2 Januari 2014 Oleh Redaksi Off

Mahasiswa Jangan Apatis

oleh :Herman Efendi

Sebagai mahasiswa luangkanlah waktu untuk berhenti sejenak, kemudian bertanya pada diri sendiri, apa sesungguhnya yang dicari? Terlebih bila kita telah benar-benar selesai menjalani itu semua, toga sudah terpakai, gelar sudah diraih, lantas apa yang kita cari? Apakah kita hanya akan berakhir menjadi buruh intelektual pada pemilik modal ?

Jika sekarang kita masih menjadi mahasiswa, tinggalkan sikap pragmatis dan hedonis. Kita adalah tumpuan harapan bagi masyarakat yang sudah jenuh dengan keadaan. Kita harus kembali menjadi agen perubahan, seperti yang diharapkan saat pertama kali kita menginjakkan kaki di kampus tercinta. Cobalah mengangkat kepala dan melihat ke sekitar, betapa banyak hal memerlukan perubahan. Bukankah kita semua merasakan ada sesuatu yang salah dengan sistem yang ada? Komersialisasi pendidikan, hukum yang lemah, meloloskan yang besar hanya menangkap yang kecil, korupsi yang sudah mengakar hingga berkarat, ekonomi liberal terus merajalela yang menekan rakyat kecil, degradasi moral pada aspek sosial, dan masalah-masalah lain yang mengganggu seperti kriminalitas, dan lain sebagainya.

Mari menjadi mahasiswa ideologis. Mahasiswa visioner yang memiliki integritas dengan didasari pada keimanan kepada Allah swt. Dengannya kita akan merubah sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan Sunnah. Mahasiswa revolusioner yang mengubah sistem kapitalisme saat ini dengan aturan-aturan yang bersumber dari Sang Khalik. Hingga suatu saat umat manusia akan keluar dari problematika kehidupan yang menekan melalui jalan Islam. Dengan tegaknya Daulah Khilafah Islamiyah seperti yang dijanjikan Nabi saw.

PAHAM HIDONIS: yang satu ini rupanya sudah banyak menyentuh lini kehidupan saat ini, termasuk pada dunia pendidikan, sebut saja kampus. Hedonisme tumbuh subur didalamnya dan menjelama menjadi budaya kekinian yang banyak dianut oleh mahasiswa.

Gaya hidup hedonis membuat para mahasiswa perlahan telah banyak mengalami disorientasi. Hingga pada akhirnya hal-hal personal akan moral terposisikan pada urutan yang tidak diutamakan. Salah satunya, terlihat dari cara berpakaian seorang mahasiswa pendidikan (Universitas Islam Negeri) atau sebut saja mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang mulai tidak mencerminkan kepribadian bahwa dirinya sebagai seorang calon pendidik(Seorang Guru). Berbeda dengan mahasiswa kampus umum (Research University) yang dicetak bukan untuk menjadi seorang pendidik atau guru.Tentu dalam hal ini penampilan seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan jelas berbeda, setidaknya ketika ia sudah masuk dalam lingkungan akademik seharusnya bukan gaya-gaya artis yang sedang trend, perokok, rambut gondrong, dan sejenisnya, sekali lagi tentang calon seorang pendidik.

Dominasi mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk menjadi pendidik atau guru, merupakan teladan yang dibentuk untuk menjadi model of role bagi anak didiknya nanti di bangsa kita, Aceh khususnya. Dan itu perlu pembiasaan yang mencerminkan sebuah pendidikan. Lalu kita soroti saja, banyak penampilan kepribadian mahasiswa calon pendidik, rata-rata begitu fashionable, tak ubahnya muda-mudi yang hendak pergi ke Pasar Aceh. Lalu apakah ini bentuk berontak mahasiswa yang didukung dengan arus perkembangan zaman?

Mind Set Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan: Pola pikir mereka yang sepertinya sudah ter-set bahwa hidup hanya sekali, maka nikmati. Maka  pemikiran dasar itulah sesungguhnya menciptakan pola hidup hedonis, dan pola-pola lain yang memunculkan perilaku tersebut. Pola pergaulan, pola pikir, dan pola berkomunikasi yang di sampaikan diartikan sebagai bentuk paham kesenangan, bukan sebuah aturan yang terkekang untuk memaksa mereka, yang pada akhirnya lupa hakikat sebagai pendidik bangsa.

