Kemajuan Perfilman Aceh Lewat Komunitas Film Indie

Meskipun Aceh belum memiliki Bioskop, sedikit demi sedikit perfilman aceh mulai bangkit. Karya film anak Bangsa kini rutin diputar secara screening di Aceh. Ruang putar film alternatif ini menjadi tempat apresiasi bagi karya komunitas film.

Tumbangnya rezim orde baru tak hanya mengubah peta demokrasi negeri ini, namun juga awal kebangkitan sinema lokal dari keterpurukan. Indikatornya adalah komunitas film independen.
Komunitas film tidak hanya berlipat ganda, tetapi terus berkembang.  Di Aceh setidaknya ada puluhan komunitas film sudah berdiri. Kebanyakan dari mereka adalah kalangan mahasiswa.

Kami menemui salah satu  komunitas film yang ada di Aceh. Adalah Fisuar, meski baru berdiri, komunitas digagas oleh mahasiswa Universitas Islam Negeri Ar-Raniry ini telah menuai prestasi di usia yang masih sangat muda. Diantaranya, mereka pernah menyabet penghargaan dari KIP Aceh.

“Kami hadir pada pada akhir tahun 2018. Atas usulan aku dan teman ku Yogi Afriansyah,” kata Arief Rachman Missuari, salah seorang penggagas komunitas Fisuar, Jum’at (29/3).

Dia menceritakan berdirinya komunitas Fisuar awalnya dibawah kendali Fakultas Ilmu Politik (Fisip) UIN Ar-Raniry, namun mereka mengalami banyak penolakan sehingga Arief dan beberapa temannya memillih untuk membentuk komunitas secara Independen dengan mengganti Nama Fisuar menjadi Fisuar Independent Film (FIF).

“Ketika Fisuar keluar dari Fisip, sekarang FIF sudah ada tempat ngumpul resmi yang kami namakan bengkel kreatif, dengan tujuan untuk mengembangkan keilmuan soal perfilman disini,” cerita Arief.

Menurutnya, dengan membentuk komunitas secara independent, mereka menjadi lebih leluasa dalam berekspresi.

“Mereka mengeluarkan maklumat membatasi kreatifitas Fisuar, semua kegiatan perfilman harus meminta izin mereka,” kata dia.

Kebanyakan film yang diproduksi oleh komunitas film mandiri di Aceh adalah film pendek yang ceritanya diadaptasi dari kearifan lokal.

“Kami ingin mengenalkan Aceh ke mata dunia lewat perfilman, apa lagi perfilman nasional yang shooting di alAceh itu sangat kurang, karna hal tersebut kami rasa ini menjadi peluang bagi kami pemuda Aceh untuk bertangung jawab mengenalkan aceh lewat perfilman,” harapnya.

Biaya produksi film yang tinggi tidak membatasi karya-karya pegiat film independent ini. Beberapa karya yang dihasilkan bahkan bermodalkan alat seadanya saja.

“Bajeung film pertama kami, prosesnya sangat sederhana, kami mulai menulis cerita lalu menuju tahapan premis, sinopsis dan kemudian naskahnya. Dengan crew hanya 4 sampai 5 orang, dan alat hanya satu kamera buat shoot dan laptop buat ngedit.”

Ruang film Aceh Menonton

Bioskop, Perlu atau Tidak ?

Banyaknya komunitas film mandiri ini juga memaksa Aceh untuk membuka kembali ruang menonton.

Salah satu pegiat film Aceh, Azhari beranggapan, bahwa perfilman di Aceh sudah mulai berkembang meskipun tanpa bioskop. Menurut dia, ada dan tidak adanya bioskop, perfilman tetap bisa berkembang.

“Ada bioskop untuk apa? Untuk uang? Kita buat film juga kadang dikasetkan. Sama juga jadi uang, bahkan sekarang kalau udah tayang di bioskop bisa ditonton streaming. Lebih rame yang tonton streaming. Sama aja kan,” kata pria yang akrab disapa Ayi tersebut.

