Sumberpost.com | Banda Aceh – Antusiasme para hadirin terlihat dalam Seminar Kebudayaan, selasa (8/10). Beberapa peserta mengungkapkan keprihatinan mereka terkait lunturnya kebudayaan Aceh. Salah satunya persoalan Tari Saman dan solusi mewujudkan kesadaran akan kebudayaan lokal.
“Memang kita mengapresiasi saat Tari Saman ditampilkan dalam even nasional maupun internasional, namun cukup miris saat melihat banyak gerakan Saman yang telah berubah. Jadi para pemuda sepertinya tidak tahu lagi bentuk orisinil tarian Aceh ini,” kata salah seorang mahasiswa dari Universitas Syiah Kuala saat sesi tanya jawab.
Sementara itu, mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry, Chaizir Balia juga mengkritisi upaya sekulerisme dan liberalism, yang menurutnya telah mempengaruhi intelektualitas mahasiswa di berbagai perguruan tinggi. Sehingga budaya Aceh yang Islami semakin terkikis.
“Rapuhnya benteng kebudayaan lokal, tidak semata-mata kaum muda yang dipersalahkan. Tetapi seluruh perangkat yang ada, mulai dari orang tua turut melakukan pembiaran,” ungkap Chaizir.
Menanggapi hal tersebut. Muhajirin menengahi, sangat penting dilakukannya konsolidasi internal. Pergeseran budaya Aceh yang pernah dilintasi konflik membuat ruang kolektif semakin kecil.
“Misal dulu, para pemuda beramai-ramai ke Meunasah. Saat konflik, orang-orang tidak berani lagi datang sehingga Meunasah menjadi pasif sampai sekarang, saat generasi telah berganti,” jawab Muhajirin. Maka kolektifitas adalah hal paling mendasar yang perlu segera dibangun. Dengan kebersamaan, berbagai perangkat di lingkungan masyarakat akan hidup kembali.
Hal senada juga disampaikan pembicara lainnya, Tgk Zulkhairi. Menurutnya, masyarakat harus kembali mengingat apa yang positif dari budaya Aceh. Kolektifitas adalah kuncinya.
“Tidak seperti pola hidup individual yang terjadi sekarang, dulu kebersamaan sangat melekat pada masyarakat Aceh. Bahkan saat terjadi pertengkaran antar warga, mendamaikannya pasti di Meunasah,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Tgk Zulkhairi menambahkan, intelektualitas mahasiswa kini tengah diuji dengan arus sekulerisme, namun hal itu tidak serta merta memberikan rasa pesimis.
“Kita bisa maju. Sekulerisme dan liberalism adalah tantangan, karenanya perlu diselesaikan,” ungkapnya. Alumnus IAIN Ar-Raniry itu juga menekankan perlunya sosok pemuda tumpuan harapan. Ia menggarisbawahi beberapa kriteria.
“Aqidah yang benar, ibadah yang benar, mandiri, kuat fisik, dan bersunguh-sungguh. Itulah kriteria pemuda harapan,” jelas Zulkhairi.
Sementara itu , Thayeb Loh Angen menekankan pentingnya menjaga situs sejarah Aceh yang ada saat ini, serta memberikan penghargaan kepada setiap tokoh, sejarawan, dan peneliti situs kebudayaan Aceh.
Seminar Kebudayaan diselenggarakan oleh Lembaga Partner Suvei Aceh (LPSA) bekerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri di Aula Pascasarjana lantai tiga IAIN Ar-Raniry. Acara tersebut menghadirkan tiga pembicara, yakni pengurus MAA Provinsi Aceh Muhajir Al-Fairusy, Pemerhati Budaya Islam Tgk Zulkhairi, dan salah satu pendiri Lembaga Budaya Saman Thayeb Loh Angen. [Mardhatillah | ilustrasi Google]