Berdakwah Melalui Pantonim
Langit masih terlihat samar-samar. sinar matahari terlihat dari celah-celah dibalik awan untuk menerangi kota tua di Jakarta. Di kota tua itu terasa gersang dan tandus dari hamparan bau pengik dari setiap sudut wajah kota tua itu. Dari sudut menara, suara penjual masih segar menjajakan dagangangannya kepada pembeli .
Kota tua sering disebut taman fatahillah. Dulu, berada di pusat kota Batavia yang dikenal standhuesplein atau taman balai kota. Berdasarkan lukisan pegawai VOC asal Denmark “ Jahannes rach” di tengah lapangan tersebut dulu terdapat air terjun yang berasal dari glodok dan dijadikan sebagai tempat pengambilan air bagi masyarakat pada abab ke-18.
“Ada beberapa pusat yang wajib dikunjungi para wisatawan. Mulai dari taman Fatahillah ada juga toko merah, wihara dharma bakti, musieum bahari, pelabuhan sunda kelapa, menara syahbandar, dan jembatan kota intan.” Kata Suarno sebagai penyewa sepeda di kota tua itu.
Di tengah keramaian orang di sana terlihat beberapa kelompok yang mementaskan corak seni dihadapan khalayak. Cuplin disebut culu disiplin merupakan salah satu seni yang ditampilkan oleh indonesia komunitas art.
Seluruh tubuhnya berwarna putih. Mulai dari ujung kaki sampai ujung kepala. Celana pendek dan baju serba putih, bergerak seirama dengan tubuhnya. Ia adalah Azim salah satu aktor patung pantonim yang berkerja di kota tua itu.
“Saya mulai bekerja di kota tua ini sejak 2010 yang lalu. Awalnya saya di Kalimantan Timur, Bandung, Sulawesi, Jogyakarta dan saat ini saya memilih di kota Jakarta” Kata Azim sambil duduk di lapangan Fatihillah.
Hidup di kota tua tepatnya di Ibu kota Jakarta bukanlah perkara yang mudah. Selain harus bersikap tabah juga harus bekerja keras agar bisa bertahan hidup. Suasana kota tua terlihat padat. Ada yang menjadi pengamen, pedangang kaki lima, pedagang asongan, sampai pengemis masih menjadi pesaing di kota tersebut.
Azim memilih seni bukanlah sebagai profesi dalam hidupnya. “ Saya di sini bukan bekerja, melainkan hanya menyalurkan hobby saja. Seni terutama pantonim tidak bisa saya lepaskan dari diri saya, karena seni yang memperkenalkan saya dengan orang banyak, pergi ke luar negeri, sampai saya bisa menjadi seorang intertaiment di Indonesia” Tegas Azim terlihat tak ingin pekerjaannya saat ini dijadikan sebagai profesi.
Badan Azim terlihat kurus. Dari satu tempat ke tempat yang lain Azim tidak pernah merasa lelah untuk menyalurkan bakatnya kepada masyarakat. Menghibur dan membuat orang lain tersenyum merupakan dakwah bagi Azim karena bisa membuat orang tertawa dan tersenyum juga awal dari sebuh ibadah.
“ Tak perlu berkotbah di mesjid-mesjid. berdakwah dizaman sekarang ini seperti kita berbicara seperti batu. Manusia itu bengis dengan kekuasaan dirinya sendiri, rakus akan ilmu, bahkan mereka lebih tahu dari pada kiayai yang serba putih itu. Paling Anjing mengonggong kapilah berlalu itulah dakwah diera saat ini” Tangkas Azim sambil mengacungkan tangan kanannya ke arah kiri.
Menurut Azim kehidupan saat sangat keras orang tidak butuh didakwahkan melalui suara. hidup miskin,melarat serta bertasbih dengan uang juga memerlukan istirahat yang tenang. “bagaimana mungkin mereka menerima dakwah kita kalau perut masih kosong?” Tanya Azim seraya menjelaskan tentang dakwah.
Soal dakwah Azim tidak pernah buta. Ia tahu soal hukum mereka yang tidak shalat, Ia tahu soal perut kosong ibadah tak tenang, ia juga keras terdidik dalam penjara keagamaan. Bahkan, Ia berhasil menaungi kehidupannya tanpa ada bantuan dari kedua orang tuanya. Sambil meminum segelas teh dingin Azim kembali berkisah tentang dirinya.
“Dulu saya pernah menamatkan sekolah di pondok Gontor Jakarta. Banyak ilmu agama kudapatkan, termasuk bagaimana cara kita berdakwah. Aku memilih mondok karena aku ingin tahu persoalan agama. Bagiku, kehidupan tanpa agama dan dasar-dasar keislaman itu sama halnya buta. Aku tak ingin buta islam maka aku harus mencari tahu tentang keislaman.” Cerita Azim.
Azim tidak pernah mengenal siapa kedua orang tuanya. Dulu ia dibesarkan oleh tetangganya sendiri di kalimantan Timur. Laki-laki kelahiran 1984 ini lulus S1 di Institut Syari’ah Islam Darussalah (ISID) di Kalimantan.
“ Sejak saya kelas empat Sekolah Dasar (SD) saya sudah mulai berjuang untuk membiayai sekolah saya. Hingga saat ini, Allah telah memudahkan Rizki saya melalui bakat yang saya miliki. Pantonim adalah kemampuan yang bisa saya kembangkan untuk menghasilkan uang hingga bisa menamatkan SI di ISID” Ungkap Azim dengan matanya mulai berkaca-kaca.
Hidup adalah pilihan. Begitu juga dengan Azim, setelah lulus kuliah Azim bekerja dari satu tempat ke tempat yang lain. Mulai sebagai karyawan di hotel, cafe, dan juga usaha makanan, akhirnya ia ingin memfokuskan dibagian kesenian. Seni adalah nafas Azim, karena seninya dalam berpantonim Ia bisa pergi ke Turki, Dubai, Hingga beberapa negara lainya.
Namun, dalam perjalanan seni Azim bukan berarti tidak mempunyai kesulitan. Kesulitan yang ia alami saat berdakwah melalui pantonim adalah harus bisa menyesuaikan diri dengan penonton dewasa dan anak-anak.
“Saat saya bergerak untuk mengekpresikan pantonim saya, saya harus berhadapan dengan anak-anak dan orang dewasa, bagaimana cara agar kedua-duanya bisa tersenyum melihat gaya saya. Menarik perhatian pengunjung sehingga mau berfoto bersama adalah tujuan seni saya .” Ungkap Azim.
“Gerak saya adalah dakwah. Membuat orang lain tersenyum juga merupakan bagian dari dakwah, bekerja itu dakwah. Maka seni ini akan saya jadikan sebuah dakwah untuk bisa terus bahagia karena kelucuan saya. Hanya Allah yang tahu bahwa saya bekerja ini adalah hasil implementasi dari apa yang saya dapatkan selama di Gontor” Tegas Azim sambil meyakinkan bahwa pekerjaannya sebagai seniman adalah bagian dari dakwah kepada orang banyak.
Di akhir kalimat Azim ingin berpesan kepada semua orang bahwa hidup ini adalah penentuan nasib di masa akan datang. Lebih baik menyalurkan hobby dengan cara halal dari pada harus berpoya-poya di atas penyiksaaan dunia penuh teriris dengan dosa.
“ Setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangan. Namun, dalam kekurangan tersebut akan selalu ada kelebihan yang mengitari diri kita sendiri. Sehingga dalam hidup ini tidak terlalu banyak menyiusahkan orang lain.” Harap Azim. [Siti Aminah]