Dia pun menjelaskan, bahwa sebenarnya Aceh pernah memiliki bioskop namun tersapu bersamaan dengan adanya Tsunami, bukan disebabkan oleh adanya pemberlakuan Syariah Islam di Aceh.

“Hingga kini, Aceh belum ada bioskop lagi karena banyaknya stigma negatif dari masyarakat,” kata Ayi yang juga menjabat sebagai ketua Penelitian dan Pengembangan (Litbang) pada sebuah yayasan perfilman, Aceh Documentary.

Menurutnya stigma ini muncul karena telah didoktrin oleh paham, bahwa bioskop selalu menjadi tempat berbuat maksiat. Padahal baginya, bioskop diumpamakan seperti ujung pisau. Bisa baik, bisa juga melukai.

Dalam artian, bioskop bisa menjadi bermanfaat jika masyarakat juga mengikuti aturan yang dibuat. Dan bisa jadi buruk jika masyarakat sendiri yang melanggar aturan.

Sama halnya dengan Ayi, Jamaluddin Phonna yang juga salah satu sineas muda berprestasi di Aceh mengatakan hal yang sama.

“Saya tidak masalah Aceh belum punya bioskop, malah kawan-kawan saya yang juga buat film di daerah luar Aceh dan tentunya memiliki bioskop. Mereka juga nggak selalu bisa tayangin di bioskop. Karena ngga semua film bisa tayang di sana dengan mudah,” katanya.

Namun demikian, menurut dia, jika pun di Aceh ada bioskop. Hal itu tidak menjadi masalah. Ia dan rekan-rekannya pernah mengaplikasikan layaknya bioskop, dalam kegiatan yang dibuat Aceh Independen Cinema.

“Kalau pun memang ada bioskop di Aceh ngga masalah. Kita bisa buat sesuai aturan. Pernah kita buat ketika ada kegiatan yang dibuat oleh Aceh Independen Cinema. Itu duduk hingga pintu masuknya dipisah, antara laki-laki dan perempuan. Ada Wilayatul Hisbah (WH) juga yang berjaga di luar. Dan WH juga nggak akan mengganggu penonton,” katanya.

Dukungan Pemerintah

Isu-isu pembangunan bioskop semakin terdengar keras meski belum ada kepastian. Sementara di sisi lain, para pegiat film terus berkarya tak peduli akan keterbatasan. Mereka terus memproduksi dan mempersembahkan karya terbaiknya. Pemerintah pun sudah beberapa kali menyatakan dukungannya terhadap hal ini.

Walikota Kota Banda Aceh, Aminullah Usman mendukung penuh dunia perfilman Aceh. Koordinasi terus dilakukan oleh pemerintah dengan pihak-pihak terkait agar bioskop dapat hadir dengan nuansa Islami.

“Silakan saja berkreasi membuat film, selama bernuansa islami dan tidak mengandung unsur pelanggaran syariah,” katanya saat ditemui pada Acara Peresmian Kantor Perwakilan KPJ Penang Specialist Hospital Banda Aceh di Beurawe, Sabtu (30/3/2019).

Ia berharap, film-film lokal ini bisa menjadi cikal bakal tontonan berkualitas untuk disiarkan di perfilman Indonesia khususnya di daerah bersyariat Islam.

Aminullah mengatakan, pemerintah Banda Aceh akan mengadakan pembicaraan terkait pembuatan bioskop dengan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU). Rencananya bioskop Banda Aceh akan dibuat dalam konsep yang berbeda, sesuai syariat.

Saat ini bioskop syariah yang dicanangkan tidak kunjung hadir karena belum ada qanun yang mengatur tentang itu. Perizinan akan hadirnya bioskop di Aceh akan segera diurus.

“Sampai saat ini belum ada bioskop karena belum ada qanun yang mengatur tentang itu,” terang Amin.

Pemerintah terus mendukung para sineas dalam membuat dan menayangkan film meski belum ikut berpartisipasi akan itu.

“Saat ini belum ada Insyaallah ke depannya akan kita support,” kata Amin menutup perbincangan.

Penulis : Riska Munawarah, Cut Salma, Cut Della Razaqna