Kampus yang notabenenya mencetak seorang akademisi, ketika dibenturkan dengan kenyataan, yakni lewat tampilan pakaian, cenderung jauh dari pondasi yang terbangun dari pendidikan yang ada di kampus dan lingkungan pendidikan. Para mahasiswa itu terjangkit virus-virus konsumerisme yang dipicu maraknya pusat perbelanjaan. Tidak bisa dipungkiri bahwa kecendrungan mengikuti tren mutakhir. Membuat mereka hedonisme.

Jika ia calon pendidik/guru tentu pakaian mereka menjadi cerminan kepribadiannya. Boleh jadi kelak keteladan itu hanya sampai pada lingkungan formal saja sekolah, saat mereka mengenakan titel “S.Pd.I” seorang pendidik.  Lalu bagaimana anak muridnya nanti ketika melihat gurunya di luar tidak mencerminkan seorang pendidik ? ini menjadi kekhawatiran ketika hal ini menjadi budaya baru dalam dunia pendidikan, perilaku para calon pendidik itu akan ditiru habis-habisan oleh para penerus generasi bangsa Aceh.

Setidaknya itulah yang saya tangkap, tanpa bermaksud untuk mencela siapapun. Walau begitu memang tidak semua mahasiswa terjangkit virus hedonis tersebut, namun alangkah baiknya jika calon pendidik memberikan contoh dan perilaku yang baik. Setidaknya kepada junior     kelas untuk kemudian ke masyarakat. Kualitas sebuah bangsa dapat dilihat dan diketahui dari kualitas sumber daya manusia yang hidup di dalamnya. Dan kualitas sumber daya manusia tersebut sangat ditentukan oleh kualitas guru yang membimbing dan mengarahkan. Gurulah yang mencetak manusia sehingga mampu berprestasi dan memberi manfaat bagi masyarakat dan lingkungan di sekitarnya. Dengan demikian sangat wajar bila guru mendapatkan perhatian karena tingginya keutamaan yang mereka miliki.

Al-Ghazali menyebut guru sebagai orang besar di semua kerajaan langit. Ia mengumpamakannya seperti matahari yang menerangi dan memberikan kehidupan bagi umat manusia. Dengan ilmunya guru mengarahkan manusia untuk mengetahui yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk sehingga mereka dapat meraih kebahagiaan dunia dan kenikmatan akhirat. Guru juga laksana minyak wangi. Setiap manusia pasti menyenangi minyak wangi. Seorang guru itu wangi dengan ilmunya dan menyebarkan wewangian kepada lingkungan yang ada di sekitarnya. Ia menjadi aromatherapi bagi masyarakat yang haus dengan ilmu pengetahuan dan nasehat yang berharga.

Rasulullah sendiri menyebut dirinya sebagai guru. Beliau mengajari umat Islam untuk terbebas dari gelapnya kebodohan menuju terangnya cahaya kecerdasan. Sedemikian tingginya keutamaan seorang guru sampai beliau bersabda “Barang siapa yang mempelajari satu bab dari ilmu untuk diajarkan kepada manusia, maka ia telah mendapat pahala tujuh puluh orang shiddiq (orang yang benar dan membenarkan beliau seperti Abu Bakar As-Siddiq)”.

Dalam hadits lain Rasulullah juga memperlihatkan kecintaannya kepada orang yang mengajarkan ilmu. Rasulullah diriwayatkan ke luar rumah dan menyaksikan dua pertemuan. Pertemuan pertama orang-orang sedang berdoa dan mendekatkan diri kepada Allah. Dan di pertemuan kedua orang sedang mengajarkan ilmu. Rasulullah memilih duduk pada pertemuan yang kedua. Demikianlah betapa tingginya keutamaan seorang guru di mata Rasulullah sehingga sepatutnya kita pun mengikuti jejak beliau.Wallahu’alam bishowab.

Mahasiswa Jurusan Manajemen Pendidikan Islam

Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan UIN Ar-Raniry Banda Aceh