Film Sexy Killer, Referensi Menolak Tambang di Aceh

Malam Minggu (6/4) kemarin, menjadi malam Minggu yang menyenangkan bagi segenap kaum jomblo. Pemutaran film dokumenter Sexy Killers di Kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh adalah penawar suntuk dari peliknya kampanye politik.

Malam itu, kantor AJI Banda Aceh sesak akan penonton. Di ruang gelap, penonton menikmati drama sesungguhnya di Indonesia.

Adegan yang sedikit Sexy pada scene awal film ini; di kamar hotel, pantai hingga kolam renang. Menimbulkan rasa penasaran; kemana arahnya?, Mungkinkah ini film esek-esek ?.

Ternyata bukan saudara-saudara. Mungkin Sexy scene yang dimaksudkan itu, para elite di negeri ini yang menikmati keindahan dibawah kepedihan rakyat yang sedang menjerit, bersembunyi dari abu-abu hitam yang ganas.

Namun, film dokumenter yang di-direct oleh Dendhy Laksono dan Suparta ini, menceritakan para elite di Merah-putih, secara tidak langsung telah bersetubuh dengan alam atau lebih tepat dengan tubuh rakyatnya. Kasarnya, membunuh dengan cara melumpuhkan.

Perusahaan tambang banyak memakan korban jiwa dengan melanggar aturan yang telah ditentukan, membuang limbah tidak pada tempatnya. Akibatnya rakyat banyak yang berpenyakit. Beberapa orang beranggapan perusahaan tambang membuka lapangan kerja bagi masyarakat sekitar. Iya, tapi dia tidak akan berkata seperti itu, jika belum menonton Sexy Killers atau memang tidak punya hati.

Sexy Killers adalah film terakhir dari ekspedisi Indonesia biru. Hal ini saya ketahui saat melihat cuitan Twitter Dendhy sang sutradara. “Setelah Samin vs Semen, Kala Benoa, The Mahuzes, Asimetris, dan 7 film lainya, April ini kami akan rilis film terakhir Ekspedisi Indonesia Biru,” tulisnya. Secara keseluruhan film ini mengambil lokasi shoot di Kalimantan Timur, Palu dan Bali.

Secara serentak juga film ini diputar di beberapa kota. Sebagai referensi harus menolak tambang, saya kira Sexy Killer adalah arah yang dituju.

Ingatan saya berputar pada suara-suara teriakan mahasiswa Aceh di depan kantor Gubernur Aceh, 28 Maret dan 5 April lalu. Saat film ini menanyangkan view lokasi pertambangan batu bara di Kalimantan Timur. Para mahasiswa melakukan demonstrasi menolak tambang yang akan beroperasi di Aceh. Film ini adalah bentuk lain dari suara-suara itu.

Selanjutnya, kisah Ketut, salah seorang sarjana hukum. Ia bertekad mendapatkan gelar sarjana hukum untuk merebut kembali tanah ayahnya, yang direbut oleh perusahaan tambang. Asap-asap dan limbah dari PLTU di kampungnya telah memberikan penyakit kepada rakyat.

Menariknya lagi, film ini dikaitkan dengan politik. Mengambil momentum pilpres. Debat pilpres tentang pendapat kedua Paslon Pilpres terhadap isu lingkungan dan tambang disaji dengan menarik. Merekam janji mereka, bagaimana menangani persoalan tambang.

Persoalan tambang-menambang memang menjadi rahasia umum, tapi tak banyak media yang berani memberitakannya. Antara takut hilang atau tak ada kuasa. Hadirnya Sexy Killer dan beberapa film lainya menjadi referensi kuat bagi kita. Tentu, pergerakan didasari oleh diri sendiri.

Klarifikasi Nyaring Bunyinya

Gubernur Kaltim Isran Noor, menyalahkan penduduk ketika ditanyai mengenai kubangan tambang yang belum direklamasi dan menyebabkan banyak korban jiwa. ‘Kan udah dilarang, jadi ngapain main disitu’ hingga ‘mungkin kubangnya berhantu kali’. Tong Kosong Nyaring Bunyinya!

Pernyataan itu sama sekali tidak menemukan titik solusi. Miris, setingkat penjabat harus mengeluarkan statement seperti itu.

Lagi-lagi ingatan saya kembali berputar pada suara-suara di kantor Gubernur Aceh. Sudah dua kali berdemonstrasi menolak izin yang diberikan kepada salah satu perusahaan tambang emas di Beutong. Mahasiswa dan pemuda haus akan klarifikasi dari orang nomor satu di Aceh saat ini. Kehandirannya jadi amat penting, sekedar menyapa atau bercanda dengan rakyat. Namun, tambang adalah hal yang serius. Dipikirkan matang-matang, diteliti dengan detail.

Sepertinya, yang mereka butuhkan hanyalah klarifikasi yang jelas. Mereka tak butuh perwakilan. Tapi, Kehadiran dan klarifikasi yang tak nyaring bunyinya

Sexy Killer juga menjelaskan dampak-dampak yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan, mercury salah satunya. Sang reasecher, Tommy Apriando, sepertinya bekerja dengan baik, sedikit bergadang mungkin.

Adli Dzil Ikram, penulis adalah penikmat film dan mahasiswa Prodi Arsitektur UIN Ar-Raniry. Email: dzilprikitiew@gmail.com