Cerpen | Tatto

Oleh: Zijjue el Syifa

Perempuan itu masih memandang keluar jendela, hujan baru saja turun sehingga genangan air terdapat dimana-mana berserekan tak karuan. Jalan-jalan yang hanya dilapisi oleh aspal tipis akibat kerja proyek para kontraktor negara telah banyak berlubang dan lubang itu digenangi air. Di seberang jalan, di bawah temaram lampu jalan terdapat sebuah halte bus yang sama usianya dengan perempuan yang memandang keluar jendela itu, dua puluh empat tahun.

Perempuan itu masih melihat keluar jendela, matanya tak berkedip meski lampu temaram Dia dapat menangkap tatto kepala ular di lengan kekar laki-laki yang berteduh di Halte. Kepala ular itu untuk pertama kalinya dijamah oleh sebuah tangan berkuteks merah jambu namun laki-laki betatto kepala ular itu menolak tegas dan ada percakapan diantara mereka, mungkin pertengkaran.

Perempuan itu masih memandang keluar jendela namun kali ini Dia tidak lagi menangkap sosok laki-laki bertatto kepala ular di lengannya, hanya perempuan yang tertunduk dengan tangan di dahinya kemudian perempuan itu bangun memaki-maki.

“Adik…” sebuah suara mengejutkannya, suaminya sudah kembali.
“Iya Bang”
“Menghitung rintik hujan lagi?”
“Tidak”
“lantas apa?”
“menunggumu pulang dan berharap hujan segera reda dan kau tidak terperangkap”
“sekarang aku sudah pulang bukan?”
“iya”
“tutup jendela, masuk angin”
“baik bang”

Perempuan itu melangkah pelan menuju suaminya setelah menutup jendela. Rivaldi, laki-laki yang sudah menjadi suaminya enam bulan lalu, di lengannya terukir tato kepala ular dengan sketsa nama Syifa dan Valdi. Meskipun di punggungnya sudah di tatto besar-besar paruh burung dan bertulis nama Valdi dan Nadia tetap saja tato lengan yang lebih nampak. Perempuan itu menghembus nafas pelan, hendak mengeluh namun tidak tega melihat suaminya yang sepertinya kelelahan setelah seharian bekerja.
“Tadi, Aku bertemu Syifa lagi” Ujar laki-laki itu.
“Aku tau” jawabnya
“tentu saja, engkau melihatnya lewat jendela kan?”

“Engkau lebih tau”
“Aku minta maaf padamu”
“kenapa?”
“mungkin itu menyakiti hatimu”
“tidak masalah”
kami diam-diam saja, sibuk dengan fikiran masing-masing.

Syifa, perempuan kuku berkuteks merah jambu itu adalah mantan Valdi. Sebelum mereka menikah, Valdi berpacaran dengan perempuan itu dan terpaksa memutuskannya karena orangtua tidak setuju, alasan klasik. Mereka putus sehari sebelum akad nikah setelah dipaksa habis-habisan oleh Ibu Valdi. Valdi adalah pecinta kelas akut, Dia melakukan apa saja demi wanita yang dicintainya. Dalam hidupnya, dulu Dia hanya mencintai Syifa dan Ibunya.

“Aku mencintaimu, sungguh” Valdi angkat bicara
“Tapi, Tatto ular itu…”
“ini permanen, tidak bisa dihapuskan lagi. Dia adalah masa lalu, engkau adalah masa kini dan akan datang. Engkau satu-satunya yang harus kucintai setelah Ibu, engkau harus menjadi yang terindah setelah ibu, yang terbaik, bukan perempuan lain, harus rupanya kukasih tau lagi?”
“Aku tidak tau. Aku hanya merasa rela jika engkau harus menikahi Syifa Bang. Bukankah Ia mencintaimu?”
“Dia sudah menikah?”
“kenapa kau tau?”
“kemarin malam kutanya, meski jawabanya Dia bilang jika kawin sudah sering”
“iya.. Denganmu kan?” Nadia menutup mulutnya, ingin tertawa.
“jangan becanda saja. Harus rupanya Aku kasih tau?” Valdi melotot. Nadia diam.

Tattoe itu dibuat sebagai bukti cinta, walaupun setelah membuat tatto Valdi harus menahan sakit dan meringgis-ringgis selama seminggu. Pembuktian yang konyol, kadang melebihi rasionalitas.
“Tidakkah Abang mencintainya lagi?” tanya Nadia hati-hati.
“Harus rupanya Aku kasih tau, bahwa hanya kamu yang boleh Aku cintai sekarang?”
“Baiklah.”
Malam melarut, segalanya sudah diselesaikan. Berangkat tidur adalah pilihan setidaknya sedikit obat penenang hati untuk tatto yang masih menempel dilengan suaminya sebelah kanan pula. Sedangkan Tatto namanya hanya dipunggung, dibelakangi atau mungkin dilupakan kadang2 di ingat, tidak permanen pula.

Perempuan itu masih menatap keluar jendela, sekarang itu kesukaan barunya yang mungkin akan dimasukkan kedalam biodata diri jika ada yang menanyakan hobby. Di halte dengan temaram lampu, jelas sekali Dia melihat kembali kejadian serupa selama sebulan ini, kuku berkuteks merah jambu menjamah tatto kepala ular di lengan kanan seorang laki-laki. Bedanya malam ini laki-laki itu tidak lagi menolaknya, tidak laki bertengkar dengan perempuan itu dan perempuan itu tidak lagi mencaci maki saat laki-laki tersebut pergi meninggalkannya menembus gerimis pulang menuju rumahnya diseberang jalan. Hari ini mereka sudah akur, tampaknya usaha perempuan berkuteks sudah berhasil.
Perempuan itu masih memandang keluar jendela, ulu hatinya sudah sedari tadi sakit.
“setipis kulit bawangkah pertahananmu?” tanyanya, berguman.

Perempuan itu masih memandang keluar jendela, satu-satu butir air matanya jatuh, di luar hujan sudah turun kembali. Jalan-jalan yang bergenang air kembali berteriak berharap reda hujan, kodok-kodok berbunyi kali ini meminta hujan. Perempuan itu masih memandang keluar jendela, melihat kuku berkuteks merah jambu menjamah tatto berkepala ular lalu menikamnya lantas kemudian perempuan itu menutup jendela, remuk redam segalanya. Ia tidak ingin melihat lampu yang temaram di Halte atau menghitung hujan lagi atau sekedar membuka jendela. Di pakunya jendela itu, agar tak terlihat olehnya kuku berkuteks merah jambu menjamah tatto kepala ular di lengan sebelah kanan suaminya.

Penulis adalah mahasiswi UIN Ar-Raniry Banda Aceh