20 Desember 2012 Oleh admin Off

Mengenang 100 Tahun Prof. Ali Hasjmy

Membangun intelektual di setiap zaman tentunya melahirkan rintangan yang beragam. Ali Hasjmy memperlihatkan bagaimana gagasan demi gagasan lahir dan aktualisasinya pun melewati jalan terjal dan terus diperjuangkan. Demikian kata Sambutan Dr.A Rani Usman, M.Si Dekan Fakultas Dakwah  dalam Seminar Sehari mengupas sosok Prof Ali Hasjmy dengan  tema “Prof.Ali Hasjmy sebagai Tokoh Dakwah”. Ali Hasjmy adalah  pelopor Kota Pelajar Mahasiswa Darussalam. Katanya. (19/12).

” Sebelumnya, Darusalam ini daerah yang gelap dan tidak dikenal orang banyak, maka Ali Hasjmy datang bersama rekan-rekannya mengubah itu semua.” Tambah  A Rani.

Selanjutnya, beliau menceritakan bagaimana peran Ali Hasjmy yang multidimensi. Yang dengan Ikrar Lamteh-nya Ali Hasjmy dikenal sebagai Ahli Politik, dengan merintis berdirinya Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA).  Ali Hasjmy dikenal sebagai Budayawan, lalu jabatannya sebagai Ketua Majelis Ulama Aceh menunjukkan sosok beliau sebagai tokoh agama.

 Melirik sejarah dunia pendidikan Aceh, Ir Said Mustafa dalam sambutannya sekaligus membuka seminar yang digelar di Aula Pascasarjana, Darussalam ini, mengungkapkan kekagumannya terhadap peran Ali Hasjmy yang sentral dalam pendirian tiga Perguruan Tinggi di Banda Aceh, yakni Unsyiah, IAIN Ar-raniry, dan Dayah Manyang Tgk Chik Pantekulu.

 Sedangkan Syahbudin Gade, Dosen Fakultas Tarbiyah yang juga memberi materi pada sesi pertama seminar, memaparkan profil Ali Hasjmy.

 “Kita ingat betul pada saat pak Ali H menjabat sebagai Dekan Fakultas, beliau mendedikasikan dirinya Lillahi Taala, tanpa gaji. Kita belum tahu bagaimana jika memberlakukan hal yang sama pada dekan yang sekarang.”kata Syahbudin berseloroh disambut tawa para peserta.

 Ali Hasjmi lahir pada 28 Maret 1914. beliau menjabat sebagai Gubernur Aceh 1957-1964. Jasa-jasanya di berbagai bidang telah ia torehkan. Karena itu pula, Mantan Bupati Aceh Selatan pernah menetapkan beliau sebagai Pahlawan pendidikan Aceh.

 “Pihak luar saja sudah menetapkan Pak Ali Hasjmy sebagai pahlawan pendidikan, lantas mengapa Perguruan Tinggi di Kopelma belum melakukan hal yang sama?”ungkap Syahbudin, seraya meneruskan pemaparannya mengenai langkah-langkah cerdas Pak Ali H dalam menegaskan orientasi pendidikan Aceh yang berbasis Pendidikan agama, bukan Pengajaran agama.

 “Itu isu pada tahun 1976. saat pemerintah ingin mengalihkan Pendidikan agama menjadi pengajaran. Pak Ali menegaskan bahwa yang terpenting adalah pendidikan agama, yang bermakna memberi pemahaman sekaligus aktualisasi. Bukan pengajaran yang menjadikan agama hanya untuk sekedar pengetahuan.”lanjutnya.

 Sebagai tokoh dakwah, Ali Hasjmy merupakan Da’i profesional. Azhari Basyar, Dosen Fakultas Dakwah  yang juga pemateri seminar, mengungkapkan beberapa kendala menyokong Ali H sebagai tokoh dakwah, diantaranya anggapan sebagian besar masyarakat bahwa Ali H bukanlah pendakwah. padahal Ali Hasjmy menjalankan dakwah yang profesional. Selama ini orang mengetahui dakwah adalah berceramah dari satu tempat ke tempat yang lain. Sedangkan beliau mencurahkan segenap potensinya untuk dakwah”.kata Azhari.

 Ia menambahkan,”orang-orang memanggil Ali Hasjmy bukan dengan sebutan Tengku atau Ustadz, tapi sebutan ‘Pak’ yang menunjukkan bahwa beliau menaungi semua kompetensi. KeUlamaan beliau sangat multidimensional.”

 Lebih jauh lagi, Barlian AW, seorang wartawan sekaligus budaya menyampaikan gagasannya,  melihat Sang pengarang roman populer Suara Azan Dan Lonceng Gereja(1940) itu sebagai satu-satunya tokoh agama yang juga kulturalis.

