Demokrasi dalam Islam
Dari dulu, khalayak ditingkat nasional maupun internasional tidak bosan-bosan membicarakan isu kebebasan. Terkait hal itu, Aceh memiliki aturan main sendiri dalam menyikapi demokrasi itu.
Kebebasan dengan panduan keislaman yang disajikan dalam bentuk dan nama Syariat Islam di Aceh, ingin dijalankan sesuai dengan yang tertera dalam Alquran dan hadist.
Sebenarnya, Islam sudah mengajarkan kebebasan dan berdemokrasi bahkan sebelum pemikir non muslim menemukan teori tentang hak-hak manusia. Jika kita menilik sejarah di masa lalu, pada abad ke 14, pembantaian keji terhadap umat Islam dilakukan oleh pasukan Kristen di Spanyol untuk merebut wilayah Islam.
Namun sebaliknya, di abad yang sama, pasukan beragama Islam justru menaklukkan wilayah Kristen dengan cara yang jauh dari keji. Ketia Yerussalem kembali ditaklukkan oleh tokoh Islam asal Turki, Muhammad Al-Fatih, ia bahkan tetap memberikan kesempatan pada non muslim untuk tetap tinggal dengan damai.
Aceh, sebagai daerah dominan muslim, telah lama menerapkan hukum Islam atau yang dikenal syariat Islam. Dalam perjalanannya, sudah seharusnya Syariat Islam tidak dijadikan alat politik oleh siapapun. Jika hal ini terjadi, maka kepercayaan masyarakat Aceh akan penerapan Syariat Islam akan kandas.
Salah satu yang paling dibicarakan oleh khalayak ialah hukuman cambuk. Baik yang dicambuk karena kedapatan berzina, berkhalwat dan lainnya.
Orang-orang yang tidak setuju dengan hukuman cambuk berdalih tentang HAM. Padalah, jika dilihat prosesi cambuk, sudah sangat islami. Karena petugas keamanan, mekanisme cambuk, hingga tim medis disiapkan pada saat hukuman cambuk. Bagi terhukum yang tidak sedang tidak sehat, juga diberikan dispensasi berupa tundaan cambuk. Selain itu, pemberlakuan Syariat Islam juga bertujuan untuk menjaga marwah dan harga diri kita.
Sebelum melakukan sesuatu yang melanggar aturan, merasa malulah dengan Tuhan dan masyarakat sekitar. Ingatlah nantinya, kalau kamu akan di caci atas perbuatanmu yang melanggar hukum seperti berbuat zina, khalwat, maisir, dan lainnya. Tuhan ikut menegur kita semua dengan memberikan beberapa peristiwa, seperti bencana gempa bumi, kebakaran, dan lainnya.
Dulu, nenek saya pernah bercerita tentang kehidupan sosial di masanya yang menurutnya kini sudah hilang. Di masanya, anak-anak sangat terjaga, di kampung maupun di perkotaan, di mana setiap orang tua pasti menganggap semua anak adalah anaknya, sehingga setiap orang tua dapat menegur perbuatan kita yang salah, sekalipun mereka bukan orang tua kandung kita.
Tanpa ada rasa tersinggung, anak yang ditegur pun mengucapkan terimakasih. Hal itu tentu jarang sekali kita lihat di zaman sekarang yang semakin individual.
Menurut nenek saya, sikap individual seperti itulah salah satu yang menyebabkan kehancuran sosial masyarakat Aceh, yang tidak saling menjaga lagi, bahkan kerap tak peduli dengan apa yang terjadi pada orang lain. Namun ia masih bersyukur karena masih ada masyarakat yang mau ke tempat kenduri dan melayat ke tempat orang meninggal.
Kita sebagai makhluk sosial kita harus saling peduli terhadap apa yang terjadi, karena mencegah lebih baik dari pada mengobati. Ungkapan yang sering dipakai para dokter, dan ungkapan itu sepertinya bisa kita terapkan di dalam kehidupan kita sehari-hari dalam menjalani kehidupan sosial.
Ditulis oleh Aprizal Rachmad, mahasiswa UIN Ar-Raniry.