Sumberpost.com | Banda Aceh – Lembaga Partner Survei Aceh (LPSA) bekerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri menggelar Seminar Kebudayaan, Selasa (8/10). Bertempat di Aula Pascasarjana lantai tiga IAIN Ar-Raniry, seminar tersebut menghadirkan tiga pembicara, yakni pengurus MAA Provinsi Aceh Muhajir Al-Fairusy, Pemerhati Budaya Islam Tgk Zulkhairi, dan salah satu pendiri Lembaga Budaya Saman Thayeb Loh Angen.
“Kami melihat kearifan lokal Aceh yang kini semakin mengendur. Generasi Aceh bahkan tidak tahu persis kondisi peningggalan sejarah kebudayaan mereka sendiri,” kata ketua LPSA Fajrul Akmal dalam sambutannya.
Seminar tersebut mengambil tema “Mempertahankan Budaya Aceh Sebagai Wujud Adanya Keanekaragaman Budaya di Indonesia”. Dirjen Kesbangpol RI Andy Jufri SE MM yang turut hadir memberi apresiasi atas diselenggarakannya acara ini. Menurutnya, Indonesia yang merupakan negara dengan ragam suku bangsa menuntut setiap putra-putrinya untuk mengkaji wawasan nusantara.
“Keragaman ini menjadi identitas kita. Maka masyarakat perlu mengetahui wawasan nusantara sebagai upaya untuk pemersatu bangsa,” ungkapnya dalam sambutan sekaligus membuka seminar tersebut.
Masing-masing narasumber memberikan pandangannya. Muhajirin Al-Fairusy, misalnya, beliau menyoroti perubahan budaya Aceh yang jauh dari sejarah terdahulu.
“Padahal tokoh budaya luar sangat mengagumi sajarah kita, yang dulunya memiliki lembaga sosial yang solid. Seperti adanya Tuha peut, Peutua seunubok, Pawang laot, dan sebagainya.” kata Muhajirin.
Ia juga memaparkan beberapa permasalahan, seperti pengingkaran budaya lokal Aceh, dominasi kapitalis, dan rasa percaya diri kaum muda yang kini semakin hilang.
“Berbeda dengan Bali dan Jogja yang terus memelihara bangunan kuno mereka, di Aceh malah banyak terjadi penghancuran situs-situs bersejarah,” tambahnya.
Tgk Zulkhairi saat memberi materi berpendapat, budaya setiap bangsa di dunia ditopang oleh motivasi ajaran agama.
“Kita mengenal bangsa Eropa yang ditopang oleh ajaran agama Kristen, RRC memiliki budaya China yang berasal dari ajaran Budha, Israel dengan ajaran Yahudi. Kita bisa melihat bagaimana kekuatan peradaban dunia yang dibangun oleh semangat religius,” jelas Zulkhairi. Karenanya, Aceh yang dibangun oleh semangat agama Islam, seharusnya menjadikan Islam sebagai rujukan untuk membangun budayanya sendiri.
Pembicara lain, Thayeb Loh Angen membandingkan semangat dalam menjaga budaya antara Aceh dan Malaysia. Ia menceritakan bagaimana kebijakan dari perdana menteri Mahathir Mohammad, sehingga kedirajaan Malaysia merivitalisasi peradabannya.
“Saat itu, slogan ‘Malaysia Boleh’ didengungkan disana. Semangat seperti itulah yang harus ada pada kita di Aceh.” ungkap Thayeb.
Mantan redaktur Harian Aceh itu juga menegaskan pentingnya mempertahankan budaya Aceh yang Islami. Pemuda sebagai tumpuan harapan memiliki tanggung jawab yang besar.
“Budaya merupakan warisan endatu, maka kini pemuda lah yang harus berada di garis depan untuk mempertahankan budaya kita,” harapnya.[Mardhatillah | ilustrasi Google]