Sastra | Berdamai

Oleh: Nita Juniarti

Aku baru saja sampai di depan perpustakaan Universitas Syiah Kuala jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Aku menghela nafas perlahan, mencoba mendamaikan keriuhan hati yang sedang merangkai kata-kata,  apa yang harus kubicarakan dengan seorang laki-laki yang sudah bediri duluan disana, dari tadi jam setengah dua sibuk memiscolku untuk datang ke tempat ini.

Aku menaruh sepeda yang masih belum terlalu tua usianya yang sering kugunakan untuk ke kampus. Aku kembali menarik nafas dalam-dalam, benar-benar sangat gugup. Aku langsung berjalan ke arah taman, menduduki salah satu kursi yang kosong disana. Hari ini benar-benar sangat panas, namun tak sedikitpun membuat suasana menjadi panas. Tanganku kedinginan, Aku gugup sekali.

“Hai, apa kabar?” Sapanya menujuku

Aku tak menjawab, tak juga menganggkat kepala.

“Apa kabar?” Tanyanya lagi

“Aku baik, kamu?” Jawabku , Aku melihat kearah gedung rektor, gugup untuk melihat wajahnya dan menampakkan wajahku, bukan karena Aku terlalu jelek tapi Aku ketakutan.

Aku tertawa getir, masih belum berani menatap wajahnya, sungguh hatiku tidak baik-baik saja.

“Yang perlu Aku katakan adalah jangan mensmsku secara pribadi bila disms sesuatu yang tidak penting sungguh membuatku terganggu. Aku sengaja tidak membalas sms darimu, berharap engkau mengerti bahwa Aku tidak suka, merasa terganggu dengan sms itu tapi ternyata sungguh engkau tidak mengerti”

Dia menarik nafas, Aku sudah menduga ini akan dibicarakannya.

“Baiklah, maafkan Aku. Aku memang salah yang selalu merasa kepo dengan urusanmu”

Sebenarnya Aku ingin menatap wajahnya lamat-lamat tapi sungguh Aku tidak bisa melakukannya sama sekali, Aku terlalu takut.

“Semuanya sudah jauh tertinggal di belakang, tidak perlu mengigat masa lalu kita. Mungkin sekitar tahun 2012 atau 2013 dulu kita bersama tapi ini sudah 2014 semuanya sudah menjadi masa lalu.” Dia melanjutkan.

Hening lagi sejenak.

Sebenarnya Aku sungguh ingin sekali mengatakan apa saja yang kurasakan saat Ia meninggalkanku tiba-tiba dan bagaimana Aku menghabiskan malam-malam yang panjang bahkan menangis selalu dan selalu setiap Aku merindukannya.

“Apa yang perlu ditanya? Jangan nanti disms lagi”

“Tidak ada, Aku sungguh minta maaf karena smsku selalu mengganggumu” kataku

Meski ketika mengatakan kalimat itu rasanya hatiku sakit sekali karena sebelumnya Dia selalu merasa galau ketika Aku tidak mereplay smsnya dan Aku jauh darinya selama empat hari ke Sabang saja membuatnya menelepon semalam suntuk.

“Jangan lakukan itu lagi, Aku sangat terganggu”

Aku masih tidak menatap wajahnya, rasanya sesak sekali saat Ia mengatakan semuanya. Segalanya menyelimuti hati, entah apa yang ada dalam otaknya. Aku yang dulunya selalu menjadi buah bibir kerinduan sekarang dianggap seorang pengganggu, benar-benar bajingan.

“Aku tidak mungkin mengatakan kita sudah putus Syifa karena memang sebelumnya kita tidak punya hubungan apa-apa” ujarnya.

Aku mengigit bibirku, semuanya menyesakkan. Memang harus kuakui Kami hanya teman dan sampai hari ini teman karena Aku memang tidak pernah berpacaran dengannya tapi bukankah dulu Dia pernah berjanji akan menikahiku? Makanya Dia berusaha seserius itu selalu berusaha mendekatiku. Apa arti semuanya? Kebohongan?

“lupakan masa lalu itu, itu rahasia berdua saja. Apa yang sudah kita lakukan dimasa lalu adalah hal buruk. Dan Aku harap engkau mau menerima keputusanku, tapi soal terima atau tidak sebenarnya itu terserah padamu. Aku memperjelasnya, Aku tidak dekat dengan perempuan manapun sekarang  jika soal mengobrol biasa itu mungkin ada namun yang dekat dan yang harus kusms setiap malam seperti yang dulu kulakukan padamu itu sungguh tidak ada.”

