Feature | Bermula Dari Beutong Ateuh (1)
SENIN, 18 Februari 2008, saya berangkat dari Meulaboh menuju Ulee Jalan, Nagan Raya. Ulee Jalan berada di Beutong Bawah yang masih satu kecamatan dengan Beutong Ateuh. Jarak Ulee Jalan ke Beutong Ateuh sekitar 45 kilometer, dengan 30 kilometer jalan aspal dan selebihnya jalan berkerikil dan tanah, juga rawan longsor.
“Agak susah kalau mau pergi ke sana. Jalannya berliku-liku dan akan turun kabut. Kalau hujan, licin,” ujar Adam Sani. Adam tinggal di Ulee Jalan, tapi ia tidak pernah naik ke Beutong Ateuh. Istilah “naik” digunakan kalau ingin pergi ke sana, karena letaknya yang tinggi dan jalannya menanjak.
Dulu Beutong Ateuh masuk dalam wilayah kabupaten Aceh Barat. Setelah pemekaran, ia jadi bagian dari kabupaten Nagan Raya.
Beutong Ateuh terletak di sebuah lembah yang subur di punggung pegunungan Bukit Barisan, dengan ketinggian sekitar 2000 mdpl (meter dari permukaan laut). Curah hujan cukup tinggi di sini. Hawanya sejuk, seperti di daratan tinggi Gayo dan Alas.
Di Beutong Ateuh pula pahlawan Aceh, Cut Nyak Dien, pernah membangun basis pertahanan di masa perang melawan kolonial Belanda.
Beutong Ateuh merupakan sebuah kemukiman yang terdiri dari empat gampong yaitu, Blang Merandeh, Blang Pu’uk, Kuta Teng’oh dan Babah Suak. Dalam struktur pemerintahan Aceh masa lalu, kemukiman adalah kumpulan dari beberapa gampong dan di pusat kemukiman didirikan sebuah masjid untuk menandainya. Jumlah desa dalam satu mukim sangat tergantung pada letaknya dengan masjid, yang ukurannya terjangkau dengan jalan kaki untuk melaksanakan shalat jumat. Bila pagi orang pergi ke masjid, maka ia akan tiba di rumah menjelang dzuhur di desanya. Namun struktur kemukiman menjadi tidak berfungsi sejak ditetapkan kecamatan sebagai kumpulan dari desa-desa, sebagaimana sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI.
Nama Betong Ateuh sempat mencuat karena di sana pernah tinggal Teungku Bantaqiah, seorang guru mengaji yang cukup terkenal di Aceh Barat. Di lembah itu ia membangun dayah, tempat mengaji dan menuntut ilmu agama, tepatnya di desa Blang Meurandeh.
Bantaqiah sendiri yang bertindak sebagai pengelola pengajian itu. Seperti lazimnya dayah beraliran Sunni, di sini diajarkan kitab-kitab seperti ilyă ulûmuddin, kasyful ashraf, tafsir al-manar dan Alquran.
Bantaqiah sejatinya berasal dari Ulee Jalan, Beutong Bawah. Tapi kakeknya berasal dari Beutong Ateuh. Setelah merantau hingga ke Aceh Tengah, ia memutuskan menetap di Beutong Ateuh.
Ia kemudian berkeluarga dan memiliki dua isteri, Nurliah dan Manfarisyah. Dari isteri pertama ia dikaruniai sembilan orang anak. Dari istri kedua, ia memperoleh dua anak.
Dari Meulaboh ke Ulee Jalan, saya naik labi-labi, angkutan umum di Aceh yang berupa mobil pikap dimodifikasi dengan tambahan dinding dan atap. Labi-labi itu hanya beroperasi sampai Ulee Jalan, sehingga untuk ke Beutong Ateuh saya harus menggunakan kendaraan lain. Biasanya, orang yang hendak ke sana akan menyambung perjalanannya dengan menumpang mobil yang mengangkut bahan bangunan dan sayur, atau mobil pribadi.
