Cerpen : Amar Dan Penyesalannya
Oleh : Karamullah
Suara ayam berlantunan saling sahut-menyahut, matahari mulai memerah menampakkan dirinya di pagi yang indah ini. Terdengar samar suara gemercik air orang sedang menyuci pakaian, selang beberapa menit kembali terdengar samar-samar celentongan ketika sendok alumanium itu beradu dengan wajan. Dikamar yang gelap hanya tampak beberapa sinar yang masuk kedalam kamar itu melalui lubang-lunbang kecil maupun pinggiran jendela.
Amar sedang larut dalam tidur pulasnya, sesekali terdengar dengkuran kecil dari mulut Amar. “Amar! bangun nak sudah pagi, nanti terlambar ke sekolah”, suara lembut itu membuat amar terjaga dari tidurnya, Amar hanya menyahut dengan kata “emmm” sambil perlahan menutup kembali kelopak matanya. Tak lama kemudian terdengar oleh Amar langkah kaki yang semakin lama terus mendekat kearah tempat tidurnya, amar hanya mengintip dengan mata sebelah kanannya, ia sadar bahwa yang datang itu adalah ibunya, dengan pakaian daster panjang tangan masih basah dan terlihat ada sedikit sisa sabun ditangan, ibunya mendekati Amar seraya membelai lembut rambut anaknya dan membangunkan Amar dengan agak menggoyang badannya seraya memanggil nama anaknya, agar bangun untuk pergi sekolah.
Selesai mandi dan berpakaian rapi, Amar pergi ke dapur untuk sarapan pagi, begitu sayangnya ibu Amar kepada anaknya hingga semua keperluan sekolah disiapkan oleh ibunya, mulai dari buku, tas, sepatu, hingga sarapan pagi telah tersaji di atas meja makan. Amar adalah seorang siswa SMA di salah satu sekolah negeri dikampungnya, ia adalah anak pertama dari 2 bersaudara. Adiknya bernama Ria yang sekarang duduk di sekolah Menengah Pertama. Mereka telah ditinggal oleh ayahnya 8 tahun yang lalu karena sakit. Kini mereka hidup bertiga dengan ibunya, semua kebutuhan hidup ditanggung oleh ibunya sendiri, serasa tak kenal lelah ibunya terus berjuang membesarkan anak-anakya dengan penuh kasih sayang.
Pulang sekolah Amar langsung tertidur diatas tempat tidurnya dengan tas diletakkan dilantai begitu saja dan kaki masih terbungkus dengan sepatu Amar merebahkan diri dikasur. ibunya datang menghampiri amar dengan nada yang lembut ibunya berkata kepada Amar “Pulang sekolah ganti baju dulu, itu tas ditaruh ditempatnya sepatu juga belum dilepas masuk kerumah” ibunya berkata sambil membereskan tas dan juga melepas sepatu Amar. Amar tak menghiraukan perkataan ibunya ia malah membalikkan badan dan langsung memejamkan matanya seakan semua itu sudah ada orang yang memebereskannya.
jam menunjukkan pukul 15.00 wib, saatnya Amar dan adiknya pergi mengaji ke sebuah mesjid tak jauh dari kediamannya. Adiknya Amar sudah siap untuk berangkat megaji, sedangkan Amar masih saja tertidur pulas di atas tempat tidurnya, adiknya berusaha membangunkan abangnya yang tertidur pulas, adiknya terus menggoyangkan badan abangnya supaya bangun, namun Amar malah memarahi adiknya karena telah menggangu tidurnya. Adiknya pun pergi menemui ibunya untuk memberitahu bahwa abangnya belum bangun padahal waktu untuk memulai pengajian hampir tiba. Ibunya pun pergi menghampiri anak pertamanya itu, kali ini berbeda dengan saat membangunkan Amar untuk pergi sekolah, ibunya membangunkan anaknya itu dengan sedikit nada tinggi, karena bagi ibunya ilmu agama adalah sangat penting ditambah lagi Amar adalah pengganti ayahnya dalam keluarganya yang berarti juga menjadi iman di keluarganya itu. Amar tetap tidak mau bangun, ibunya pun menarik kaki Amar hingga tersentuh lantai, adik Amar yang melihat abangnya ditarik ibunya hanya tertawa melihat peristiwa itu, Amar kesal dengan ibunya dengan muka yang murung Amar berlalu meninggalkan ibunya menuju ke kamar mandi.
pada malam hari sepulang Amar dan adiknya mengaji ibunya sudah menunggu di depan rumah demi menunggu buah hatinya pulang kerumah. Raut wajah ibunya sedikit gelisah karena belum tampak bayang kedua buah hatinya itu keluar dari kegelapan didepan rumahnya. karena lelah berdiri menunggu ibunya pun duduk dibawah pohon jambu yang ada didepannya, ia tampak sangat gelisah karena tidak biasanya kedua buah hatinya itu pulang telat, wajahnya berseri ketika melihat buah hatinya tampak dari kejauhan sedang mendayung sepeda, mereka tidak terlihat baik-baik saja, semua kegelisahan yang dipikirkan ibunya hilang seketika ketika kedua anaknya itu turun dari sepeda dan menyalami tangannya yang lembut itu.
