30 Mei 2017 Oleh Redaksi Off

Puasa sebagai Terapi Kejiwaan, Benarkah?

“Sesungguhnya puasa itu perisai. Maka jika salah seorang dari kamu berpuasa, jangan berkata keji dan kasar. Kalau dia dicela atau hendak diperangi seseorang, hendaklah ia berkata : sesungguhnya aku sedang berpuasa” (HR Bukhari-muslim).

Di sepanjang tahun 2016, hampir sekitar 22.033 kasus orang dengan gangguan masalah kejiwaan di Aceh. Angka tersebut naik dari tahun ke tahun. Masalah ini patut diperhatikan sebab peningkatan jumlah merupakan hal yang sangat serius yang harus kita sikapi.

Banyak para pakar dan peneliti mencoba mencari solusi dari permasalaha kejiwaan yang dihadapi masyarakat. Ada beberapa peneliti yang berupaya mencari solusi dengan terapi obat-obatan. Namun, ada juga peneliti yang mencari solusi dengan berbagai terapi non-medis, yaitu salah satunya dengan berpuasa.

Dalam ilmu Psikologi, seorang ahli bernama Sigmund Freud mengemukakan pada diri seseorang telah dilengkapi dengan 3 piranti psikologis yaitu id, ego, dan superego. Id merupakan dorongan dasar dari manusia yang merupakan suatu kehendak untuk mendapat kesenangan diri, tanpa mengindahkan apakah ini mengganggu orang lain maupun kesantunan lingkungan. Dorongan tersebut berupa dorongan akan makan, minum atau pemuas rasa lapar, juga dorongan seksual yang tujuannya naluri mencari suatu kepuasan fisik maupun batin.

Sedangkan “Ego” adalah jati diri yang sudah mempertimbangkan apakah pemuasan dorongan itu tak mengganggu orang lain ataupun lingkungannya. Contoh, “ego yang tangguh” slogan dimaksud artinya seseorang telah dewasa. Ia mulai dapat mempertimbangkan mana yang baik dan mana yang kurang baik, termasuk bagi diri maupun orang lain atau lingkungannya. Sedangkan Superego adalah piranti psikologis pada diri seseorang yang lebih tinggi tingkatannya, yaitu dapat menunjukkan mana yang baik atau tidak baik bagi perilaku pada diri seseorang, ibarat seorang polisi atau hakim yang dapat memutuskan sesuatu tentang kebaikan atau kesalahan.

Superego menurut Freud ialah dekorum, tata krama, budi pekerti atau peraturan, amanat, adat istiadat dan juga agama-agama yang kesemuanya memaklumatkan suatu kebaikan dalam kehidupan. Nah Orang yang menyadari kewajiban puasa sebagai salah satu pilar iman agama (Islam) yang diyakini seseorang juga merupakan Superego atau kaidah-kaidah terbaik untuk menuju ke kehidupan yang lebih sejahtera. Tentunya disini seseorang harus mampu mengalahkan dorongan “Id”-nya tadi, seperti panggilan rasa lapar, haus dan melampiaskan dorongan seksualnya yang kesemuanya itu sebagai pemuas dasar insting manusia yang menurut Freud, dengan puasa “Id” dilatih menahan pemuas dasar insting manusia.

Puasa merupakan pendidikan yang paling ampuh dalam terapi pengendalian diri bila dilakukan dengan baik. Kemampuan mengendalikan diri sangat penting. Karena dengan mengendalikan diri, seseorang dapat menekan superego yang hampir setiap saat mengendalikannya.

Dalam Islam, sikap perbaikan diri yang luar biasa terjadi pada proses berpuasa. Puasa tidak hanya menahan makan dan minum akan tetapi juga menahan nafsu yang berlebih. Disamping itu, puasa dapat meningkatkan kecerdasan emosional seseorang.Tubuh kita ibarat monster yang rakus, mau enaknya saja. Bisa kita bayangkan jika seluruh keinginan kita harus dipenuhi, hasilnya adalah kehancuran, merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Dengan berpuasa kita akan melatih jiwa kita, bagaimana sebuah pengontrolan akan muncul pada situasinya yang tepat. Jika kita sedang marah kepada seseorang maka kita akan mengontrol diri untuk menahan emosi. Temperamen manusia kadang sulit dikendalikan. Melalui puasa manusia dilatih dan terlatih untuk menahan emsosi. Sebab ada nilai dalam puasa yang mengajarkan bahwa kalau sedang puasa tidak boleh marah, bertengkar dan sebagainya.

