KEESOKAN harinya, setelah menunggu dari pagi, saya baru mendapat mobil tumpang ke Beutong Ateuh di siang hari. Nurila membantu saya mendapatkan tumpangan. Mobil itu adalah mobil milik puskesmas.
Saya duduk di belakang, bersama dua penumpang lain, bersatu dengan kardus makanan bayi, susu dan bubur.
Perjalanan ke Beutong Ateuh memakan waktu tiga jam lebih. Kabut di jalan cukup tebal. Hujan turun. Mobil terpaksa berhenti di tengah jalan dan kami sempat berteduh di sebuah kedai di tengah hutan.
Beutong Ateuh merupakan lembah yang dibentengi pegunungan. Hamparan sawah terlihat di bawah sana.
Setiba di Beutong Ateuh, saya diantar kesebuah rumah yang berhadapan dengan sungai yang berair jernih. Pamflet di depan rumah itu bertuliskan “Babul Mukarramah”.
Di situ saya berkenalan dengan Malikul, anak Bantaqiah yang ketiga. Malikul berbadan tinggi, berkulit hitam. Rambutnya panjang sebahu. Ia berpeci hitam, berkemeja dan kain sarung.
Malikul langsung bicara tentang berita di koran Serambi Indonesia, yang menyebut aliran sesat di Beutong Ateuh.
“Fatwa aliran sesat seperti dulu jangan sampai terulang lagi,” tegas Malikul. Ia trauma.
“Di sini cuma diajarkan mengaji. Kalau sesat kan harus ada bukti, begitu juga kalau salah,” katanya, lagi.
Saat ayahnya ditembak, Malikul sedang berada di Beutong Bawah. Ia bertanya-tanya kenapa ayahnya dulu dihukum, kenapa ia dibunuh, untuk apa ia dihukum dan untuk apa ia dibunuh.
“Setelah kejadian itu saya sempat dikejar-kejar,” tuturnya.
Dulu Malikul sempat kecewa terhadap nasib yang menimpa ayahnya. Ia mengenal ayahnya sebagai orang yang memperjuangkan partai Golkar di Beutong Ateuh. Tapi balasan yang didapatkan ayahnya sungguh tak setimpal.
Ia juga menyanggah pembunuhan ayahnya berkaitan dengan GAM.
“Waktu kejadian itu, kami tidak tahu ada GAM di sini. Heboh GAM waktu itu kan di Aceh Utara. Tidak ada orang GAM yang ke sini waktu itu,” ujarnya.
Malikul mengatakan bahwa setelah kejadian itu Babul Mukarramah ditutup dan kembali memperoleh santri setelah tsunami.
“Yang pergi ke sini adalah yang tidak diterima lagi oleh orang lain,” katanya.
Ia lantas menceritakan tentang HT (handy talky) yang membuat abangnya Usman dipukul tentara dan ditembak.
“Dulu di sini ada PT (perseroan terbatas; perusahaan) kayu entah apa namanya. Jadi karena ada kerja sama, dikasih satu HT untuk buat hubungan. Tapi tak lama kemudian HT itu rusak. Antenenya dipasang di atas pohon durian,” kisah Malikul, sambil bercanda dengan anaknya yang masih kecil.
Antene itu dianggap tentara sebagai alat komunikasi anggota GAM.
MALIKUL mengantar saya pergi ke rumah ibunya, Nurliah. Rumah ibu dan anak ini masih dalam satu pagar dan hanya dibatasi sumur. Rumah Nurliah bercat merah jambu. Pintu depannya berhadapan langsung dengan sungai. Di dinding rumah tergantung foto Teungku Bantaqiah, istri dan cucunya. Ada gambar ka’bah, juga sehelai bulu burung yang panjang. Tirai rumah itu merah jambu.
“Jangan tanya saya. Saya sudah lupa,” ujar Nurliah dalam bahasa Aceh sambil memalingkan wajahnya dari saya.
“Hari itu ada pengajian, tapi lebih baik tanya sama orang lain saja. Sama siapa saja tanya, ceritanya sama saja,” sahut Fatimah. Ia adalah anak keempat dan satu-satunya anak perempuan Bantaqiah.
“Yang dihukum cuma anggota, tapi kepalanya tidak. Jadi tidak perlu dibahas lagi,” kata Fatimah.
Nurliah tidak banyak berbicara. Sesekali ia tersenyum melihat tingkah laku cucu perempuannya, anak Malikul. Saya disuguhi kopi. Adzan magrib berkumandang.
