Antara Bendera dan Pilkada
Melihat permasalahan yang sedang melanda bumo tanoh rencong yang mulia ini, penulis ingin memuat sedikit wacana serta gagasan.
Qanun Bendera dan Lambang Aceh telah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sejak 2013 lalu. Namun implementasi qanun ini masih belum bisa dilaksanakan karena hingga kini masih belum disetujui pemerintah pusat melalui Kemendagri.
Menilik persoalan bendera bulan bintang yang belum terselesaikan hingga kini membuat jenuh masyarakat Aceh dengan menunggu kepastian dari pemerintah pusat. Rakyat Aceh sudah tidak sabar menunggu kepastian pemerintah pusat terkait disahkannya bendera bulan dan bintang.
Karena persoalan mengenai bendera itu merupakan amanah yang dimuat dalam perjanjian damai antara RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki 10 tahun yang lalu.
Namun mencermati pernyataan sikap DPRA dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) dari Fraksi Partai Aceh yang dibacakan oleh Abdullah Saleh, yang mengatakan, “Kami DPRA dan DPRK seluruh Aceh mendesak Pemerintah Aceh dan pemerintah pusat untuk mengimplementasikan MoU Helsinki dan UUPA secara konsisten dan menyeluruh. Mendesak pemerintah kab/kota untuk melaksanakan Qanun nomor 3 tahun 2013 tentang bendera bintang dan bulan selambat lambatnya tanggal 30 april 2016, Apabila dalam jangka waktu yang telah ditetapkan eksekutif se-Aceh tak berani mengibarkan bendera bulan bintang, maka DPRA dan DPRK kab/kota akan menolak Pilkada 2017.” (http://klikkabar.com/2016/03/01/jika-bendera-aceh-tak-berkibar-dpra-ancam-boikot-pilkada/).
Orang boleh setuju dan boleh tidak tentang pernyataan sikap tersebut karena tergantung masyarakat dari sisi sudut pandangan mana melihat pernyataan ini, namun pandangan Abdullah Saleh terlihat mencampur adukan dua dimensi yang berbeda.
Disini penulis ingin sedikit memberikan pendapat bahwa penulis kurang setuju terhadap sikap pernyataan tersebut karena siapa saja boleh mendesak agar pemerintah pusat segera mengimplementasikan Qanun tersebut akan tetapi sedikit melenceng apabila DPRA maupun DPRK serta segelintir politisi Aceh mencampur-adukkan masalah bendera dengan pilkada, karena ini merupakan dua dimensi yang berbeda yang tidak ada kerterkaitannya sama sekali.
Pilkada berada dibawah payung pengawasan/pelaksanaan KIP sementara DPRA merupakan lembaga legislasi. Ini juga akan memunculkan pencitraan buruk dari masyarakat terhadap DPRA maupun DPRK karena ini terlihat seperti melebih-lebihkan persoalan yang ada, seolah-olah dengan terimplementasikannya bendera merupakan harga mati untuk Aceh.
Tetapi tidak salah bila mendesak pemerintah segera mengimplementasikan qanun tersebut namun bila mengkaitkan persoalan bendera dengan mengancam akan memboikot pilkada tahun 2017 nantinya akan berdampak buruk bagi Aceh sendiri, karena dilaksanakannya pilkada merupakan salah satu cara mencapai perdamaian di daerah ini.
Karena pilkada mempunyai tujuan, yaitu bagaimana perdamaian dan stabilitas tercapai tapi saat yang bersamaan demokrasi juga dibangun. Justru dengan adanya pilkada kita dapat menyelesaikan masalah secara arif.
Apabila DPRA maupun DPRK mengancam akan memboikot pilkada demi tercapainya keinginan masyarakat Aceh selama ini yaitu terimplementasikannya qanun mengenai bendera, bukan menyelesaikan masalah yang ada namun akan memperkeruh dan memunculkan masalah yang baru.
Dengan ini penulis sangat berharap agar kita dapat membuka mata kita mengenai permasalah internal yang belum terselesaikan, sehingga kita nantinya dapat menambah wawasan ilmu pengetahun baik itu untuk semua yang membaca tulisan maupun untuk penulis sendiri.
Penulis bernama Muhammad Husaini Dani, mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Syiah Kuala.