Susahnya Berdagang Kala Konflik Dulu
Sumberpost.com | Banda Aceh – Muhammad Ali (40) duduk sendirian dekat jendela di studio lukis miliknya. Tidak lama, sampai Oyad membawakan beberapa air mineral dan teh dingin yang dibeli dari kedai, jaraknya tidak jauh dari studio tersebut.
Aroma laut begitu kentara tercium di studio berukuran 6×4 meter ini. Ba’da ashar, Ali baru saja menyelesaikan sebuah papan nama yang di order kepadanya. Oyad menjadi partner Ali dalam menyelesaikan pekerjaan. Semua kebutuhan dan peralatan kerja, dipersiapkan Oyad.
Sore itu, lelaki tamatan SMIK Negeri Banda Aceh (sekarang SMIK 1 Mesjid raya, Aceh besar) ini banyak bercerita mengenai kisah hidupnya menjadi pelukis hingga berhasil membangun studio di Jalan Laksamana Malahayati kilometer sepuluh, Aceh Besar.
Ali lahir pada 1975, 24 Februari. Ia sudah melukis sejak duduk dibangku sekolah dasar. Ia sudah menjual lukisan sejak di Sekolah Menengah Pertama. Ia melihat peluang menjual lukisan kaca berbentuk kartu nama dan ucapan selamat lebaran. Hingga Sekolah Menengah Atas, ia masih menjual jasanya.
Setelah tamat, ia tidak melanjutkan kuliah, namun bekerja di toko perabot di Aceh Besar selama dua tahun. Di sana, ia ditugaskan membuat ukiran dan motif-motif. Dua tahun berlalu, baru ia membuka usaha sendiri.
Seingat Ali, saat itu sekitar tahun 1996 atau 1997, ia membuka usaha sendiri, sebagai pelukis. Sayangnya, konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) melawan Republik Indonesia (RI) sedang berkecamuk saat itu.
Kala konflik, Aceh besar menjadi salah satu medan kontak senjata GAM-RI, oleh karenanya banyak pos militer didirikan di wilayah itu.
Kendati demikian, di masa konflik antara GAM-RI dulu, ia pernah beberapa kali melukis untuk militer Indonesia. Banyak militer di daerah tersebut minta dibuatkan lukisan oleh Ali. Mereka banyak memesan lukisan bergambar Mesjid Raya Baiturrahman dan Rumoh Aceh.
“Waktu konflik, yang banyak pesan orang brimob-brimob. Ada yang dari Jakarta, Bandung, Palembang. Mereka pesan lukisan seperti rumoh Aceh, mesjid raya, lukisan ciri khas Aceh untuk di bawa pulang,” kata Ali pada awal Agustus 2015 lalu.
Namun, pengalaman pahit akibat konflik juga ia rasa. Beberapa kali, inspirasi maupun aktivitas melukis terpaksa ia hentikan karena gencatan senjata. Jika sudah terdengar suara tembakan, seorang orang akan was-was.
Pernah juga pada akhir 1990-an, ia hendak melukis di rumah pelanggannya. Ia disuruh membuat sebuah lukisan dinding di rumah tersebut, letaknya di Alue Bili. Belum pun memulai lukisan, gencatan senjata terjadi persis dibelakang rumah pelanggannya. Lantas, Ali langsung pergi saat itu juga menggunakan angkutan jenis L300.
“Udah masuk ke dalam rumah dan mau melukis di dinding. Tiba-tiba ada kontak senjata. Tidak jadi melukis. Jadi disuruh pulang sama orang punya rumah. Waktu itu dengan cat, silop tinggal di sana,” kisah Ali.
Ali kerap berpindah-pindah tempat agar usaha menjual lukisan yang ia lakoni bisa tetap bertahan. Alasan ia berpindah-pindah, karena tidak mendapat tempat yang tenang ketika konflik. Hampir rata daerah di Aceh terjadi gencata senjata. Ia berpindah dari Aceh Besar, Blang Pidie, hingga Sabang.
Di Sabang baru ia menemukan tempat cocok karena tidak ada konflik. Setelah tsunami 2004 silam, Ali kembali menetap di Aceh Besar, tanah kelahirannya. Hingga saat ini, ia masih menetap di sana dan membuka studio sendiri.
Bagi Ali, konflik merupakan masa kelam bagi seniman. Kegaduhan yang diakibatkan, bisa menghilangkan inspirasi melukis. “Karena waktu kontak senjata, hilang konsentrasi,” pungkasnya.
Hal yang sama juga dirasakan Ruslan, seorang pedagang di Banda Aceh. Meski wilayah tersebut tergolong aman, kontak senjata GAM-RI kerap menakuti masyarakat di daerah yang mayoritas dihuni mahasiswa itu.
Ruslan bercerita, keadaan konflik di Banda Aceh kian parah pasca status Aceh dicabut dari Daerah Operasi Militer. Tahun 2001, bunyi tembakan lebih sering terdengar. Ketika ada suara letupan senjata, keadaan disekitar menjadi was-was.
“Ketika bunyi senjata, kami was-was. Tidak cuma pedagang, semua orang sipil juga. Karena takut peluru nyasar,” ucap Ruslan. Ia mendirikan sebuah kios yang menjajakan kebutuhan rumah tangga di Darussalam, Banda Aceh.
Meski kontak senjata terjadi dijarak tiga kilometer dari tempatnya berdagang, tetap saja Ruslan takut, terutama dengan peluru nyasar. Selama konflik, ia membuka tokonya hanya sampai pukul 21.00 WIB saja.
Selain saat berdagang, ia juga takut saat bepergian. Karena aparat sering membuat sweping untuk menangkap orang. Yang ia takutkan, apabila ada surat yang tidak lengkap atau mukanya mirip dengan orang yang hendak ditangkap oleh aparat.
Konflik GAM-RI di Aceh membuat perekonomian masyarakat menurun. Hal itu jelas dirasa pedagang seperti Ruslan. Ia berharap, di masa damai seperti sekarang, masyarakat bisa betul-betul bekerja dan memperbaiki kualitas ekonominya agar tidak terpuruk seperti masa konflik dulu.
Peringatan sepuluh tahun perdamaian Gerakan Aceh Merdeka dengan Republik Indonesia tinggal sebentar lagi. Perdamaian yang ditandai dengan Momerandum of Understanding pada 15 Agustus 2005 di Helsinki mengakhiri konflik panjang GAM-RI.
“Kalau udah damai seperti sekarang, kita sudah bebas buka usaha, tidak takut lagi sama sweeping, mudah untuk belanja, nggak ada rasa was-was, malam pun bisa bergadang,” celoteh Ruslan, lalu menghembuskan asap rokoknya.
Bagi Ali dan Ruslan, konflik menjadi kenangan masa lalu. Asam garam konflik sudah mereka lalui. Ali tidak ingin berpindah-pindah tempat lagi untuk mencari ketenangan. Begitu juga Ruslan, sangat lelah ia ketika harus was-was setiap gencatan senjata terdengar, hampir setiap hari.
“Tahun 2001, istri saya melahirkan. Untung siang, coba kalau malam, nggak sanggup pikir saya dek. Harus keluar malam waktu konflik,” kisah Ruslan malam itu. Namun kini, sepuluh tahun sudah Aceh berdamai.
Abdul Hadi F | ilustrasi : internet