“Nanti saja bicara lagi. Sekarang shalat dulu,” kata Malikul.
Langit sudah gelap. Hujan turun rintik-rintik. Udara begitu dingin. Fatimah mengajak saya ke sumur untuk berwudhu. Air sumur itu benar-benar dingin.
Setelah saya shalat terdengar suara mobil menderu di depan rumah. Rupanya ada tamu datang. Rombongan itu terdiri dari empat orang. Semuanya dulu pernah berguru di Beutong Ateuh. Setelah shalat magrib di mushala baru mereka masuk rumah. Di antara yang datang adalah Teungku Iskandar, yang dulu memimpin aksi jubah putih. Pucuk dicinta ulam tiba. Saya tak perlu mencarinya ke Meulaboh.
“Saya datang mau lihat kalian semua, lagi pula sudah lama tidak naik ke sini,” ujar Iskandar, membuka pembicaraan, dalam bahasa Aceh.
Iskandar mengatakan bahwa ia ke sini karena membaca berita di Serambi Indonesia. Ia khawatir dengan keadaan di Beutong Ateuh. Malam itu ia mengenakan kemeja kuning, celana coklat, dan peci hitam. Tubuhnya tinggi besar.
“Ali Hasyimi sudah mengakui bahwa ajaran Teungku Banta sama dengan ajaran Islam. Itu cuma salah paham Ali Hasyimi dan Ahmad Daudi. Masalah itu sudah selesai sejak diadakan pertemuan di pendopo Bupati Meulaboh dulu,” ujar Iskandar.
Iskandar sempat menimba ilmu agama di Beutong Ateuh pada tahun 1982.
Ia juga mengatakan saat melakukan aksi dulu mereka memakai bendera berlambang Alquran sebagai simbol kalau mereka tidak melenceng dari ajaran Alquran.
“Dalam Islam kan tidak ada bendera. Yang menjadi bendera Islam itu adalah yang haram jangan dihalalkan dan haram tidak boleh dihalalkan, yang benar jangan disalahkan, yang salah jangan dibenarkan, janji jangan diubah, amanah jangan ditukar,” ujar Iskandar, lagi.
Saat kami bercakap-cakap di ruang tamu, lampu mati tiap lima menit sekali. Sinyal telepon tak ada. Menurut Fatimah, di tempat ini listrik menyala dari jam setengah tujuh malam sampai dua belas malam. Ya, begini ini: mati-hidup, mati-hidup. Di luar hujan. Gemuruh air sungai terdengar sampai ke dalam. Sesekali terdengar suara petir.
Fatimah mengajak saya ke dapur untuk makan. Saya dipersilakan duduk di tikar bambu. Atap di dapur bocor di beberapa tempat. Air menetes-netes.
Sambil mempersiapkan lauk dan nasi buat tamu lainnya, Fatimah bercerita kalau beberapa bulan yang lalu Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, mampir ke sini.
“Pak Irwandi dengan isterinya duduk tepat di tempat adik ini duduk. Tapi sayang waktu dia datang tidak ada hujan. Jadi kan tidak bocor kayak ini,” kata Fatimah, sambil tersenyum.
Menurut Fatimah, Irwandi datang dengan mobil pribadi. Pemerintah kabupaten Nagan Raya bahkan tidak tahu rencana kunjungan mendadak pak gubernur. Ketika Irwandi sudah siap-siap pulang, baru mereka datang.
Selesai makan, Fatimah mengantar saya ke rumah tetangga yang bersedia menceritakan kejadian penembakan ayahnya. Rumah tersebut tidak begitu jauh dari dayah. Fatimah mengetuk pintu. “Assalammualaikum,” katanya.
“Wa’alaikumsalam, singgah,” jawab laki-laki dalam rumah.
“Ada perlu apa Nak Fatimah?” kata laki-laki tua, yang sedang merokok.
“Ada orang dari Banda. Ada yang mau ditanyakan waktu ayah ditembak dulu,” kata Fatimah, mengenalkan saya kepada lelaki ini. Namanya, Abdul Salam.
Rumah itu bersambung dengan kedai. Si pemilik kedai, Hasanuddin, juga hadir di situ.
“Oh, kalau itu jangan tanya saja. Suara tembakan masih terdengar kalau ada yang tanya tentang itu, seakan-akan kejadian itu baru kemarin terjadi,” sahut perempuan yang keluar dari rumah sambil menggendong anaknya.
