16 Mei 2015 Oleh Abdul Hadi Off

Belajar dari Murid SD Kanada

Lazimnya pertemuan pertama perkuliahan, antara dosen dan mahasiswa biasanya akan saling ber-ta’aruf dan merumuskan kontrak perkuliahan. Namun lebih dari itu, dosen saya untuk mata kuliah Kimia Dasar turut berbagi pengalamannya ketika mengikuti pelatihan guru di Kanada. Disinilah yang memantik perasaan saya. Diceritakan dosen, keadaan di Kanada sungguh berbeda dengan keadaan di tempat “kita”.

Nama beliau Sabarni, lulusan Pendidikan Kimia UIN Ar-Raniry. Telah menyelesaikan pogram Magister Pendidikan Kimia di Universitas Negeri Medan pada tahun 2006.

***

Pasca tsunami, mengawali ceritanya. Negara-negara internasional banyak menaruh perhatiannya terhadap Aceh. Selain perhatian dalam bentuk bantuan kebencanaan, perhatian juga mengalir dalam dunia pendidikan. Pendidikan adalah manifestasi terbesar dalam kebangkitan sebuah bangsa. Maka sebab itu dianggap hal sakral.

Kanada termasuk negara yang ikut andil dalam hal ini. Negara bagian Amerika Utara ini merekrut dosen-dosen di Aceh untuk dibekali pelatihan keguruan di Kanada.

Masih dalam pelatihan, Sabarni di Kanada mengajar murid kelas III Sekolah Dasar.

Disini Sarbani menemukan hal yang berbeda dengan yang ada di Indonesia. Ruang sekolah tidak difasilitasi meja dan kursi, mereka belajar dilantai. Sedangkan murid yang keterbelakangan, tidak dipisahkan, juga tidak ada Sekolah Luar Biasa (SLB).

Murid yang berkebutuhan khusus dibiarkan bergaul dengan lingkungan didampingi guru khusus. Ini bagian dalam upaya mendidik, mereka dibimbing untuk berinteraksi dan belajar langsung dengan lingkungan normal.

Karena belajar di lantai, sepatu dilepas ketika hendak masuk ruangan. Terlihat, mereka antri dengan tertib, tidak ada yang riuh, berdesak-desakan apalagi saling menyerobot. Sepatu tertata rapi di rak samping pintu masuk ruangan.

Ketika di kelas, siswa akan menanyakan materi yang kurang ia pahami saat di persilahkan bertanya. Pun jika yang angkat tangan lebih dari satu, maka semua siswa akan mendengar temannya berbicara.

Apabila seorang murid masih kurang paham terhadap jawaban yang di berikan, ia akan menyambangi guru tersebut setelah kelas selesai dan meminta penjelasan lebih lanjut.

Mengenai sistem pembelajaran, langsung di orientasikan terhadap lingkungan sekitar. Misalnya dilingkungan sekolah ditanami wortel, wortel itu akan dijadikan salah satu objek pembelajaran tentang tumbuhan.

***

Dari sepenggal catatan di atas dapat kita lihat bagaimana budaya murid kelas III SD disana. Mulai dari budaya antri, menghargai ketika orang berbicara dan lainnya. Terlihat budaya menghargai sesama begitu kental dengan mereka. Itu murid III SD.

Jika kita bandingkan dengan Indonesia, kondisinya amat berbeda. Lebih miris, hal-hal yang tak sewajarnya ada masih terpelihara rapi di pelajar tingkat perguruan tinggi. Dimana budaya gaduh saat sesi antri, gaduh saat dosen berbicara, ketika final atau tes berebut posisi aman dan membuka catatan masih mewarnai corak pendidikan kita.

Jujur saja, saya kehabisan akal berpikir bentuk clossing terhadap tulisan ini. Menurut saya mengubah tabi’at bukan hal yang mudah. Keluarga, terutama orang tua sesungguhnya adalah orang yang berdiri di garda terdepan dalam hal ini.

Peran mendidik bukan hanya sedekar berceramah, melihat corak moralitas kekinian pendidikan harus merembes ke dalam bentuk pengawasan dan strategi yang lebih efektif.

Kita harapkan agar pendidikan menjadi dirinya sendiri dan harus mendidik anak bangsa, yang berbasis intelektualitas dan moralitas yang anggun. Semoga!

Penulis bernama Muhammad Ghafar, mahasiswa Jurusan Pendidikan Biologi Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry.

Ilustrasi : internet