Hening lagi dan selama Kami duduk disana tidak sedikitpun Aku menoleh padanya, apalagi mencoba menatap wajahnya, sungguh Aku benar-benar merasa seperti pecundang saat itu. Entah dari mana asalnya Aku merasa sangat-sangat takut pada Qis, lelaki yang saat ini berada di sampingku.

Setahun silam, Qis pernah memberiku sebuah cincin yang sudah dicarinya seluruh pasar Aceh dan Darussalam namun terakhir mendapati sepasang cincin itu dibelinya di Taman Sari ketika ada pameran disana.

“Aku harap perempuan ini yang terakhir bakal ada dihidupku dan perempuan ini juga yang nantinya akan menjadi Ibu dari anak-anakku. Aku mohon Tuhan jangan biarkan perempuan ini pergi seperti yang sudah-sudah.” Ia tersenyum lebar saat mengucapkan hal itu.

“Jangan mengigat lagi masa lalu. Soal jodoh, Tuhan sudah menentukan. Kuliah saja yang benar dulu dan kita lihat saja nanti siapa yang akan menjadi jodoh kita. Tak perlu dikejar atau dicari-cari. Dan Aku dengan jelas kukatakan padamu hari ini syifa, Aku tidak pernah berharap lagi padamu. Jangan mengigat lagi apa yang sudah terjadi di belakang.” Katanya meluluh lantakkan lamunanku.

Dia mengatakan semuanya seolah tanpa akal, tanpa fikiran dan tentu saja tanpa perasaan. Dia tidak pernah berfikir bahwa saat ini hatiku benar-benar tidak baik-baik saja, menyesakkan.

“Ada yang perlu ditanya?”

“Tidak ada. Pulanglah Qis” Aku mengusinya.

“Yang perlu kuperjelas lagi adalah jangan berharap lagi padaku Syifa. Aku pernah mendengar kabar bahwa Putra mendekatimu dan saat itu engkau tau Aku memberikan saran yang baik tapi kemudian Kudengar engkau menolaknya”

“Dengar, itu urusanku. Aku mencintaimu atau mencintai Putra, itu bukan urusanmu namun seperti yang engkau tau, Aku bukan orang yang mudah sekali jatuh cinta dan engkau adalah orang yang telah memercikkan api cinta dalam hatiku seperti yang engkau tau ketika Aku menyukai laki-laki akan lama bagiku untuk melupakannya mungkin dalam beberapa tahun ini.”

“Jangan berharap padaku”

“Maafkan Aku, Aku tidak berharap padamu”

Aku merapatkan kedua tanganku, sebagai permintaan maaf tapi Aku tak mengangkat wajahku. Terlalu menyesakkan menggungkapkan segalanya.

“Soal perasaan, ya Aku menyukaimu hingga sekarang dan itu adalah urusanku bukan urusanmu. Engkau tidak perlu repot soal itu sama sekali bukan persoalanmu dan Aku tidak akan mengganggumu lagi dengan perasaanku. Aku janji.”

 Aku tau, ini sangat menyesakkan. Aku tidak seharusnya melakukan ini karena Aku seorang perempuan seharusnya Aku harus lebih terhormat, mencoba menerima segalanya namun Aku benar-benar tidak mampu untuk menahan sesak atas kata-katanya. Lihatlah percakapan ini, semuanya adalah luka dan Dia sudah merobek kembali pertahanan yang sudah kubuat setahun lamanya saat Ia pergi meninggalkanku tanpa kejelasan.

“Ada lagi yang Syifa inginkan?”

Aku menggeleng, hening mengisi ruang dengar Kami.

Apa yang harus kutanyakan lagi? Dia tidak mencintaiku dan itu cukup walaupun dulunya Dia mati-matian mengejarku sampai-sampai bertengkar dengan teman sebantal tidurna tidak setuju ketika Aku dekat dengannya dan ketika itu Dia selalu membelaku serta Dia selalu mengatakan bahwa Aku perempuan yang berbeda dari semua perempuan yang ditemui dalam hidupnya.

Aku menghela nafas perlahan, tidak ingin menatapnya.

“jangan  membicarakan lagi cerita ketiak ular” Katanya.

Aku mengusap wajahku, ingin tertawa.

Aku benar-benar tidak menduga, setelah sms yang bertubi-tubi kukirimkan saat Ia terdiam dan tidak pernah membalasnya selama setengah tahun. Dia mendadak mensmsku pada jam enam pagi dan meminta Kami bertemu  siang ini untuk membahas permasalahan yang terjadi selama ini.