Perempuan itu istri Hasanuddin. Ia masuk ke rumah lagi dan baru muncul setelah wawancara selesai.
Seluruh percakapan kami berlangsung dalam bahasa Aceh.
“Kami malas bercerita, karena sama saja ceritanya dan panjang sekali,” kata Abdul Salam.
“Sudah tidak apa-apa, cerita saja sedikit, sayang adik ini datang dari Banda sendiri ke sini,” kata Fatimah.
“Ya, sudahlah Fatimah. Kamu sudah berkata seperti itu, saya cerita sedikit,” jawab lelaki ini, sambil mengisap rokok nipahnya.
Abdul Salam mulai bercerita.
“Waktu itu pagi-pagi sekali ada orang yang lari. Saya waktu itu baru saja bangun tidur. Dia bilang, tentara datang. Sebentar setelah itu, di jalan sebelah sungai sana sudah penuh tentara,” kisahnya.
Semula ia melihat tentara datang dari arah desa Blang Pu’uk. Hari jumat itu tanggal 23 Juli 1999. Letak Blang Meurandeh dan Blang Pu’uk saling berhadapan, dipisahkan sebatang sungai.
“Waktu saya duduk di dekat sungai, waktu itu sudah jam delapan, hujan gerimis. Tentara sudah sampai di jembatan besi itu, sambil sedikit-sedikit jalan ke mari,” lanjutnya.
Jarak antara jembatan besi dengan pesantren Babul Mukarramah sekitar 500 meter. Karena saat itu Abdul Salam adalah kepala dusun, maka ia sempat meminta para tetangganya untuk membuka semua pintu dan jendela. Jangan ada yang tertutup, katanya. Setelah itu ia bergegas ke dayah, karena anaknya ikut pengajian di situ.
“Piyoh (singgah),” kata Bantaqiah waktu itu kepada Abdul Salam.
“Kajeut teungku (iya tengku),” jawab Abdul Salam
“Ho di jak awak nyan? (ke mana orang itu pergi?),” tanya Bantaqiah saat melihat tentara.
“Keuno sang, kiban ? (ke sini sepertinya, bagaimana?),” jawab Abdul Salam, lagi.
“Hana peu-peu (tidak apa-apa),” kata Bantaqiah. Kemudian Abdul Salam naik ke balai, sedang Bantaqiah meneruskan pengajiannya.
Pada pukul 11.00 tentara sudah mulai masuk ke pekarangan dayah. Mereka mulai memeriksa dan menggeledah. Tapi Bantaqiah tidak menghentikan pengajiannya. Orang-orang di ladang sudah pulang. Suara helikopter pun terdengar mengaung-aung di udara.
“Waktu itu teungku masih bilang tidak apa-apa, padahal hati saya sudah berdebar-debar, takut,” kata Abdul Salam kepada saya.
Salah seorang tentara berteriak, “Mana Bantaqiah?”
Bantaqiah tidak menampak diri. Sahabatnya, Yusuf, mencoba menanyakan maksud kedatangan para tentara.
“Kamu Bantaqiah?” tanya tentara itu.
“Bukan saya,” jawab Yusuf.
“Saya mau Bantaqiah yang ke sini,” kata tentara itu, lagi.
Yusuf bergegas naik lagi ke balai, kemudian Bantaqiah turun. Bantaqiah dibawa tentara itu agak menjauh dari balai.
“Mereka berbicara di sana, tapi saya tidak tahu persis yang dibicarakan karena jauh. Tapi kalau menurut pengakuan tentara itu, mereka mencari senjata. Setelah itu mereka mulai menanyakan tentang radio,” cerita Abdul Salam, mengenang kejadian tersebut.
Kemudian Usman, putra Bantaqiah, masuk ke dalam rumah diikuti beberapa tentara. Semua laki-laki yang ada di balai disuruh turun oleh tentara.
“Radio itu sudah rusak memang tidak bisa hidup lagi, namanya juga barang yang baru dilihat, jadi semua ingin pegang,” kata Abdul Salam kepada saya.
“Hari itu orang yang pergi pengajian ramai. Lagipula ada datang orang tua santri yang anaknya pergi mengaji di situ,” ujarnya, lagi.
