14 Desember 2012 Oleh admin Off

Mengakhiri Pernikahan Dini & Mengurangi Angka Kematian Ibu

Women Research Institute (WRI) menyelenggarakan peluncuran film dokumenter serta seminar bertajuk “Mengakhiri Pernikahan Dini dan Mengurangi Angka Kematian Ibu” pada tanggal 12 Desember 2012 sebagai bentuk menggalang perhatian publik mengenai isu kesehatan reproduksi remaja yang belum cukup mendapatkan perhatian utama di Indonesia.

Pengalaman Women Research Institute (WRI) dalam melaksanakan kegiatan penguatan warga termasuk perempuan dan remaja di Lombok Tengah dan Gunungkidul yang coba dipaparkan melalui film dokumenter pendek, menunjukkan adanya kelaziman pernikahan di bawah umur dan kehamilan yang tidak diinginkan.

Persoalan mendasar yang dihadapi remaja Gunungkidul adalah kurangnya informasi, pengetahuan dan pemahaman remaja mengenai kesehatan reproduksi seksual mereka. Faktor tersebut menyebabkan remaja melakukan hubungan seksual di usia sangat muda, yang beresiko adanya kehamilan tidak diinginkan. Pada akhirnya mereka terpaksa melakukan pernikahan dalam usia dini.  Hal ini terlihat dari data permintaan dispensasi menikah ke Kantor Pengadilan Agama Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2010 adalah 80 pernikahan dan meningkat menjadi 145 pernikahan pada tahun 2011 (Data Kantor Pengadilan Agama Kabupaten Gunungkidul, 2012). Usia pasangan yang mengajukan dispensasi menikah tersebut berkisar antara 16 hingga 21 tahun.

Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh PKBI di Gunungkidul, diketahui bahwa kehamilan yang tidak diinginkan mencapai 366 kasus pada tahun 2010 dan sekitar 31.96 persen dialami oleh remaja usia antara 11 – 19 tahun (Klinik Adhiwarga, Daerah Istimewa Yogyakarta, 2010).

Sementara di Lombok Tengah, persoalan Angka Kematian Ibu (AKI) masih cukup tinggi yang berada pada angka 228 kematian pada setiap 100,000 kelahiran (SDKI 2007). Propinsi Nusa Tenggara Barat adalah salah satu penyumbang tertinggi AKI di Indonesia. Pada tahun 2011 terdapat 18,915 kelahiran di Kabupaten Lombok Tengah dan diperkirakan 10 persen kelahiran tersebut oleh remaja perempuan dari usia antara 14 hingga 19 tahun (Data Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Tengah, 2012).

Proporsi perempuan yang mempunyai sejarah aborsi berkisar dari 10 persen (kabupaten Lombok Tengah) hingga 17 persen (Kota Mataram) (Survei Rumah Tangga tentang Praktek Kesehatan Ibu & Anak, GTZ, 2007). 10 persen kasus aborsi tidak aman di Nusa Tenggara Barat dilakukan oleh tenaga non-medis. Sementara kondisi hukum aborsi masih diperdebatkan di Indonesia, ini menunjukkan kegagalan dari fasilitas kesehatan untuk mengakomodasi persoalan ini secara tepat (Survei Rumah Tangga tentang Praktek Kesehatan Ibu & Anak, GTZ, 2007).

Women Research Institute mencoba membedah fenomena ini dalam upaya mencari solusi agar remaja mendapatkan pemenuhan akan informasi kesehatan reproduksi serta hak-hak yang menyertainya, termasuk pelayanan kesehatan reproduksi bagi mereka. Karena terlihat jelas bagaimana kondisi kesehatan reproduksi remaja berkaitan erat dengan kemiskinan baik di Gunungkidul maupun Lombok Tengah.

Remaja adalah generasi berikut yang berpotensi untuk memperbaiki kondisi kesehatan reproduksi dan seksualnya, maka penting untuk dilibatkan dalam kerja pembuatan kebijakan. Oleh karenanya, mereka perlu mendapatkan pendidikan agar mampumengusulkan kebijakan yang menjawab kebutuhan mereka. Dengan demikian, remaja dan orang muda Indonesia akan lebih siap untuk menjawab tantangan kesehatan reproduksi dan tanggung jawab yang mereka hadapi pada saat mereka masuk dalam usia reproduktif.

Sumber: Potret Online