Setiba di Ulee Jalan, saya bergegas ke rumah Abdul Muthalib. Rata-rata orang yang mau ke Beutong Ateuh singgah di sini lebih dulu. Rumahnya di tepi jalan, berbentuk rumah toko dua tingkat. Berjenis makanan kecil untuk dijual digantung toko. Tempat menggiling kopi dan kursi panjang tampak di muka rumah. Karung beras, berbagai macam sabun dan barang dagangan ada di dalam.
Nurila sedang melayani pembeli. Ia bertubuh kecil. Nurila adalah isteri Abdul Muthalib. Orang Ulee Jalan sering memanggilnya mamak Malek, karena anak pertamanya bernama Malik.
“Tunggu saja di sini. Biasanya mobil ke sana pergi pagi atau habis zhuhur,” kata Abdul Muthalib kepada saya, dalam bahasa Aceh.
Ia adalah adik Teungku Bantaqiah. Ia kini mengelola pesantren Babul Mukarramah yang ditinggalkan almarhum abangnya. Saat saya di rumah Abdul Muthalib, orang datang silih berganti. Para tamu itu menanyakan pendapatnya tentang berita yang dimuat suratkabar Serambi Indonesia pada 15 Febuari 2008.Serambi menyebutkan bahwa ada yang menyebarkan aliran sesat di daerah Aceh Timur dan yang bersangkutan dulu pernah menimba ilmu di Beutong Ateuh. Orang itu menyatakan bahwa tak perlu adzan untuk menandai waktu shalat.
Berita tersebut meresahkan Abdul Muthalib dan warga Beutong. Bagaimana tidak, daerah ini dulu juga pernah disebut sebagai basis aliran sesat.
Pada tanggal 15 Mei 1987, santri-santri Babul Mukarramah melalukan aksi protes terhadap perbuatan maksiat. Aksi protes ini berlangsung di Sigli, kabupaten Pidie dan Meulaboh, kabupaten Aceh Barat, secara serentak.
Aksi di Pidie dipimpin Teungku T. Iskandar. Jumlah massa 30 santri. Mereka melakukan aksi berjalan kaki dengan membawa dua bendera berlambang bulan bintang, Alquran dan dua pedang yang bersilang. Bendera sebagai tanda identitas gerakan itu berwarna merah dan hijau. Mereka berjalan sambil meneriakkan khulja haqqu wa zahaqqal bathil, innal bathila zahuqqa (katakanlah hai Muhammad, telah datang kebenaran dan hancurlah segala kebathilan, sesungguhnya kebathilan itu hancur binasa), disambung teriakan Allahu Akbar. Mereka juga membawa senjata tajam. Buntutnya, Iskandar ditangkap polisi.
Para anggota gerakan tersebut mengenakan jubah kuning, merah, dan putih. Mereka yang berjubah kuning adalah pemimpin aksi. Jubah merah dikenakan para pengawal. Anggota memakai jubah berwarna putih dan surban. Akhirnya, aksi ini disebut gerakan jubah putih.
Di Meulaboh, aksi serupa dipimpin Sabirin. Peserta aksi mengenakan jubah hitam dan merah, juga membawa bendera berlambang sama dengan di Pidie dan beberapa pedang. Aksi pun digelar di depan masjid Nurul Huda, Meulaboh. Tapi Sabirin tewas kena tembak saat konvoi ini keliling kota dan bentrok dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Gerakan ini oleh sebagian orang disebut gerakan jubah hitam.
Dua aksi tersebut terjadi pada tahun 1987.
“Jubah putih dengan jubah hitam itu sama saja. Cuma lain warna baju,” kata Abdul Muthalib kepada saya, di sela-sela ia melayani pembeli di kedainya.
“Di Sigli orang lebih mengenalnya dengan sebutan jubah putih. Kalau di Meulaboh, jubah hitam,” katanya, lagi.
