Hikmah Menutup Aurat

Disadari atau tidak, tren hidup dewasa ini telah membawa sebagian besar ummat Islam perlahan-lahan jauh dari nilai-nilai keagamaan. Secara umum, penyebabnya karena masyarakat mudah terbawa arus dalam era globalisasi oleh budaya-budaya barat, dan kedua, rendahnya semangat belajar dan mengamalkan ilmu agama di dalam setiap denyut kehidupan sehari-hari.

Salah satu hal yang mudah temui di sekitar kita, yang juga merupakan landasan dasar dalam ber-Islam, adalah kriteria berpakaian. Banyak orang sekarang berpakaian tidak sesuai dengan yang dianjurkan Islam.

Dalam buku Pemikiran Ulama Dayah Aceh, Abu Mudi mengatakan, “lemahnya pemahaman keagamaan di kalangan masyarakat menyebabkan norma-norma agama terabaikan begitu saja, di sisi lain budaya luar yang mudah berinfiltasi ke dalam keseharian masyarakat”.

Lebih lanjut beliau menjelaskan untuk mendalami roh dari ketetapan hukum Islam, bukan ketentuan hukumnya yang sering dianggap hanya berisi perintah dan larangan. Bukan larangan yang harus dipermasalahkan, tetapi beliau mengajak, hikmah dari pelarangan itu yang harus kita hayati.

Jika sudah demikian hal yang ditakutkan dan sedang terjadi adalah bergesernya nilai-nilai keagamaan, hal ini juga dipicu dengan stigma-stigma miris terhadap Islam yang selama ini gencar dipropagandakan oleh orang-orang yang menginginkan Islam rapuh.

Maka kedepan yang ditakutkan adalah lahirnya orang Islam yang menganggap bahwa Islam hanyalah agama dengan setumpuk aturan yang mengekangi hak-hak pribadi.

Sementara disisi lain munculnya kelompok Islam liberal yang pongahnya mengatakan jilbab, cadar dan sejenisnya itu hanyalah budaya Arab bukan merupakan ajaran Islam sehingga tidak perlu ikuti. Pendapat ini berpotensi memunculkan polemik tersendiri di kalangan ummat Islam karena seolah menjustifikasi masyarakat yang ingin melanggar syariat.

Firman Allah (QS. Al-Ahzab: 32) “wahai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu melembutkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.”

Walaupun ayat tersebut secara tekstual ditujukan kepada istri-istri nabi namun menurut Ibn Katsir wanita-wanita kaum muslimim lainnya juga termasuk di dalamnya.

Dalam hadist lain mengenai aurat nabi juga berkata, “Wahai wanita yang memakai parfum dan lewat di suatu majelis (sekelompok lelaki), maka sesungguhnya dia ‘begini’ (yakni berzina).” (HR. At-Tarmidzi).

Sepintas hadis tersebut terkesan mengekang kaum wanita, tapi begitulah hukum Allah, hukum yang benar-benar memahami fitrah manusia sebagai mahkluk yang memiliki psikologi biologis.

Ketentuan tersebut jika dilihat dengan hati nurani bukanlah pengekangan tetapi rambu-rambu pendidikan yang bijak agar manusia terjaga dari hal-hal yang keji, yang membuatnya jauh dari kemuliaan dunia dan siksa kelak di akhirat.

Kalau berbicara dalil Alquran dan hadist tidak sedikit yang menyinggung persoalan aurat, seperti tindakan preventif dalam surah An-Nur ayat 31 yang melarang wanita memukulkan kaki ketika berjalan agar diketahui perhiasannya. Perintah-perintah tersebut dimaksudkan agar wanita tidak menarik perhatian lawan jenisnya, namun ironis yang kita dapati disekitar kita sebagian wanita seolah-olah berlomba-lomba menarik perhatian laki-laki, baik dengan cara berpakaiannya maupun dalam bersikap.

Pun demikian persoalan dengan laki-laki, banyak masih kita temukan di lapangan sepak bola, di jalan raya, di sosial media, di warung-warung kopi dan sebagainya yang masih memakai celana setengah kaki (tampak lutut). Hal-hal seperti ini justru mencerminkan sikap keabaian kita terhadap syariat Allah.

Islam bukan Agama Normatif

Kurangnya pemahaman ilmu agama dan lemahnya benteng sosial dalam membendung budaya-budaya barat masuk kedalam budaya kita adalah persoalan yang yang harus diselesaikan. Hal yang pertama harus dilakukan adalah dengan mempelajari ilmu agama disertai dengan semangat mengamalkan. Sehingga akan memunculkan kesadaran bahwa Islam bukanlah agama yang normatif.

Islam agama yang normatif adalah Islam yang hanya dilihat sebagai agama yang hanya mengatur kehidupan manusia dengan dalil-dalil dan hujjahnya, sementara penganutnya tidak menjadikannya peran sentral yang benar-benar menjadi acuan dalam hidup. Disinilah diperlukannya ilmu agama dalam memahami bagaimana agama mengatur masalah aurat, mulai dari kriteria berpakaian, gaya berbicara, larangan melihat, bagaimana berjalan dan lain sebagainya.

Hal yang juga perlu diperhatikan adalah penanaman ilmu agama khususnya dalam pendidikan, mulai dari pendidikan anak-anak hingga mahasiswa. Bagi anak-anak bisa didoktrin bahwa yang tidak menjaga aurat nanti diakhirat akan dibakar dengan api neraka. Bagi mahasiswa diberikan pengertian yang baik bagaimana spesifikasi dan kepentingan memelihara aurat, serta berupa aturan-aturan dalam berpkakaiannya.

Selain pendidikan, hal yang juga diperlukan adalah pengawasan orang tua. Lebih-lebih anak-anak sekarang sejak usia dini sudah mengenal yang namanya android.

Perlu untuk kita renungi bersama, komitmen untuk menjadi orang Islam yang taat sebenarnya telah kita ikrarkan ketika kita di alam kandungan, kita lahir ke dunia dengan diri yang suci, namun seiring perjalanan kita di bumi tempat yang kita singgahi sementara ini beragam noda dan dosa telah kita nodai kertas putih kita.

Oleh sebab itu tidak ada pilihan lain selain terus memperbaiki diri menghapus noda-noda dan menghindarinya di kemudian hari, salah satu yang fundamental bisa dilakukan adalah memelihara aurat. Bukankah kita ingin juga kembali dengan kertas yang putih?

Ditulis oleh Muhammad Ghafar, Mahasiswa Pendidikan Biologi UIN Ar-Raniry

Ilustrasi: dakwatuna.com