Tak lama kemudian terdengar rintihan Usman dari dalam rumah. Setelah itu Usman meloncat dari jendela, lalu berlari ke arah kerumunan orang yang digiring tentara tadi. Ia sudah babak belur. Saat Usman lari, Bantaqiah sempat melihat ke arah putranya itu. Ia hendak menghampiri putranya, tapi dicegah tentara. Setelah itu Bantaqiah ditembak.
Ada tiga tentara yang berada di dekat Bantaqiah sebelum ia ditembak.
“Di sebelah selatan satu orang, di depan satu orang , sebelah barat satu orang,” kenang Abdul Salam.
Tentara yang menembaknya yang berdiri di selatan.
“Waktu itu saya masih di tangga balai, jadi kan nampak semua. Setelah itu saya baru loncat ke kerumunan orang yang sedang tiarap di depan balai,” kisahnya.
“Kalau dibilang kami simpan senjata, waktu itu kalau ditembak pasti kami balas tembak,” kata Abdul Salam, lagi.
“Walaupun tidak kena semua, satu orang pasti kena,” sahut Hasanuddin.
Setelah menembak Bantaqiah, para tentara itu mengarahkan moncong senjata mereka kepada orang yang sudah berkumpul tadi.
“Sebelum ditembak ke arah kami, ada bunyi keras tapi entah apa itu. Lalu peluru mulai ditembak, kemudian bunyi lagi yang keras, lalu menembak lagi. Ini terjadi sampai tiga kali, setelah itu mereka mundur sampai keluar dayah,” tutur Abdul Salam.
Saat itu pula Abdul Salam memutuskan lari lewat belakang pesantren. Tentara bukannya tidak tahu. Tapi pepohonan menghalangi pandangan mereka. Ia bertahan dua hari di dalam hutan.
Tapi Hasanuddin termasuk yang tak bisa melarikan diri.
“Kami yang yang tinggal disuruh buka baju, celana, pokoknya yang tinggal celana dalam saja, lalu disuruh tiarap. Semua baju dan kartu identitas lain dibakar, begitu juga dengan kitab-kitab, surat-surat milik dayah,” kata Hasanuddin.
“Sebelumnya kami dibariskan. Yang ada luka disuruh naik mobil. Katanya mau dibawa ke Aceh Tengah, mau diobatin. Kebanyakan bukan orang Beutong,” lanjut Hasanuddin.
Menurut Hasanuddin, korban yang meninggal saat itu dikubur dalam komplek dayah.
Mayat-mayat mulai dikumpulkan di siang hari. Tentara memanggil penduduk desa Blang Pu’uk untuk menggali dua lubang. Satu di belakang balai pengajian dan satu lagi tak jauh dari belakang rumah yang sekarang ditempati Malikul.
Jenazah berjumlah 31 orang, yang terdiri dari 11 orang penduduk Beutong Ateuh dan 20 orang dari luar Beutong. Tujuh orang dikubur di lubang belakang balai. Sedangkan 24 jenazah termasuk Bantaqiah dimasukkan dalam lubang di belakang rumah. Tanpa dishalatkan, tanpa dikafankan sesuai ajaran Islam.
Setelah itu tentara mencari senjata yang diduga disimpan di dalam meunasah yang berada dekat balai pengajian. Namun, mereka tak menemukan sepucuk senjata pun.
Para santri yang dibawa tentara ke Takengon, Aceh Tengah, juga tinggal nama. Beberapa hari setelah kejadian itu, jasad mereka ditemukan di dasar jurang di Kilometer 7 dan 8. Jumlahnya, 25.
Hanya seorang yang berhasil melarikan diri. Tapi ia meninggal karena kelelahan. Keseluruhan korban yang meninggal dalam peristiwa itu adalah 57 orang.
TEUNGKU Iskandar sedang tidak di Beutong Ateuh saat gurunya meninggal. Adiknya yang sedang mengaji di situ ikut jadi korban.
“Kata orang di sini, dia dikubur hidup-hidup. Padahal saat itu dia hanya pingsan setelah dipukul tentara dan hanya tertembak di kakinya,” tutur Iskandar.
“Saat itu dia haus dan minta air, tapi tentara itu menjawab agar minta pada Hasan Tiro,” lanjutnya.
Hasan Tiro adalah pemimpin tertinggi GAM, yang sampai kini masih berada di Swedia.
Kini kejadian buruk itu tinggal kenangan. Dayah Babul Mukarramah tak ramai seperti dulu. Rata-rata santri yang datang untuk keperluan “berobat”.