 “Beliau mengatakan, bahwa agama adalah sentral sebuah bangsa, dan Adat sebagai penunjang. Realisasinya, pak Ali kerap menggelar Muzakarah bersama antara tokoh agam dengan tokoh adat pada saat itu.”kata Barlian. Dalam sejarahnya, Ali Hasjmy juga mendirikan LAKA sebagai kontribusinya terhadap budaya Aceh. Barlian mengutip kata-kata Ali,”Adat memperkuat agama, agama membersihkan adat.

 Mengenang sejarah Ali Hasjmy, tentunya juga mengangkat kembali sejarah perjuangan rakyat Aceh melawan penjajahan. Karena Ali Hasjmy juga ikut ambil bagian didalamnya. Azhari Basyar mengilas balik peran Ali dalam Gerakan Fajar di tahun 1941 sebagai gerakan rahasia di masa penjajahan. Gerakan tersebut bertujuan untuk mengorganisir perlawanan terhadap Belanda.

 Demikian juga saat konflik antara Aceh-Jakarta, Ali Hasjmy menjadi Gubernur Aceh di masa transisi. Barlian punya cerita lucu mengenai hal ini.

 “Alm Pak Ali dulu pernah memberitahu saya, kalau lambang Pancacita itu sebenarnya bentuknya dari Pancasila. Beliau mengusulkan itu agar Jakarta redam. Karena waktu itu kan Aceh-Jakarta sedang memanas. Itu strategi pak Ali H.”ungkap Barlian kocak. Ia menyebut Ali Hasjmy pintar memberi ‘sesajen’ untuk menarik hati pemerintah. Itu lah strategi jitu beliau agar amarah di kedua belah pihak dapat diredam.

 Meski demikian, Ali H bukan orang yang lunak begitu saja. Barlian AW menggarisbawahi sikap Ali Hasjmy yang menolak PKI. “padahal saat itu kan PKI didukung Pemerintah”.Katanya.

 Hal tersebut senada dengan apa yang disampaikan Azhari Basyar sebelumnya, bahwa Ali H menjadi Konseptor di MPU tentang penolakan PKI.

 “Keputusan yang cukup radikal, dengan menetapkan PKI adalah partai yang haram, padaha PKI kan dekat dengan pemerintah waktu itu. Ia juga pernah menghadiri sebuah seminar, dimana salah satu materinya menerangkan bahwa Ali Hasjmy bukanlah tokoh agama, melainkan tokoh nasionalis.” Ujar Azhari

 “Tugas Ali Hasjmy menyelamatkan rakyat Aceh saat itu adalah upaya pembebasan dari ketidakadilan, dan perintah semacam itu jelas terdapat pada ayat Alquran.”tegasnya.

 Di masa-masa mudanya, Ali Hasjmy juga dikenal aktif di bidang Jurnalistik. Mustafa dalam kesempatan yang sama juga mengingat peran besar Ali H dalam mepelopori majalah Sinar Darussalam. Namun, sayang sekali, sepeninggal beliau, Majalah ini seakan meredup.”Tambanya.

 Sejarah mencatat puluhan karya telah beliau tulis, berkaitan dengan sastra, agama, sejarah, politik, dan negara. Berdasarkan hal itu lahirlah sebuah inisiatif untuk menetapkan Ali Hasjmy sebagai pahlawan nasional. Ide itu diaminkan oleh seluruh pemateri yang hadir dalam Seminar tersebut.

 “Banyak pahlawan indonesia lahir dengan kemampuannya dalam satu aspek saja. Mengarang sepucuk surat dan ia diberi gelar pahlawan. Mengapa Ali Hasjmy yang memiliki kemampuan multi dimensional tidak diangkat sebagai pahlawan nasional?”ucap Azhari Basyar meyakinkan.

Beberapa menit setelah pemaparan materi, Prof Ir Rusydi Ali Muhammad sebagai salah satu peserta seminar mengusulkan tindak lanjut yang lebih serius mengenai upaya tersebut.

 “Saya mengusulkan ke depan kita adakan seminar yang interlokal, dihadiri oleh Gubernur, tokoh nasional maupun internasional untuk menggagas Ali Hasjmy sebagai tokoh nasional.”kata Rusydi dalam sesi diskusi. Ia berpikir, pahlawan Aceh kebanyakan pahlawan perang, maka dari itu pejuang multidimensional seperti Ali Hasjmy sangat layak menjadi pahlawan nasional.

 Azhari Basyar pun sependapat.” DPRA harus membahas hal ini dan mengusulkannya ke tingkat yang lebih tinggi.” Jawabnya.

“Tujuan dari seminar ini, akan lahir sebuah buku yang membahas secara tuntas tentang Ali Hasjmy dalam berbagai perspektif, sekaligus sebagai langkah awal menggagas Ali Hasjmy sebagai pahlawan Nasional.”ujar Hasan Bashri selaku moderator.[Fuadi Mardhatillah]

Editor: Mina