10 Agustus 2015 Oleh Abdul Hadi Off

Pengabdian, Pengalaman yang Mengajarkan

KPM (Kuliah Pengabdian Masyarakat), mata kuliah sebanyak empat sks (satuan kredit semester) yang wajib diambil oleh semua mahasiswa di UIN Ar-Raniry. Ada beberapa nama berbeda dengan KPM, namun intinya ialah bentuk pengabdian mahasiswa kepada masyarakat sebelum lulus kuliah.

KPM kampus Ar-Raniry termasuk lama karena mengambil waktu 45 hari di desa. Ada tiga jalur KPM di kampus ini, yaitu KPM-PAR berbasis penelitian dan pengabdian, KPM-Reguler berbasis pengabdian, dan KPM Mandiri juga berbasis pengabdian tapi tidak dibiayai oleh kampus.

Pada KPM-PAR, hanya diterima 100 orang dengan seleksi yang ribet. Kebetulan penulis mengikuti KPM ini. Di tahun 2015, mahasiswa yang mengikuti KPM-PAR dikirim sebagai angkatan keenam di Desa Maheng, Kecamatan Kuta Cot Glie, Aceh Besar.

Sayangnya, pada KPM jenis ini kita tidak bisa memilih desa mana yang akan ditempati karena ditentukan kampus. Dari 100 orang mahasiswa KPM-PAR, dibagi menjadi 20 kelompok. Lima orang dalam satu kelompok dan menempati satu desa.

Hari-hari pertama pengabdian dilalui dengan seremonial seperti perkenalan dan pendekatan dengan sesama kelompok KPM dan warga sekitar. Ajaibnya kami ditempatkan di dua desa, yaitu Maheng dan Lamcoet. Kedua desa ini berada dibawah satu kepala desa.

Seiring waktu berlalu, kedekatan antar mahasiswa yang ikut KPM semakin terjalin. Ketika ada masalah diantara kami, seorang teman kami dari jurusan konseling mampu memberi solusi. Hingga selesai KPM, kelompok kami digelari sebagai yang paling kompak diseluruh kecamatan.

Selama pengabdian, jika mau mandi saya harus ke rumah pak geucik (kepala desa) yang jauhnya lima belas menit berjalan kaki, untuk nyuci baju juga sama. Desa Lamcoet, tempat mahasiswa perempuan KPM tinggal adalah desa yang kekurangan air. Bahkan sawah saja tadah hujan.

Laki-laki tinggal di Meunasah Maheng. Mereka tidur beralas lantai selama 45 hari. Soal makan jangan ditanya, pasti kalian tidak pernah mendengar telur ditogein kan? Waktu KPM kami pernah menyantap telur di taruh toge untuk sarapan, hahaha.

Selama KPM, untuk penelitiannya kami mencoba membangun kembali Taman Pendidikan al Qur’an (TPA) di Desa Maheng dengan menambah les bahasa inggris dan tarian tradisional Aceh. Untuk pengabdiannya, selain ikut berpartisipasi disemua kegiatan masyarakat, kami mengajarkan ibu-ibu membuat kue, seperti bronis, permen asam jawa, dan kue kering cococrans.

Orang-orang desa menyambut kami dengan baik dan peduli. Ketika grup tarian hasil ekstrakurikuler TPA tampil di Aceh TV, hampir seluruh penduduk desa menonton dan sejak saat itu mahasiswa KPM Desa Maheng menjadi “primadona” yang selalu ditunggu-tunggu hadir ke Menasah.

Dua malam sebelum KPM berakhir, karena kami punya dua desa jadi harus membuat perpisahan di dua desa tersebut. Acaranya sederhana, hanya penyerahan hadiah untuk semua penari, cindera mata untuk pengajar TPA yang akan meneruskan TPA, dan pemberian hadiah untuk pemenang di MTQ kecamatan yang diadakan bersama semua teman-teman KPM-PAR UIN Ar-Raniry.

Malam itu, suasana mengharu-biru. Teman-teman dan warga desa meneteskan air mata. Ada agenda maaf-maafan juga. Bener-bener terharu banget. Bahkan sangking terharunya, malam terakhir sebelum kami pulang, beberapa pemuda dari dua gampong datang ke rumah khusus bercakap-cakap sambil minum-minum. Kami tidak tidur hingga dini hari. Teman-teman cowok tidur setelah shalat subuh. Benar-benar gokil.

Semua yang terjadi pada masa-masa KPM adalah pengalaman berharga. Ada kenangan yang sulit dilupakan. Khususnya saya sendiri.

Saat itu setelah latihan menari, anak-anak yang jumlahnya 23 orang mengajak saya dan teman-teman untuk pergi ke Waduk Desa Maheng. Sebenarnya semua orang diajak tapi tidak ada yang mau ikut karena tempatnya jauh dan perjalanannya melelahkan. Karena saya memang hobby jalan-jalan, jadi ayuk mari ketika diajak.

Desa Maheng dikelilingi perbukitan, juga sawah tadah hujan dan hutan belantara. Masyarakat Desa Maheng umumnya bercocok tanam padi, sehingga sangat membutuhkan air. Masyarakat harus ke desa tetangga untuk mandi, mencuci atau hal lain yang berkaitan dengan air.

Kebutuhan air ini membuat pemerintah membangun sebuah waduk yang tidak seluas waduk keliling. Perjalanan dari desa ke waduk penuh rintangan, karena hanya ada jalan tikus dan harus melewati satu anak sungai.

Harus diakui perjalanan menuju ke waduk, indah tidak terkira. Dari Desa Maheng ke waduk jika melewati persawahan membutuhkan waktu satu jam berjalan kaki dan 30 menit menggunakan sepeda motor.

Selama perjalanan menuju waduk, kami beberapa kali berhenti di Jamboe (pondok). Sawah dan gunung menjadi panorama selama perjalanan. Setelah sampai, ada sungai kecil yang bisa digunakan untuk mandi. Letaknya ditengah-tengah waduk.

Setelah mengabadikan beberapa landscape alam yang indah, kami naik dari semen yang mengelilingi waduk tanpa air, dari sini terlihat pemandangan sejuk dan indah. Saat turun dari pembatas waduk, kami sepakat nyebur ke sungai kecil untuk mandi. supaya tubuh yang sudah berpeluh kembali segar.

***

Bagaimanapun, KPM sudah mengajarkan sedikit banyaknya arti kehidupan, menghadapi warga dengan karakter berbeda. Melihat tidak sedikit orang di sana hidup dalam kekurangan membuat kita bersyukur atas kehidupan saat ini.

Selain itu tentu saja ada pengertian lain bagaimana menghadapi dan bekerja sama dengan teman satu kelompok yang berbeda-beda untuk mencapai satu tujuan yang sama.

Salut banget sama temen-temen KPM-PAR Desa Maheng. Semoga kita tetap kompak meski lagi marahan, hehehe. Makasih atas kebersamaannya Dj, Putri, Oji dan Sarah. Salutnya lagi meski KPM uda lama kelar, kita tetap ngumpul bareng. Suddenly, I miss all that moment.

Penulis bernama Nita Juniarti, mahasiswa jurusan Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry angkatan 2011. Tulisan ini didedikasikan sepenuhnya untuk teman-teman KPM-PAR Desa Maheng dan angkatan enam Kecamatan Kuta Cot Glie.