“Sekarang ada dua orang yang masih terpasung. Yang satu agak terganggu akalnya, yang satu dulu suka mengkomsumsi sabu-sabu,” kata Nurliah kepada saya.
Hanya ada satu santri perempuan di sini. Ia tinggal di rumah Nurliah, sedangkan santri laki-laki tinggal dekat balai. Mereka belajar tanpa dipungut biaya. Menurut Nurliah, mereka berasal dari keluarga yang kurang mampu. Mereka mau mengaji saja sudah membuat Nurliah senang.
“Beberapa bulan yang lalu bahkan ada yang mengantar anaknya berjalan kaki ke sini dari Takengon, kan sayang (tidak tega) kalau diambil bayaran,” katanya.
Di rumah Nurliah ada tiga kamar tidur. Saya tidur sekamar dengan Nurliah. Fatimah tidur dengan anaknya. Kamar ketiga ditempati santri perempuan itu.
Sebelum lelap malam itu, saya bercakap-cakap dengan Nurliah. Tapi tak sepatah kata pun terucap dari mulutnya tentang kematian sang suami.
Saya sempat berziarah ke makam Teungku Bantaqiah dan santrinya sebelum meninggalkan Beutong Ateuh. Fatimah memberi saya beberapa buah labu Jepang sebagai oleh-oleh. Ia menyarankan saya mandi di sungai Beutong sebagai tanda kedatangan saya ke situ.
Saya cuma mengucapkan terima kasih. Air sungai berwarna kuning, bekas hujan semalam. Jalan juga becek. Hari ini banyak mobil ke Beutong Bawah untuk membawa sayur, buah dan lain sebagainya. Kebanyakan dari Takengon. Jarak Beutong Bawah ke Takengon kurang lebih lima jam kalau melalui Beutong Ateuh. Mobil bergerak pelan karena jalan licin.
Sampai di Beutong Bawah suasana sangat ramai. Hari Rabu merupakan uroe ganto atau hari pekan. Hari itu banyak barang dagangan yang dijual, mulai dari pakaian, mainan anak-anak dan barang-barang yang jarang dijual di hari biasa.
Saya berhenti di depan rumah Abdul Muthalib. Setelah pamit kepadanya, saya naik labi-labi ke Meulaboh dan meneruskan perjalanan ke Banda Aceh.
KASUS pembantaian Bantaqiah dan santrinya atau yang lebih dikenal dengan tragedi Beutong Ateuh akhirnya digelar di pengadilan koneksitas pada 19 April 2000.
Dua puluh lima orang jadi terdakwa. Namun, tersangka utama, Letnan Kolonel Sudjono, tak bisa diadili. Ia menghilang beberapa hari setelah kejadian Beutong Ateuh.
Pengadilan memanggil Manfarisah, istri kedua dari Bantaqiah, sebagai saksi. Tapi Manfarisah tidak menjawab panggilan itu.
Menurut Abdullah Saleh, ada beberapa hal yang membuat Manfarisah tak datang. Ia adalah kerabat Bantaqiah. Kakeknya dan kakek Bantaqiah bersaudara kandung. Saat ini Abdullah Saleh menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.
“Ya, ada pihak yang tidak menginginkan pelaku diadili. Jadi memprovokasi, mendekati dan menghalangi agar keluarga Teungku Bantaqiah tidak menghadiri sidang,” tuturnya.
Abdullah tiba di Beutong Ateuh tiga hari setelah pembantaian tersebut. Ia membongkar semua kuburan untuk melaksanakan fardhu kifayah. Tapi karena mayat sudah mulai membusuk dan tidak bisa diangkat lagi, ia hanya menyiram kedua kuburan tadi dengan air dan menutupnya dengan kain kafan sebelum tanah ditimbun kembali.
Keputusan akhir dari pengadilan koneksitas diputuskan pada tanggal 17 Mei 2000. Sebelas terdakwa dijatuhi hukuman delapan tahun enam bulan. Tiga belas orang kena hukuman sembilan tahun penjara. Satu orang divonis 10 tahun. Walau pelaku utama tidak diadili, tapi Abdullah cukup bersyukur.
“Ini sudah pekerjaan besar dan sukses, karena berhasil dibawa ke pengadilan. Masih banyak kasus pelanggaran lain yang belum diadili,” katanya.***
*Khiththati. Tulisan ini pernah dimuat di Aceh Feature. Alumni Sumberpost.
Silakan Klik untuk membaca bagian pertamanya