Sumberpost.com – Di bawah pohon Tanjung dalam pekarangan kampus IAIN Sumatera Utara, seorang pria dengan baju batik kilat dan celana coklat berdiri. Ia mengenakan tudung yang biasa digunakan oleh petani, dengan sedikit memodifikasi: menambahkan karet di sisi kiri-kanannya. Lelaki tua itu membawa ontel yang sudah aus, hanya menyisakan warna murni besi, abu-abu. Dua hari ini, dia tidak sempat mencucinya. Namun tetap terlihat tanpa noda.
Berdagang es seperti bagian penting dalam hidupnya. Pria dengan kumis tipis, beruban, bernama Tukimo Hadi Sucipto itu, sudah memulai usaha es krim kelilingnya sejak tahun 1977. “Dulu saya jualan sebelum ada IAIN di sini,” katanya sambil meladeni mahasiswa. Tangannya seakan tak sempat beristirahat lantaran banyaknya pembeli kala itu.
Bersama sang istri, Sukinem, pria kelahiran Sukoharjo, November 1953 itu, bersama-sama mencari penghasilan dari dagang. Ia berjualan es, sedang sang istri usaha jamu keliling. Menurutnya, dengan kondisi sama-sama bekerja maka akan lebih mudah untuk memilah, mana uang untuk kebutuhan sehari-hari dan untuk disimpan.
Usaha Tukimo tak selalu berjalan mulus. Pada tahun 1978 sempat meninggalkan es dan beralih menjual Bakso selama setahun. Ia juga sempat dihentikan izin berjualan di dalam lingkungan kampus. “Dulu kan di sini banyak yang berjualan di dalam (kampus),” katanya. “Sedang ramai pedagang, jangan masuk dulu ya,” ungkapnya mencontohkan apa yang dikatakan oleh satpam kala itu. Setelah itu ia diberikan izin untuk berjualan kembali di lingkungan kampus.
Di kalangan mahasiswa, ia sangat disukai. Selain es-nya yang enak dan terbilang ekonomis, sikap ramah dan sering melakukan canda-canda kecil membuat mahasiswa betah berlama-lama dengannya. Bahkan beberapa mahasiswa langganannya, juga berani memberi joke-joke kecil pencair suasana. Tak hanya di kalangan mahasiswa, Tukimo juga sangat dikenal oleh para pegawai dan dosen. “Malahan jika beberapa hari tak keliatan di kantin, saya dibilang sok sama mereka. Kalau mahasiswa saya nggak pergi sehari udah ditanyain,” katanya diiringi tawa lepas.
Berbagai macam panggilan disematkan oleh mahasiswa kepadanya. Mulai dari lelek, wak, pak, hingga kakek pun menjadi santapan telinganya tiap pagi hingga sore saat pelanggan ingin membeli. “Iya tapi kalau orang medan sini ya panggilnya wawak, kan,” ungkapnya. Tak mau kalah ia juga memberikan panggilan-panggilan khusus pada mahasiswa, seperti butet.
Omzet kotornya setiap hari tak kurang dari Rp 400 ribu. Dan seperti biasanya, setiap sekitar pukul 3 sore, Ia melangkahkan kakinya ke rumah. Dagangannya selalu habis dinikmati mahasiswa dan pegawai kampus. Untuk harga jual, ia membagi menjadi tiga level. Level pertama Rp 1000 berukuran gelas setinggi ibu jari. Level kedua Rp 2000 berukuran gelas setinggi jari telunjuk orang dewasa. Dan level ketiga Rp 2500, es yang dimasukkan ke sisi dalam roti bulat.
Pada tahun 1999, karena sering sakit akibat kelelahan, pria asal Solo itu tidak membuat es sendiri lagi. Ia lebih Mimilih mengambil es dari sepupunya, Sumini. Itu sangat meringankan pekerjaannya. Ia hanya perlu mengambil es dan menjualnya.
Sejak pagi hingga siang, cuaca terus mendung. namun hujan tak kunjung turun. Seakan Tuhan tahun, Tukimo sedang berjualan untuk kebutuhan sehari-harinya. Menahan tangisan alam hingga pria tua itu tiba ke rumah sore harinya. Ia adalah pria yang dikenal seantero kampus, ramah, murah senyum dan suka bercanda. Itu pemikatnya.[]
*Rayful Mudassir