Mereka tak langsung kedalam, seperti biasanya pada saat setelah shalat isya mereka bertiga duduk didepan rumah dibawah pohon jambu. Disitu terdapat sebuah kursi panjang, ia duduk disebelah ibunya dan adiknya tidur dipangkuan ibunya, sembari mengelus lembut rambut adiknya, ibunya mulai membuka percakapan dengan Amar yang saat itu sangat mengejutkan Amar. “Amar kalau nanti ibu sudah tidak ada, maka jagalah adikmu ini, jangan sia-siakan dia, jadilah kamu orang yang berguna bagi negara dan agamamu, siapa lagi yang mendo’akan ibu dan ayahmu nanti selain kalian berdua nak”, Amar tidak berkata apa-apa hanya tertunduk lesu, ia masih heran kenapa ibunya berbicara seperti itu malam ini, namun Amar tidak mengambil pusing ia berfikir hanya nasehat biasa yang sering dilontarkan oleh ibunya, dan ia tidak menyadari bahwa pesan ini sangat berarti untuk dia kedepannya. Melihat gelagat anaknya seolah tidak terlalu menghiraukan pesannya, ibunya menyuruh Amar mengambil sebuah baskom dan membasuh kakinya, namun Amar tidak mau melakukan dengan alasan ia capek karena harus mendayung sepeda, ibunya hanya melontarkan senyum melihat anaknya dan sesekali ibunya mencium kening adiknya yang telah tertidur pulas dipangkuannya.
Hari berganti hari, waktu seakan berjalan begitu cepat. Keluarga ini menjalankan harinya seperti biasanya, namun pada satu ketika Amar harus pergi keluar kota untuk mengikuti perkemahan mewakili sekolahnya. Perasaan ibunya seakan tidak tenang, ia mencoba membujuk anaknya untuk tidak pergi. ada sesuatu yang mengganjal dalam hati ibunya seakan ia tak akan pernah berjumpa lagi dengan si buah hatinya itu. Amar bersikeras untuk tetap pergi karena ia telah berjanji dengan teman-temannya untuk ikut. akhirnya ibunya pun merelakan anaknya pergi, karena ia juga tidak ingin melihat anaknya sedih.
Akhirnya amar tiba ditempat perkemahan ia mengambil telepon genggamnya untuk menghubungi ibunya, dari balik telepon terdengar suara ibunya yang gembira mendengar anaknya selamat sampai tujuan. baru beberapa menit mereka berbicara tiba-tiba telepon putus, Amar mencoba menghubungi kembali namun tidak dapat tersambung, hatinya pun gelisah ia terus mencoba menghubungi ibunya. satu jam kemudian amar terdiam ketika dia mendengar informasi bahwa kampung halamannya diterpa bencana, air mata Amarpun tumpah, ia terus berusaha menghubungi ibunya, namun tidak tersambung sama sekali. Amar kembali teringat pesan ibunya malam itu, dan ia pun terduduk lesu dalam lamunannya. Akhirnya Amar tiba dikampung halamannya, namun apa yang didapatnya hanya reruntuhan dan beberapa helai baju ibunya dan adiknya yang ia dapatkan. ia duduk diatas reruntuhan rumahnya yang dimana dulu itu adalah kamar ibunya, ia terus teringat akan pesan-pesan ibunya, saat-saat dimana ia sering membantah perkataan ibunya. yang paling disesali Amar adalah ketika ibunya menyuruh ia mengambil air untuk membasuh kaki ibunya, ia menyesal kenapa tidak ia lakukan dulu, betapa bahagianya ia jika saat itu dia dapat membasuh kaki ibunya. kini Amar hanya bisa berdo’a untuk kedua orang tuanya dan adiknya. ia terus berharap dapat berjumpa dengan ibunya, ayah, dan adiknya walupun itu hanya dalam mimpinya.
Pelulis adalah ketua umum ‘rongsokan’ IAIN Ar-Raniry Banda Aceh [rm]