Dan Aku sungguh tidak mengerti mengapa Aku menemuinya padahal Aku sangat lelah hari ini karena baru saja membawa pulang siswiku untuk reflesing akhir semester di Hilset, Mata Ie. Semuanya sudah lama berakhir, bangunan hubungan kami sudah hancur berantakan jika ditinjau dari ilmu arkeologi hanya tinggal bekas tanah bahwa disana pernah berdiri sebuah bangunan, itu saja yang tersisa sedang pondasinya sudah lama hancur. Semuanya sudah disapu debu namun kenyataannya Aku datang menemuinya dan Dia di sampingku saat ini. Di Tempat pertama kali Aku mengatakan bahwa Ia menyukaiku, tempat pertama kali Aku mengatakan bahwa Aku hanya menganggapnya teman, tempat pertama kali Ia membuatku luluh dan mencintainya dengan perjuagan panjangnya, di tempat yang menjadi kenangan Kami.

Qis datang dengan menggunakan baju biru tosca, celana kain coklat muda seperti biasanya dan bersepatu anggota dewan serta memakai jam tangan, rapi.

“Apapun dan bagaimanapun Qis sudah menyakitiku tentang perasaanku itu adalah milikku, jangan pernah merasa terganggu dengannya karena Aku tidak akan menggangguku lagi. Itu perasaaku dan itu punyaku, bukan urusanmu sama sekali bukan” kataku lagi.

Aku benar-benar tidak kuasa melupakannya namun setelah ini, Aku berjanji akan berdamai dengan segalanya.

“Masih ada yang ingin ditanyakan?”

            Aku menggeleng, mungkin jika Aku berjumpa dengannya di kehidupan yang lain nanti Aku akan bertanya kenapa Dia bisa semudah itu mengatakan tidak mencintaiku lagi. Dan seandainya Dia memberikan aku pertayaan “Ada yang ingin engkau katakan lagi?” maka Aku akan menceritakan segalanya tentang perasaanku  tapi apa gunanya? Mungkin untuk sekedar memberitahukannya lalu move on, entahlah.

“Masih ada yang ingin ditanyakan?”

“Tidak ada, pulanglah Qis” Aku mengusinya.

“Baiklah kalau begitu” Dia bangkit dari tempat duduknya.

Aku memalingkan muka kearah jalan yang  ramai dilalui oleh orang-orang mencoba menghitung orang-orang yang lewat. Aku tidak ingin Dia melihat air mataku yang sudah mulai nakal menuruni pipi. Siang ini terasa sangat menyesakkan, Qis sudah beranjak dari tempat duduknya, beranjak pergi. Aku tidak ingin menatap punggungnya hanya mendengar deru kendaraan bermotor yang digunakannya melaju menjauhiku. Aku selalu mengharapkannya meski Dia tidak pernah mengharapkanku lagi dan Aku sangat tau kali ini Aku akan dihinggapi lagi oleh kenagan bersamanya, saat Dia masih mengelus ubun-ubunku namun Aku harus segera berdamai dengan masa lalu itu tanpa mencari siapa yang salah dan yang benar dan sudah cukup untuk berharap.

            Aku akan berusaha memperbaiki diri seperti katanya, menjadi sukses dan mencintai Tuhan baru kemudian datang padanya lagi. Namun, Aku tau ketika  itu kulakukan akan ada yang terbaik yang diutuskan untukku. Aku tidak boleh khawatir meski lukaku kembali berdarah hari ini.

Aku masih di Taman, menatap orang yang berlalu lalang lalu mengambil buku dan menulis hal yang menyesakkan hari ini, setidaknya dengan tulisan ini Aku akan mampu berdamai dengan masa lalu itu dan menjadikannya sekedar kenangan saja.

“Terima kasih Tuhan sudah menyelamatkanku dari orang yang salah.”

Aku beranjak dari Taman, menyeka air mata sambil bertekat akan berdamai dengan gejolak hati, dengan masa lalu bersama dengan segalanya.

*Penulis adalah mahasiswa UIN Ar-Raniry Fakultas Adab dan Humaniora, Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam semester VII. Email: nitajuniarti@rocketmail.com

*Bagi pembaca yang ingin karyanya dimuat di sumberpost.com, silakan kirim ke redaksi@sumberpost.com atau ke rayful.ajha@gmail.com. buruan.