Oleh : Nita Juniarti
Mata kuliah ilmu kalam terasa membosankan dengan suasana memanas saat diskusi di tambah cuaca yang jauh dari bersahabat.
Sang dosen mengabsen cepat namun tiba-tiba lantai bergejolak seolah-olah raksasa yang menahannya selama ini sedang ngambek dan ingin melepaskan pikulannya.
“Gempa,” teriak Khairina terlihat panik.
“tenanglah, tidak akan terjadi apa-apa,” kata sang Dosen santai.
“Gempa pak,” Khairina berusaha bangkit dari tempat duduknya dan berusaha keluar.
“Ya sudah, keluarlah semua. Hati-hati !” pesan Sang Dosen semestara Ia sibuk mengabsen.
Lalu tanpa di komando semua mahasiswa turun bagai semut menjejaki jalan menuju makanan.
Di halaman depan pante kulu, orang-orang sudah penuh. Ada yang berteriak dan menangis meratap bahkan ada yang lemas hampir pingsan. Trauma 2004 seolah tak lekang oleh waktu meski sudah hampir 8 tahun musibah yang membuat geger seluruh Aceh bahkan dunia Internasional itu berlalu.
“Nita, takut,” ujar Risky. “Kemanapun kita pergi kita akan mati meskipun masuk kelubang jarum, lalu kenapa harus takut dan khawatir?” Entah dari mana Aku mengutip kata-kata itu hingga selancar itu keluar dari mulutku.
Mobil salah satu dosen terombang ambing sesuai dengan ritme yang diciptakan gempa. Ada juga yang langsung mengendarai Motor saat gempa masih berlangsung. Bermacam-macam apresiasi gempa yang terjadi. Saat azan shalat Ashar berkumandang, di jalan menuju ke arah Blang Bintang di padati orang-orang.
Orang-orang yang entah berapa persen dari penduduk kota Banda Aceh berlari menghindari maut. Tanpa pengetahuan kenapa mereka harus lari dan kemana mereka akan lari yang ada di fikiran mereka hanya “LARI”.
“Mau kemana?” tanyaku pada Afzal yang kebetulan juga lewat, diakibatkan antrian yang panjang dan kemacetan yang tak berujung.
Afzal hanya menganguk tak mengerti kenapa Ia pergi dan kenapa Ia lari, Aneh.
“Disini saja dulu Nit,” Muntasir memberi saran.
“Harus ada alasan yang jelas, kenapa Kita lari,” ujar Dosen Kalam.
Kami menunggu dan tak lepas-lepas mata dari orang-orang yang terjebak macet akibat melarikan diri dari maut.
Jam menunjukkan hampir jam 5 saat orang-orang berlari sambil berteriak “Air laut naik” dan kami sesegera mungkin mengambil posisi akan berlari di atas motor masing-masing semacam orang akan bertanding balapan liar di jalan raya. orang-orang panik, semuanya berlarian. Tak ada yang peduli apakah mereka menggunakan jilbab atau malah tidak menggunakan baju. Orang-orang berlari sambil melihat kebelakang seolah-olah Tsunami yang menghitam setinggi pohon kelapa pada 2004 lalu sekarang menjelma di depan mereka.
“Allah………Allah,” teriakan itu terdengar membanana dan berulang-ulang.
Kemacetan panjang tak dapat di hindari meski mereka semua berusaha lari menghindari maut namun mereka tidak mengurangi populasi pengurangan kemacetan. Lantas apa yang bisa diperbuat jika maut benar-benar datang? entahlah.
Penulis adalah salah seorang Mahasiswi UIN Ar-Raniry. Seorang yang bertekat suatu hari nanti akan membentuk tim Sahibul Rihlah. Pernah aktif di Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) Sumberpost. Menurutnya ini merupakan tulisan pertama setelah lama vakum dari dunia tulis menulis.