Sebenarnya gerakan jubah putih telah dilarang oleh Kejaksaan Tinggi Aceh pada tahun 1984. Semula tindakan mereka dianggap terlalu agresif dalam menentang perbuatan maksiat. Mereka menghunuskan pedang di depan umum. Mereka kemudian dituduh mengkafirkan kelompok Islam yang di luar kelompok mereka.
“Waktu kasus jubah putih dulu, saya juga pernah ditangkap,” kenang Abdul Muthalib.
“Maksud aksi ini bukannya mendirikan negara di dalam negara, tapi agar orang Islam mau beribadah dan agar di Aceh itu harus sesuai dengan syariat Islam,” lanjutnya.
Ia menganjurkan saya pergi ke Meulaboh untuk menemui Teungku Iskandar, bila ingin tahu lebih banyak tentang gerakan jubah putih itu. Saat saya menanyakan apakah gerakan tersebut punya kaitan dengan Gerakan Aceh Merdeka atau GAM, Abdul Muthalib membantah.
“Kami menaikkan bendera Islam, bukan punya Aceh Merdeka,” katanya.
SUDAH pukul enam sore ketika itu. Tapi tak ada tanda-tanda ada mobil ke Beutong Ateuh. Untuk kembali ke Meulaboh, sudah tak mungkin lagi. Apalagi hujan mulai turun. Saya tertahan di rumah Abdul Muthalib, ikut shalat maghrib, dan makan bersama dia dan istrinya.
Abdul Muthalib melanjutkan ceritanya. Setelah aksi jubah putih di Pidie dan Meulaboh, Teungku Bantaqiah dicari aparat karena dianggap sebagai penggerak aksi. Namun ia tidak kunjung ditemukan. Sejak itu pula isu mengenai ajaran Bantaqiah yang sesat berhembus makin kencang. Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Aceh mengeluarkan fatwa bahwa ajaran Bantaqiah adalah ajaran sesat. Pihak Kejaksaan mendukung MUI Aceh.
Sikap MUI Aceh diperkuat MUI Jakarta. Ajaran Bantaqiah dituduh sesat karena dianggap sebagai tarekat yang memiliki bentuk yang hampir sama dengan tarekat Hamzah Fansyuri, yang beraliran wahdatul wujud. Hamzah Fansyuri dituduh menyebar ajaran sesat oleh para dewan ulama di masanya, karena dianggap mengacaukan tauhid dan syariah orang yang baru saja memeluk Islam. Ia mengenalkan konsep penyatuan manusia dan Tuhan. Ahli tasawuf dan penyair asal Singkil ini hidup di abad ke-16.
“Yang mengatakan sesat itu adalah rektor IAIN—Institut Agama Islam Negeri Ar Raniry—dengan Ali Hasyimi. Tapi fatwa itu sudah selesai setelah adanya musyawarah dan mufakat,” kisah Abdul Muthalib.
Rektor IAIN yang dimaksud Abdul adalah Ahmad Daudi, yang menjabat saat itu. Ali Hasyimi menjabat sebagai ketua MUI Aceh.
Setelah Teungku Bantaqiah tak berhasil ditangkap, pemerintah kemudian melakukan jalan damai. Mereka memintanya turun ke Beutong Bawah untuk melakukan dialog.
“Sembilan belas bulan setelah aksi yang dilakukan oleh jubah putih dan menjadi orang yang dicari oleh polisi, Abang disuruh turun ke Beutong Bawah. Waktu itu Ibrahim Hasan yang menjabat sebagai gubernur,” tutur Abdul Muthalib.
Acara pertemuan dengan Tengku Bantaqiah kemudian dilaksanakan di masjid Ulee Jalan. Acara tersebut dipimpin pejabat setempat.
Bantaqiah menolak disebut menyebarkan aliran sesat. Ia juga menyatakan bahwa tindakannya tidak bermaksud untuk memusuhi negara. Apa yang ia lakukan hanya untuk menimbulkan perhatian pemerintah agar bersedia berdialog dengannya, yang telah mereka anggap tokoh aliran sesat.
