Harapan Besar Dibalik Perubahan Kurikulum Dayah
Pendidikan merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan cerah atau suramnya peradaban suatu bangsa, tidak dapat dinafikan lagi bahwa setiap negara akan selalu memperbaharui keilmuwan serta memprioritaskan peningkatkan mutu pendidikan.
Beranjak dari itu, kita mencoba untuk membuka kembali tirai kejayaan pendidikan di Aceh dalam konteks keilmuwan dayah. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa dayah menjadi lembaga pendidikan tertua yang pernah ada di Aceh khususnya, tentu banyak sekali pengembangan keilmuwan disana.
Saat ini memang kondisi keilmuwan dayah mengalami perbedaan jika dibandingkan dengan masa dahulu namun demikian masih dianggap sebagai tempat yang loyal dalam mencetak kader-kader mumpuni dibidang agama Islam. Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai kurikulum dayah yang cocok untuk masa kini.
Khazanah Keilmuwan Dayah di Aceh
Sebagaimana diketahui dulunya Aceh merupakan wilayah berdaulat, dipimpin raja dan dibentuk pula wazir pemerintahan untuk mengisi jabatan tertentu dalam kerajaan, baik itu berkenaan dengan politik, ekonomi, agama dan juga pendidikan.
Tempat pendidikan populer kala itu salah satunya adalah dayah. Para santri dididik oleh orang-orang yang memiliki kapasitas keilmuwan tinggi, bahkan pada ilmu-ilmu tertentu sulthan memanggil para syekh dari luar negeri untuk mengajari para penuntut ilmu.
Dayah juga mengkaji ilmu-ilmu lainnya seperti ilmu politik, tafsir, ilmu falaq, dan masih banyak ilmu–ilmu yang lain. Pentransferan keilmuwan di dayah memberi keuntungan bagi Aceh karena bisa mendongkrak sumber daya manusia yang potensial sehingga stabilitas bangsa berjalan dengan baik.
Setelah sekian lama, secara berangsur-angsur keilmuwan dayah semakin lama semakin menurun, tadinya belajar berbagai cabang ilmu pengetahuan sekarang hanya belajar ilmu murni saja seperti ilmu ushuluddin, fiqh dan tasawuf. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah:
Pertama, adanya intervensi dari kaum penjajah yang ingin menguasai Aceh sehingga segala cabang ilmu yang dianggap berpotensi dapat mendukung rakyat Aceh dan merugikan penjajah segera dihapuskan. Penjajah memahami betul ilmu yang diajarkan di dayah jika tetap dibiarkan maka akan menjadi “boomerang” bagi kaum penjajah itu sendiri.
Kedua, berkurangnya tenaga pengajar yang ahli dalam bidang ilmu tertentu, karena para teungku ikut berjihad fisabilillah, tidak sedikit diantara mereka yang syahid dalam medan pertempuran, sehingga tidak ada lagi pengganti yang memiliki kapasitas pengetahuan sebagaimana para teungku sebelumnya.
Ketiga pada era-era selanjutnya, fokus terhadap eksistensi dayah itu sendiri semakin pudar, hal ini disebabkan adanya lembaga pendidikan yang bersifat lebih modern.
Mengulang Kejayaan
Beberapa tahun terakhir pergerakan dayah di Aceh dapat dikatakan semakin kearah yang lebih baik, dimana terdapat terobosan-terobosan baru yang ditempuh oleh ulama-ulama kharismatik Aceh, seperti yang dilakukan teungku Hasanul Basri (Abu Mudi) yang memperbaharui wajah dayah dengan mengkolaborasikan antara dayah dan jami’ah (kampus). Dengan demikian cabang ilmu yang dipelajari tentu bertambah juga.
Harus diakui memang ketika pertama sekali kurikulum dayah diubah seperti di Dayah Mudi Mesra, tidak semua orang di Aceh kala itu setuju, ada yang pro dan kontra pada perubahan tersebut.
Namun, setelah melihat kondisi Islam saat ini, memahami, menerima, dan menyesuaikan perkembangan keilmuwan dayah dinilai penting.
Kita semua tentunya menaruh harapan besar di balik perubahan kurikulum dayah akan mampu melahirkan generasi Aceh yang brilian sebagaimana generasi dahulu yang memiliki kapasitas keilmuwan serta semangat dalam membangun agama dan bangsa.
Ditulis Amarullah, Tim Monitoring Kegiatan Mahasiswa Islam Pattani di Aceh.
Ilustrasi: kajianpustaka.com