1 Desember 2012 Oleh admin Off

Menggugat Sarjana

Oleh : Makmur Dimila

Ada pertanyaan yang sangat menggelitik dari kebanyakan orangtua di Aceh ketika anaknya hendak memilih jurusan dari sebuah perguruan tinggi: bekerja di mana setelah kuliah di jurusan itu—sebuah kerisauan sebelum melepas anaknya masuk perguruan tinggi. Agaknya pola pikir semacam itu perlu ditimbun jika ingin lulusan perguruan tinggi bisa menciptakan lapangan kerja. Sebab yang patut dipertanyakan bukanlah ketika hendak masuk, tapi setelah lulu.

Adapun pertanyaan yang sangat layak kepada para sarjana adalah apa yang bisa dilakukannya terhadap apa yang telah diperolehnya di bangku kuliah. Sementara soal tempat kerjanya merupakan pertanyaan basi untuk zaman sekarang (harusnya). Namun kita tak perlu munafik, bahwa hingga hari ini, para sarjana di Aceh tak mudah mendapat pekerjaan, apalagi menciptakan lapangan kerja. Lalu siapa yang salah? Akademisi, mahasiswa, atau pemerintah?

Badan Pusat Statistik Aceh merilis, jumlah pengangguran di Aceh per Februari 2012 (triwulan I) mencapai 164 ribu jiwa, meningkat dibanding pendataan Agustus 2011 yang menyentuh angka 149 ribu jiwa. Lulusan perguruan tinggi atau sarjana menyumbang 5,3 ribu jiwa, sedikit di bawah diploma yang 7, 2 ribu jiwa. Ada 35 perguruan tinggi di Aceh tercatat di laman daftar-universitas.com. Katakanlah mereka menerima sekitar 30 ribu mahasiswa baru per tahun, dengan meluluskan sekira 20 ribu per tahun. Maka ada sekitar 30 persen sarjana maupun diploma yang menganggur hingga Februari 2012. Tentu jumlah itu akan naik setiap tahunnya jika kita melihat fenomena di perguruan tinggi sekarang, di mana hampir setiap dari mereka punya konflik masing-masing, mulai dari manajemen, akreditasi, penahanan ijazah, penyegelan kampus, hingga persoalan korupsi beasiswa jatah mahasiswa.

Agaknya patut dipertanyakan, apa gunanya perguruan tinggi; apa untuk mencetak pengangguran atau menjadi real estate (baca: lahan kosong) bagi pejabat kampus untuk menanam dan memanen korupsi? Oh, tidak! Sejatinya semakin banyak perguruan tinggi tumbuh di suatu daerah, semakin besar peluang mencetak agen-agen perubahan di setiap lini kehidupan. Namun ketika kampus tak dijadikan semata-mata ajang menuntut ilmu, semakin banyak perguruan tinggi justru kian menambah pundi-pundi pengangguran.

Mari sedikit membuka pikiran kita, jangan terlalu berharap pada perguruan tinggi. Sebab ia tidak menjamin mahasiswanya akan bekerja di mana atau menjadi siapa. Ianya hanya memfasilitasi saja meski kadang-kadang fasilitas tak memada. Ia hanya coba meyakinkan apa yang telah kita pilih (baca: jurusan), bahwa mahasiswanya kemungkinan akan menjadi orang yang ahli di bidang tertentu, dengan merujuk segelintir alumni yang telah menjadi tokoh lokal maupun nasional.

Sarjana, wawasan, jejaring, dan jodoh! Barangkali hanya itu yang diperoleh mahasiswa, baik sebagian maupun keempat-empatnya. Selebihnya lulusan akan merasakan hasil perkuliahannya ketika telah meninggalkan kampus. Di sinilah problema meledak! “Akan menjadi apa dengan gelar itu”, seperti ditanyakan sebagian orangtua sebelum masuk kuliah. Padahal gampang saja pertanyaannya, apa yang bisa lulusan perguruan tinggi lakukan terhadap apa yang dia miliki. Kalau ia memperoleh sarjana dari bangku kuliah, manfaatkan sarjana itu. Kalau memeroleh wawasan, kelola ia untuk bekerja atau menciptakan lapangan kerja. Kalau dapat jodoh, ya, kawin saja—siapa tahu hidupnya akan mapan setelah kawin!

Daya Saing

Namun ada satu hal yang penting ditempuh, yaitu daya saing. Untuk mengurangi angka pengangguran di Aceh, setiap perguruan tinggi kiranya perlu mengajarkan daya saing bagi mahasiswa. Ahli Daya Saing dunia, Stephane Garelli dalam bukunya Menjadi No. 1 di Abad 21 menyatakan, beberapa perguruan tinggi di Eropa dan Amerika Serikat, daya saing sudah menjadi mata kuliah dari bidang ekonomi, bertujuan mencetak sarjana pelaku usaha yang mampu berkompetisi di pemasaran domestik maupun internasional.

Kenapa tidak Aceh mengurikulumkan mata kuliah daya saing di setiap fakultas, kalau tidak memungkinkan pada semua jurusan. Nantinya perguruan tinggi akan belajar atau mengajarkan daya saing di bidang masing-masing. Untuk menggerakkannya, setiap perguruan tinggi, mulai dari atasan hingga pemotong rumput, perlu dipertemukan dalam suatu forum.

Pertemuan Antarkampus

Ada baiknya, seperti kata seorang akademisi pada saya beberapa bulan lalu, setiap perguruan tinggi mengadakan pertemuan bulanan yang turut menyertakan mahasiswanya. Di sana akan duduk para rektorat, dosen, perwakilan lembaga kampus, dan utusan setiap unit (kelas). Mereka akan membahas apa masalah yang sedang melanda dan menemukan solusinya, selain pendalaman tentang teori dan penerapan daya saing. Kecuali itu, juga untuk menyambung silaturrahmi se-universitas dan mengikis kubu-kubu antarmahasiswa bahkan dosen yang sedang marak belakangan ini. Paling penting adalah membahas mata kuliah daya saing terkait perkembangan terbaru dengan menghadirkan pakar daya saing dari luar yang lebih berkompeten.

Nah, ada baiknya lagi, mengadakan pertemuan perguruan tinggi se-Aceh. Setidaknya tiga kali dalam setahun, empat bulan sekali. Ke-35 perguruan tinggi tadi mengutuskan peserta dari pihak rektorat, dosen, lembaga kampus, dan ketua leting (angkatan). Setiap duta mempresentasikan permasalahan di kampus masing-masing dengan solusi yang sudah ditempuh. Bila kelak ada universitas yang tak mampu memecahkan masalah di pertemuan tingkat universitas, di situlah menyelesaikannya. Pertemuan itu sekaligus membicarakan program-program atau even yang akan dilaksanakan ke depan.

Saya pikir, mengurikulumkan daya saing dan mengadakan pertemuan tadi, sebuah solusi tepat untuk menciptakan sarjana yang, tak lama setelah lulus akan mendapat kerja bahkan menciptakan lapangan kerja, sehingga angka pengangguran berkurang. Namun begitu, dua hal itu tak berlaku bagi mahasiswa yang pandai membaca situasi, di mana ia sudah mau bersaing di luar kampus sebelum meraih sarjana. Jika ingin melesat, kuncinya hanya satu—baik untuk rektor, staf pengajar, dan sarjana—apa yang bisa anda lakukan terhadap apa yang telah anda miliki, bukan memiliki saja apa yang anda miliki.[]

Makmur Dimila adalah nama pena dari Makmur, mahasiswa jurusan KPI-Jurnalistik Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry angkatan 2009