Pertemuan berakhir baik-baik, bahkan pemerintah berjanji memberi bantuan kepada dayah Babul Mukarramah.
Tak lama setelah pertemuan itu, gubernur Aceh Ibrahim Hasan mengundang Bantaqiah datang ke meuligo (rumah dinas) gubernur di Banda Aceh. Lagi-lagi putra Beutong ini dijanjikan akan diberi bantuan oleh gubernur.
Pemerintah kemudian memang menepati janjinya. Tapi mereka memutuskan secara sepihak lokasi pendirian komplek dayah itu. Mereka memilih kawasan Krueng Isep, di Beutong Bawah. Tentu saja, ini sama artinya dengan memicu masalah baru. Bantaqiah menolak. Ia tak mau pindah dari Beutong Ateuh ke Beutong Bawah. Pembangunan yang memakan anggaran sebesar Rp 405 juta itu pun mubazir.
“Tidak ada yang menempati,” tutur Abdul Muthalib.
Kawasan Krueng Isep kini sudah jadi objek wisata. Di situ juga dibangun pos latihan tentara.
Bangunan dayah tadi meliputi madrasah, rumah juga tempat pengajian. Alasan pemerintah membangun komplek ini di Beutong Bawah adalah karena Beutong Ateuh tidak memiliki prasarana yang memadai, kondisi jalan buruk dan transportasi sulit.
Bantaqiah sampai tujuh kali mengirim surat keberatannya kepada pemerintah kabupaten Aceh Barat. Pasalnya, ia juga sudah membangun lokasi pertanian di gampong Blang Meurandeh, Beutong Ateuh, karena lokasi ini dianggap strategis dan letaknya dekat dengan sungai. Nanti beras dari Beutong Ateuh akan dikenal sebagai breuh Beutong Ateuh. Selain sektor pertanian, bidang perkebunan juga digalakkan di sini.
Bantaqiah tak ingin penolakannya dicurigai sebagai upaya mengembangkan gerakan jubah putih yang disebut ajaran sesat. Alasannya, semata-mata soal kenyamanan tinggal dan urusan bercocok tanam.
Kini Abdul Muthalib menegaskan kembali hal itu kepada saya.
“Saya tidak ingin lagi ada yang menyebutkan bahwa daerah Beutong menyebarkan aliran sesat seperti yang ada di koran kemarin. Saya kecewa dengan MPU Aceh Timur yang menuduh bahwa ada aliran sesat di sini. Harusnya dia datang ke sini dulu atau harusnya kalau ada, MPU Nagan Raya yang seharusnya mengatakan itu,” katanya.
“Kalau dituduh saya saja tidak apa-apa, tapi ini yang dituduh satu mukim,” lanjut Abdul Muthalib.
Percakapan kami berlangsung dalam bahasa Aceh.
PADA 17 Oktober 1993, kepolisian Aceh Tengah melakukan operasi mendadak ke Beutong Ateuh, yang mereka sebut Serangan Fajar.
Dalam operasi itu, polisi berhasil menyita satu ton ganja yang dipanen dari lahan seluas 250 hektare. Polisi juga menangkap lima orang anggota sindikat ganja, yang menurut keterangan polisi, mengaku berada di bawah koordinasi Teungku Bantaqiah.
Akibatnya, Bantaqiah ditangkap pada tanggal 23 Oktober 1993, di desa Blang Meurandeh, Beutong Ateuh. Walau awalnya ia ditangkap karena dituduh bekerja sama dengan pengedar ganja, tapi kemudian status penahanannya berubah menjadi tahanan politik. Ia dianggap telah melakukan tindak pidana subversif atau tindakan yang merongrong keamanan negara.
