7 Januari 2016 Oleh Abdul Hadi Off

Belajar Mitigasi Bencana dari Negeri Samurai

Keinginan untuk menginjakkan kaki di Negeri Sakura adalah impian kebanyakan mahasiswa yang pernah belajar bahasa Jepang. Begitu juga saya, pemuda kelahiran Banda Aceh. Saya terpilih menjadi perwakilan Aceh untuk program Ship for South East Asian Youth Program 2015 (SSEAYP) yang berlangsung kurang lebih selama dua bulan yang akan berakhir pada bulan Desember 2015.

Melalui program Pertukaran Pemuda Antar Negara (PPAN) dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Republik Indonesia, saya berkesempatan membawa nama Aceh dan Indonesia ke Jepang, Filipina, Vietnam, Laos, Myanmar, dan Malaysia. Kegiatan ini diikuti oleh 330 pemuda-pemudi dari seluruh Asia Tenggara dan juga Jepang.

Saya juga mengikuti Youth Leader Summit (YLS) yang diadakan di Tokyo, Jepang. Tujuannya untuk mendiskusikan beberapa topik masalah internasional. Dalam diskusi itu, saya masuk kedalam group yang membahas mengenai lingkungan dengan tema Natural Disaster.

Diskusi itu membuka pikiran saya tentang lingkungan dan membuat saya lebih peduli tentang  bencana yang ada di sekeliling kita. Saya banyak belajar tentang bagaimana penanggulangan bencana di Jepang dan Asia Tenggara. Jika dilihat dari hazard map, Indonesia masuk negara rawan bencana.

Aceh dan Jepang memiliki potensi bencana yang sama yaitu gempa dan tsunami. Seluruh peserta PPAN juga diajak berkunjung ke pusat control gempa dan tsunami yang disebut “Ringkai Disaster” yang terletak di Tokyo.

Ketika gempa terjadi, orang Jepang mengetahui apa yang harus dilakukan seperti menghindari kepala dari reruntuhan, lari ke tempat yang aman dan membawa tas keselamatan yang  dipandu dengan internet disetiap handphonenya dan juga semua kualitas gedung yang dirancang khusus dengan meletakkan alat pegas didasar gedung untuk tahan terhadap gempa sehingga gedung di Jepang tidak runtuh.

Masyarakat di sana sudah siap jika terjadi bencana seperti gempa. Setelah itu  juga di Philipina kami berkunjung ke MMDA, yaitu tempat monitoring bencana yang ada di pusat kota Manila city. Peserta programjuga berkesempatan untuk mengunjungi Yangon University, universitas tertua di Myanmar untuk sharing bersama mahasiswa dan juga dosen yang bergemelut dengan geologi dan geografi.

Dalam kesempatan seperti ini saya juga mempelajari bagaimana orang Jepang dan Asia Tenggara  me-manage sebuah bencana dengan cara berbeda. Hasil diskusi sangatlah  berpengaruh  dan bermanfaat terhadap generasi muda dengan adanya sesi sharing tentang apa yang telah dipersiapkan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat dalam menghadapi bencana.

Oleh karena itu, peran pemuda sebagai agen perubahan sangat penting untuk melakukan kegiatan dan memberi kontribusi dalam permasalahan terkini dengan mencari solusi untuk diaplikasikan di masa yang akan datang.

Peran pemuda juga sangatlah berpengaruh terhadap perubahan di suatu daerah. Dengan mengikuti program pelatihan, konferensi atau pertukaran pemuda seperti PPAN atau yang sejenisnya, diharapkan akan tercipta banyak agen perubahan.

Selain dapat memacu para pemuda lain menjadi agen perubahan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, program ini membuka kesempatan luas untuk mempelajari hal-hal baik dari negara-negara lain yang barangkali dapat pula diterapkan di Indonesia dan di Aceh tentunya.

Penulis bernama Hidayatul ‘Azizi, delegasi Indonesia dalam Pertukaran Pemuda Antar Negara 2015 ke Jepang dan Asia Tenggara (SSEAYP) melaporkan dari Tokyo, Jepang

Foto: internet