3 April 2014 Oleh Redaksi Off

JPA Desak Seluruh Elemen Jaga Pemilu Damai

Sumberpost.com | Banda Aceh – Jaringan Pemilu Aceh (JPA) menggelar konferensi pers di KIP Center Aceh pada Kamis (3/4) pukul 09.30 WIB. JPA yang terdiri dari Peneliti Aceh Institute, Forum LSM Aceh, bersama Achehnese Civil Society Task Force (ACSTF) ini membahas peta pelanggaran dan kekerasan Pemilu Aceh di tahun 2014.

Pemilu DamaiTim JPA sendiri telah melakukan pemantauan di sejumlah daerah. Berdasarkan data yang diperoleh dari media massa dan pengaduan masyarakat, JPA  mendapati sejumlah temuan.

“Penyelanggara Pemilu, baik KIP dan Bawaslu belum menjalankan kordinasi secara baik,” kata Direktur Aceh Institute, Chaerul Fahmi .

Ia menilai, antara KIP dan Bawaslu masih memiliki persoalan internal, seperti beberapa rekomendasi dari Bawaslu terkait pelanggaran tidak ditindaklanjuti oleh KIP. Kordinasi yang mandek menyebabkan proses pelaksanaan dan pengawasan Pemilu tidak berjalan sesuai fungsinya.

“Mengenai penyaluran kotak suara ke masing-masing wilayah serta pelanggaran alat peraga, seperti dibiarkan tanpa adanya proses hukum,” jelasnya.

Sementara itu, ACSTF telah memantau beberapa daerah untuk meneliti seberapa tinggi tingkat pengetahuan masyarakat terhadap Pemilu. Mereka mendapati sejumlah pengaduan yang diterima melalui pesan singkat.

“Ada 19 SMS yang diterima, yang tertinggi adalah pengaduan mengenai adanya politik uang,” ujar Ketua ACSTF Juanda Jamal. Hal ini terjadi karena minimnya partisipasi aktif masyarakat terhadap pemilu.

“Politik uang lahir karena masyarakat apatis,” tambah Chaerul.

Untuk menciptakan komunikasi yang sehat antara caleg dan para pemilih. ACSTF berencana mengadakan Forum Konstituen, dimana forum ini mempertemukan Caleg dan Masyarakat secara langsung untuk saling berdiskusi.

Pelanggaran Dan Kekerasan Dalam Pemilu

Lebih lanjut, JPA mendapati berbagai bentuk pelanggaran pemilu. Seperti kampanye hitam, pelanggaran alat peraga, dan sengketa hasil. Pelanggaran yang paling banyak terjadi adalah intimidasi dan kampanye hitam.

“Yang tertinggi terjadi di Aceh Utara, yakni 22 kasus. Banda Aceh berada dibawahnya, sebanyak 20 kasus,” papar Chairul Fahmi.

Sedangkan tindak kekerasan terparah dalam kurun waktu satu bulan terakhir adalah serangan terhadap kantor dan fasilitas parpol maupun caleg dari parpol. Sudah tercatat 17 kasus yang terjadi. Lalu kekerasan terhadap individu yang mencapai 8 kasus. Kekerasan terakhir terjadi di Bireuen yang tidak hanya merusak fasilitas, tetapi juga menelan korban nyawa bayi berusia 1,5 tahun.

Tercatat 54 kasus kekerasan terjadi sepanjang bulan Maret. Informasi yang bersumber dari database Aceh Institute dan Forum LSM Aceh ini menyebutkan, kabupaten Aceh Utara menempati ranking  tertinggi dengan 26 kasus, disusul kabupaten Aceh Selatan seyak 11 kasus.

“Melihat fakta yang terjadi di lapangan, menjelang hari pemilihan merupakan fase yang sangat krusial dan rawan. Karena itu harus terus dikawal oleh semua pihak,” kata Chairul. Atas temuan tersebut, JPA menyampaikan beberapa poin kesimpulan dan rekomendasi:

  • JPA Mendesak polisi agar mengungkap aktor intelektual dibalik aksi penembakan yang telah menelan korban rakyat sipil.
  • Pemerintah Daerah harus netral dan tidak memihak. Membangun komunikasi lintas politik tidak cukup hanya dengan deklarasi damai saja, tapi harus ditindaklanjuti dengan komunikasi yang konstruktif.
  • Peran ulama dan tokoh agama sangat penting untuk mendidik massa di tingkat akar rumput agar tidak mudah terprovokasi.
  • KIP dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu harus berkordinasi secara optimal.