Mengenang Tragedi 1873 dan Kasih dari Selembar Foto

Sumberpost.com | Banda Aceh – Kehadiran Aceh Menonton menjadi wadah  bagi para pecinta film di Aceh untuk berdiskusi tentang film. Program ini sudah berjalan setiap pekannya.

Aceh Menonton memutar film dokumenter Liefde dan Hikayat Seni Tutur Negeri Serambi dalam rangka memperingati peristiwa 26 Maret 1873 lalu, di mana terjadi perang yang dahsyat antara Aceh dan Belanda. Kedua film yang diputar bercerita tentang hikayat dan sejarah Hindia-Belanda.

“26 Maret, 146 tahun yang lalu, kapal Belanda menembakkan meriam ke daratan Aceh. Belanda menyatakan perang pada Aceh. Sebuah peristiwa yang mengubah keadaan selamanya. Kita harus mengingat hal itu, Aceh menonton pekan ini memutar dua film dokumenter itu untuk memperingati peristiwa tersebut,” ujar Akbar selaku programmer Aceh Menonton di Ruang Mini Teater BPNB Aceh, Rabu (27/3/2019).

Setelah screening kedua film tersebut, diadakan diskusi terkait hal itu. Dalam kesempatan ini, pihak panitia menghadirkan tiga pemateri yaitu Haikal Hafifah, M. Adli Abdullah, dan Muda Balia. Diskusi pada Aceh Menonton mengalir dan liar, namun tak keluar konteks. Film sebagai bahan awal untuk mengaktifkan memori kolektif para penonton.

Diskusi Film Dokumenter Liefde dan Hikayat Seni Tutur Negeri Serambi di Ruang Mini Teater BPNB Aceh, Rabu (27/3/2019).

Film yang disutradai oleh Azhari dan Enang ini menarik minat banyak penonton di Ruang Mini Teater BPNB Aceh. Azhari sebagai sutradara Hikayat Seni Tutur Negeri Serambi dan Enang sebagai sutradara Liefde.

Selain itu, M. Adli Abdullah, Akademisi Fakultas Hukum Unsyiah juga diberi kesempatan untuk berbicara. Ia memaparkan, memerangi Aceh itu susah, lebih mudah diajak bekerjasama. Namun, orang Aceh tidak memiliki dendam kepada orang yang sudah mati.

“Saat kedutaan Belanda kebingungan untuk memindahkan kuburan Jenderal Belanda yang mati ketika perang, tokoh Aceh datang menawarkan untuk dipindahkan ke Kerkoft di Aceh,” ceritanya.

Tragedi 26 Maret 1873 adalah ultimatum perang oleh Belanda ke Aceh, atau biasa disebut perang Aceh. Pada tanggal tersebut Belanda mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal Citadel van Antwerpen. Sejarah mencatat bahwa rakyat Aceh susah ditaklukan oleh Belanda.

Perlawanan rakyat terhadap Belanda tersebut tidak terlepas dari hikayat-hikayat yang dilantunkan oleh penyair-penyair Aceh. Salah satunya, Hikayat Prang Sabi.  

“Hikayat adalah seni Aceh yang diwariskan oleh endatu kita dulu, bukan Budaya. Hikayat menceritakan apa yang sudah terjadi. Sama seperti wartawan, memberitakan apa yang terjadi. Kalau dulu disebut penghikayat,” ujar Muda Balia saat sesi diskusi di Aceh Menonton.

Muda Balia, seorang penghikayat Aceh, sudah belajar selama tiga tahun tentang hikayat di Aceh Barat Daya. Ia juga yang memerankan langsung film Hikayat Seni Tutur Negeri Serambi. Balia mengatakan seni tutur ini perlahan-lahan akan hilang jika tidak dilestarikan. Padahal masih banyak hikayat-hikayat lain yang perlu didengar generasi Aceh untuk  membangkitkan semangat. Bukan hanya Hikayat Prang Sabi.

“Seharusnya saat Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) setiap seni Aceh punya stannya masing-masing. Tidak hanya dimainkan di panggung. Jadi, masyarakat tau harus ke mana, tidak terlewatkan,” katanya.

Penonton menyaksikan Film Dokumenter Liefde dan Hikayat Seni Tutur Negeri Serambi sekaligus berdiskusi di Ruang Mini Teater BPNB Aceh, Rabu (27/3/2019).

Dalam kesempatan itu pula, Balia memperlihatkan sebatang bambu yang dibolong-bolongkan beberapa bagian ujungnya. “Ini bukan seruling, ini mambu, namanya Ban Si,” katanya. Ia pun sempat memainkan alat musik tradisional tersebut.

Secara garis besar, diskusi malam itu memang mengarah pada tragedi 1873. Haikal Afifa, aktivis sekaligus ketua Lembaga Instituet Peradaban Aceh mengatakan bahwa perang bagi rakyat Aceh adalah hal biasa.

“Perang bagi rakyat Aceh adalah hal biasa yang harus tetap tumbuh pada setiap generasi. Saya kira, pemutaran film ini adalah bagian dari petarungan identitas kita yang dicampur-adukan. Sampai saat ini, saya belum menemukan cacatan sejarah yang menyatakan Aceh bagaimana dibumi-hanguskan oleh Belanda. Saya rasa ini penting dan menarik untuk diangkat dalam film secara fakta dan aktual. 1873 masih menimbulkan tanda tanya,” katanya.

Dalam film kedua yang diputar pada Aceh Menonton ini berjudul Liefde yang berarti cinta/kasih. Enang, sutradara asal Belanda, dalam film ini menceritakan perjalanan dirinya dalam mencari nenek buyutnya. Perjalan itu bermula dari selembar foto yang dipotong.

Ia meneliti foto keluarganya yang diambil dari bekas zaman Hindia-Belanda. Setelah mencari ke sana-sini, ternyata nenek buyutnya adalah perempuan dari Aceh. Perkataan ibunya, bahwa foto tersebut bukanlah foto lengkap keluarga dan itu menjadi awal dari perjalananya menulusuri potongan foto tersebut.

Film ini seperti menolak tegas, bahwa pada masa Hindia-Belanda perempuan di Aceh menjadi budak seks. Enang, menemukan dokumen-dokumen tentang Aceh di Museum Broonbek setelah mendengar nama Kalida disebutkan. Terpapar disitu, nenek buyutnya menikah secara sah dengan orang Belanda.

Perang ternyata tidak hanya menghadirkan luka yang berkecamuk, tapi juga kasih sayang seperti yang diceritaka Enang dalam filmnya. Namun, kasih sayang bukan hanya pada kisah Enang, tetapi masih banyak kasih sayang yang lain, yang tidak kita ketahui keberadaanya.

Saat melihat foto tersebut, sepintas memori akan kembali ke foto-foto buku sejarah di sekolah dulu atau buku sejarah yang menceritakan masa penjajahan Belanda. [ ]

Adli Dzil Ikram