanya berpuncak pada faktor genetik saja tetapi juga terdapat hal-hal lain yang harus diperhatikan yang menyumbang kepada munculnya gangguan mental skizofrenia ini.

Menelusuri sudut pandang psikologi kognitif, dalam mengungkap gangguan jiwa kronis yang satu ini, tentunya tidak jauh beda dari apa yang telah dirungkai oleh kajian-kajian biopsikologi sehingga ia juga dapat dikembangkan dan disesuaikan secara kognitif bahwa ketika seorang penderita skizofrenia mulai mendengar suara-suara halusinasi, bagian dari otak yang bertanggungjawab atas pendengaran dan pemprosesan informasi menjadi aktif.

Ketikamereka mengalami halusinasi visual, bagian otak yang terlibat dalam pergerakan dan warna akan aktif. Pada saat bersamaan, bagian lobus frontal penderita skizofrenia yang terlibat dalam regulasi emosi, ide-ide, evaluasi terhadap stimulus sensoris, mula menunjukkan tingkat aktivitas yang sangat rendah. Maka mereka tidak lagi dapat membedakan antara realita dan halusinasi semata.

Pada kategori psikologi sosial, gangguan skizofrenia merupakan dampak dari suatu kerentanan yang mendasari hubungan antara stres dan gejala psikotik, sehingga lazim disebut secara umum bahwa skizofrenia adalah hasil dari kondisi stres yang tidak dapat dikendalikan. Stres pada umumnya dapat berupa faktor pencetus ekspresi kerentanan biologi terhadap psikosis tetapi individu yang mengalami stres kritis adalah disebabkan faktor kritikal dalam perkembangan disfungsi otak dimana dapat berupa kejadian ketika kehilangan orang tersayang, perkelahian antara anggota keluarga, divonis menderita penyakit kronis atau mungkin karena faktor bencana alam juga kemiskinan ekonomi yang mencengkam. Maka tidak dapat disangkal juga, keterkaitan hubungan antara bidang psikologi lainnya dengan psikologi yang masih umum dimata masyarakat yaitu psikologi Islam atau dari segi teoritis spiritual, dalam merungkai apa yang mungkin selama ini muncul di benak pikiran masyarakat tentang skizofrenia.

Pada tahun 2017, dalam sebuah penelitian pada pasien skizofrenia rawat jalan di Poliklinik BLUD Rumah Sakit jiwa Aceh (RSJA), analisa menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan penyebab gangguan skizofrenia yang mereka alami adalah berupa ujian dari Allah SWT. Maka tidak terlepas dari Firman Allah pada surah Al-Baqarah ayat 155 yang artinya; dan sesungguhnya akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kehilangan harta, jiwa dan buah-buahan. Juga dikuatkan dengan Firman Allah SWT dalam surah An-Nisa ayat 97 yang artinya; apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Menurut tafsir Al-Quran Al-Karim, makna dari ‘kesalahanmu sendiri’ dalam ayat tersebut adalah karena dosa-dosa dan tindakanmu.

Dalamkonsep kesehatan mental Islam, pandangan mengenai gangguan jiwa tidak lari jauh dari apa yang telah dikemukakan oleh para ahli psikologis lainnya terkait bidang psikologi umum, abnormal, sosial maupun kognitif. Tetapi, adapaun dalam perspektif Islam, gangguan jiwa ini tidak hanya diukur dengan ukuran humanistik saja. Akan tetapi Islam juga melihat bagaimana hubungannya dengan akhlak dan iman. Al-Ghazali memandang bahwa kesehatan mental ini ada hubungannya dengan akhlak yang buruk. Selain itu, gangguan mental dalam Islam juga berkaitan dengan penyimpangan-penyimpangan sikap batin.

Penulis berharap dengan lebih menyelami apa itu skizofrenia dari kacamata psikologi, maka kita akan lebih terpanggil untuk peka akan masalah mental yang acap kali dulunya kita abaikan. Tidak hanya bagi mahasiswa psikologi atau ahli kesehatan mental saja, bahkan masyarakat umum seharusnya lebih antusias dalam menyebarkan kesadaran terkait kesehatan mental ini, tentunya bukan pada tanggal 10 Oktober saja, tetapi pada saat orang-orang mulai lupa akan pentingnya kesehatan mental, selain kesehatan fisik yang perlu diberi perhatian lebih.

Mulai hari ini mari kita sama-sama sepakat untuk saling peka, mengingatkan dan peduli pada lingkungan, terutama pada individu yang dulunya kita sebut “gila”.

* Fatimah Zuhra, Mahasiswi Jurusan Psikologi UIN Ar-Raniry. Email: imzuhra.fz@gmail.com

Ilustrasi : Internet