Bantaqiah disidang di awal Juni 1994 di Pengadilan Negeri Lhokseumawe, Aceh Utara. Pada akhir September 1994 kasusnya sudah sampai tahap penyerahan berkas pada pihak kejaksaan. Pada bulan Oktober ia diajukan ke pengadilan.
Ketika itu hukuman untuk kasus subversif adalah pidana mati, seumur hidup atau penjara selama 20 tahun. Saat-saat pemeriksaan awal terhadap Bantaqiah, kasus jubah putih kembali diungkit-ungkit polisi.
“Peristiwa itu terjadi setelah pemilu. Waktu itu dia bertugas mengamankan pemilu di Beutong Ateuh, pokoknya berada di tengah-tengah lah, lagi pula Abang dulu juga pernah menjadi pendukung Golkar (partai Golongan Karya) di sana,” kata Abdul Muthalib.
Menurut lelaki ini, ketika ia menanyakan kebenaran semua tuduhan tersebut kepada Bantaqiah, sang abang menjawab bahwa semua tuduhan itu tidak benar.
“Mana ada itu? Di mana? Itu politik,” katanya, mengulang kata-kata abangnya.
Pada pertengahan Desember 1994, pengadilan Bantaqiah akhirnya digelar di Lhokseumawe dengan alasan keamanan. Bukti-bukti dihadirkan terkait dengan kasus ini adalah 49 lembar daun ganja, dua bendera GAM dan dua unit mobil. Saat persidangan juga diungkapkan bahwa ladang ganja yang ada di Beutong Ateuh merupakan usaha dan logistik untuk keberlangsungan GAM.
Pada tanggal 11 Januari 1995, Bantaqiah dituntut hukuman penjara seumur hidup. Tapi pada 24 Januari 1995, pengadilan memutuskan hukuman 20 tahun penjara untuknya, lebih ringan dari tuntutan jaksa.
Hakim juga mengatakan bahwa ia secara struktural berada dalam GAM di bagian logistik atau pangan.
Bantaqiah dipenjarakan di Lembaga Permasyarakatan Lhokseumawe, lalu dipindahkan ke Lembaga Permasyarakatan Tanjung Gusta, Medan. Ia dibebaskan pada bulan April 1999.
Ia baru menjalani lima bulan masa tahanannya, ketika pemerintahan presiden B.J Habibie memberinya amnesti.
Bantaqiah sempat menceritakan situasi dalam tahanan kepada Abdul Muthalib.
“Saat dalam tahanan ada yang bilang saya diangkat sebagai wakil Hasan Tiro bidang logistik. Wah, pekerjaan besar itu kan,” ujar Abdul Muthalib, meniru ucapan abangnya saat itu.
Setelah mengunjungi kerabatnya selepas dari tahanan, Bantaqiah pun kembali ke Beutong Ateuh pada 21 Mei 1999. Beberapa warga Beutong datang untuk mem-peusijuk (upacara adat untuk keselamatan yang ditandai dengan membaca doa menabur tepung beras) sang teungku.
“Setelah itu tersebar kabar kalau kami pergi peusijuk senjata,” kisah Abdul Muthalib.
Belum lama Bantaqiah di kampung halamannya, tragedi pun terjadi.
“Saya tidak lihat kejadian itu, saya di sini. Hari itu kami dari Beutong Bawah tidak diperbolehkan naik ke sana. Jalan dijaga tentara,” lanjut lelaki ini.
“Yang saya tahu, abang ditembak setelah Usman anak pertamanya dipukul oleh tentara,” tuturnya.
Abdul Muthalib naik ke Beutong Ateuh saat ada beberapa wartawan yang pergi ke sana beberapa hari setelah kejadian. Kisah penembakan abangnya ia dengar dari warga.
“Waktu itu di sana bendera merah putih disuruh naikkan selama 24 jam, kalau diturunkan (orang) akan dipukul,” ujar Abdul Muthalib, seraya melihat ke arah jam dinding. []
*Khiththati. Tulisan ini pernah dimuat di Aceh Feature. Alumni Sumberpost.