9 November 2016 Oleh Abdul Hadi Off

Kenangan yang Hilang

Aku rindu masa ketika aku masih mengeja huruf hijaiyah bahasa Arab. Satu persatu huruf terucap dari bibirku yang mengikuti setiap suara yang keluar mengikuti irama.

Disebuah rumah kecil yang jaraknya sekitar 10 meter dari rumahku. Satu persatu diantara kami dipanggil untuk dilihat sebaik apa sudah bacaan kami. Sedangkan yang lain akan keluar dan bermain-main sambil melirik pohon jambu biji di depan rumah ustad Zul.

Ketika usiaku bertambah dewasa, saat aku duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, aku mengaji ditempat yang berbeda. Kini jaraknya lima puluh meter dari rumahku. Sayup suara tasbih imam di Meunasah Gampong Bukit Pala masih terdengar mengalun di telinga. Sedangkan aku, adik, dan temanku yang lain berjalan perlahan menuju rumah Mak Chik tempat kami mengaji, sambil memeluk Alquran di dada kami.

Langkah demi langkah berayun, sesekali mereka menakuti dengan cerita-cerita mistis yang terdengar konyol.

“Kita kan pegang Alquran, mana ada hantu,” kataku.

Sahutan itu membantu sesaat melawan ketakutan kami. Namun yang menjadi hal yang menyenangkan adalah kami selalu berlari kejar-kejaran ketika lima meter di depan pintu masuk dan berteriak, “Hantuuuuuuu.”

Hahahaha, itu adalah momen indah yang takkan terulang. Seiring besar dan tuanya aku, semua pun berubah. Waktu terus berjalan dengan tak kenal belas kasihan dan tak mengerti kenangan.

Aku terus mengaji ditempat yang berbeda, kini di sebuah dayah kecil di Gampong Pasir Putih, Kabupaten Aceh Timur. Bersebelahan dengan mesjid Al-Abrar Teungku Di Aceh. Bermodalkan bacaan Alquran yang kudapat dari para guru, kuberanikan diri untuk membuka kitab Arab yang tak berbaris.

Aku tidak tahu apa, hanya kunikmati kebersamaan bersama teman baruku di sana. Dimulai sejak senja menenggelamkan dirinya kedalam malam dan sebagai gantinya ia panggilkan bintang menemani rembulan.

Aku masih ingat waktu itu, aku dan teman di kelas mengaji, kami terlupakan tugas hafalan di Kitab Awamel mengenai pembagian noq, hanya beberapa dari kami yang bisa. Alhasil, sebab perjanjian telah diucap, kami harus berdiri sambil menghafal dan menjadi perhatian semua kelas saat itu.

Bayangkan saja semua mata tertuju pada kami bagaikan busur panah dilempar secara bersamaan ke satu tujuan. Ditambah lagi yang melihat adalah kepala pimpinan dayah. Namun semua berlalu mengayun bagai melodi hidup.

Hingga waktu membawaku ke lembah penuh cinta, amarah dan ego ketika kakiku menapaki negeri orang. Namun karna jasa mereka, guruku, aku bisa membawa lilin untuk menerangi kehidupan masa depan ku.

Penulis bernama Eva Hazmaini, mahasiswi Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Ar-Raniry.

ilustrasi: riaurealita.com