Dengan adanya puasa dapat menumbuhkan nilai-nilai persamaan selaku hamba Allah, karena sama-sama menahan rasa lapar dan haus serta ketentuan-ketentuan lainnya. Menumbuhkan rasa perikemanusian dan suka memberi serta peduli terhadap orang-orang yang tak mampu. Memperkokoh sikap tabah dalam menghadapi cobaan dan godaan, karna dalam berpuasa harus meninggalkan godaan yang dapat membatalkan puasa, menumbuhkan sikap amanah (dapat dipercaya), karna dapat mengetahui apakah seseorang melakukan puasa atau tidak hanyalah dirinya sendiri.

Kemudian menumbuhkan sikap bersahabat dan menghindari pertengkaran selama berpuasa, menanamkam sikap jujur dan disiplin, mendidik jiwa agar dapat menguasai diri dari hawa nafsu sehingga mudah menjalankan kebaikan dan meninggalkan keburukan, meningkatkan rasa syukur atas nikmat dan karunia Allah Swt dan Menjaga kesehatan jasmani.

Puasa dan psikis
Hubungan puasa pada psikis seseorang sangatlah erat kaitannya. Ada beberapa penelitian yang menghubungkan dampak puasa pada penyembuhan pasien-pasien dengan gangguan-gangguan kejiwaan.

Bedasarkan sebuah studi yang dilakukan oleh Doktor Nicolayev, seorang Guru Besar yang bekerja pada lembaga Psikiatri Moskow mencoba menyembuhkan pasien gangguan jiwa dengan berpuasa selama 30 hari. Nicolayev membagi penelitian eksperimennya menjadi dua subjek kelompok yang sama besar, baik usia maupun berat ringannya gangguang.

Kelompok pertama diberi pengobatan secara medis menggunakan obat-obatan. Kelompok kedua diterapi dengan berpuasa selama 30 hari. Kedua kelompok tersebut diikuti perkembangan fisik dan mentalnya dengan tes-tes psikologis. Hasilnya banyak pasien yang tidak bisa disembuhkan dengan terapi medic ternyata bisa sembuh dengan berpuasa.

Sementara itu Prof. Dr. Dadang Hawari, Guru Besar Psikitari UI Jakarta dalam penelitiannya juga menemukan bahwa gangguan-gangguan jiwa non psikosis (seperti pobhia, obsesif kompulasi, panic disorder) dapat disembuhkan dengan terapi puasa, baik puasa Ramadhan maupun puasa sunnah.

Masih banyak pakar dan para peneliti, yang terus mengembangkan puasa sebagai terapi psikis bagi kehidupan masyarakat. Pengembangan itu diikuti dengan berbagai model dan cara. Namun pada intinya, yang ditawarkan pada puasa adalah pengendalian diri yang menjadikan seseorang lebih baik.

Aceh, sebagai mayoritas umat Islam, sepatutnya bisa mengandalkan puasa sebagai medan pembelajaran dan pengontrol diri. Tidak hanya dilakukan pada bulan Ramadhan, namun juga bisa dilakukan pada puasa sunnah yang sudah ditentukan berdasarkan hadist shahih.

Bila ada seseorang yang berpuasa namun kejiwaannya masih terganggu. Maka seseorang itu belum melaksanakan puasa dengan benar sesuai dengan kaidah-kaidah Islam. Oleh karena itu, tak heran kita menemukan orang yang frustasi, depresi dan bahkan bunuh diri. Untuk itu, berpuasalah dengan sungguh-sungguh. Insya Allah, tidak hanya fisik dan jiwa yang sehat. Keimanan juga akan meningkat.

Penulis adalah Marziyah, mahasiswi Psikologi Unsyiah. Email: marziyah12mei@gmail.com