26 Februari 2019 Oleh Riska munawarah Off

Kisah Dibalik Predikat Cumlaude Ariga

Sumberpost.com | Banda Aceh – Suasana haru menyelimuti gedung besar yang dipenuhi oleh mahasiswa dan tamu undangan. Hari itu menjadi langkah akhir mereka di kampus biru, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh. Setiap wisuda memang menjadi momen, dimana banyak air mata yang tumpah.

Melihat anaknya menyandang gelar sarjana merupakan impian dan harapan setiap orang tua. Air mata haru melihat putra-putri mereka mengenakan baju toga. Lebih-lebih ketika salah satunya ternyata menjadi mahasiswa terbaik se-Universitas tempat mereka menuntut ilmu selama ini.

Selamat Ariga misalnya, mahasiswa asal Aceh Tengah ini merupakan mahasiswa terbaik UIN Ar-Raniry dengan IPK 3.94. Ia menjadi sarjana lulusan Hukum Pidana Islam dalam waktu tiga tahun setengah.

Kisahnya untuk melanjutkan pendidikan Strata 1 (S1) hingga menjadi mahasiswa terbaik se-UIN Ar-Raniry tidaklah mudah. Ia bahkan sempat membohongi kedua orang tuanya hanya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Ariga merupakan anak ke tujuh dari tujuh bersaudara yang dibesarkan dan dididik dalam keluarga petani kopi di daerah tempat tinggalnya.

Keadaan ekonomi tak membuatnya patah arang dalam menuntut ilmu. Meski kedua orang tuanya tidak mengizinkan dirinya untuk melanjutkan pendidikan S1.

“Dulu orang tua enggak kasih saya kuliah, karena keadaan ekonomi. Orang tua takut enggak ada biaya. Orang tua takut kalau nanti akhirnya saya kecewa karena harus putus kuliah di tengah jalan,” ujarnya.

Niatnya melanjutkan pendidikan, bahkan memaksa dirinya untuk berbohong. Ia membohongi kedua orang tuanya bahwa telah menerima beasiswa.

“Waktu itu bohong sama orang tua. Bilang ke orang tua kalau udah dapat beasiswa. Padahal waktu itu belum dapat. Tapi pokoknya yakin aja. Sampai ngajak kepala sekolah untuk ikut bohongin orang tua. Saya mohon-mohon, nangis-nangis. Pokoknya harus bisa kuliah. Awalnya kepala sekolah enggak mau. Tapi ternyata di depan orang tua saya. Kepala sekolah bilang kalau saya memang sudah dapat beasiswa,” katanya.

Kebohongan yang ia lakukan untuk kebaikan ternyata membuahkan hasil. Dirinya kemudian diterima di UIN Ar-Raniry melalui jalur undangan SPAN-PTKIN. Sebenarnya ada beberapa perguruan tinggi yang juga meluluskannya sebagai mahasiswa. Namun ia memilih UIN, dikarenakan ingin tetap melanjutkan pendidikan yang berbasis agama. Sebelumnya ia merupakan santri di salah satu pondok pesantren di daerah tempat tinggalnya.

Di awal perkuliahan, lagi-lagi ia harus membohongi orang tua, bahwa beasiswa yang ia dapatkan belum keluar. Sehingga ia meminta biaya untuk kuliah pertama dari orang tuanya.

“Saya bohongi orang tua lagi. Saya bilang, beasiswa belum keluar. Jadi untuk biaya kuliah awal. Saya masih minta orang tua dulu. Ayah saya pun akhirnya mendukung. Membiayai untuk kuliah awal. Pokoknya jangan sampai putus asa,” katanya.

Melakukan kebohongan nyatanya tak bisa ia lakukan dalam jangka waktu yang lama. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk mencari perkejaan. Putra pasangan Abd Wahab As dan Siti Kurnia ini kemudian menjadi penyiar di salah satu radio swasta. Selain itu, ia juga menjadi guru Bimbingan Belajar (Bimbel) sekaligus guru les private di perumahan dosen.

Di tengah perjalanan kuliah di semester awal. Ia pun mendapatkan informasi beasiswa Bidikmisi. Niatnya agar mendapatkan beasiswa tersebut membuat dirinya berusaha tak hanya sebatas melengkapi persyaratan penerimaan beasiswa saja. Dalam waktu yang terbilang singkat, ia juga mengumpulkan sertifikat-sertifikat prestasi dan juga kegiatan, yang kemudian menjadi pertimbangan panitia penerima beasiswa.

“Pas ada info beasiswa Bidikmisi. Saya berusaha semaksimal mungkin. Saya enggak mau cuma ngumpulin berkas yang diminta saja. Karena orang lain pasti juga melakukan hal yang sama. Saya mau melakukan hal yang lebih dari orang lain. Hingga dalam waktu yang singkat, saya ikut banyak kegiatan untuk dapat sertifikatnya. Dan Alhamdulillah, saya akhirnya lulus beasiswa Bidikmisi. Nangis, sujud syukur lama sekali. Sampai orang liatin saya. Pokoknya waktu itu saya nggak pikir malu lagi,” ujarnya.

Di mata keluarga dan sahabat
Menjadi mahasiswa terbaik tak melulu harus menjadi seseorang yang kemudian kurang dalam nilai sosial. Ariga merupakan sosok yang sangat mudah bergaul di kalangan teman-temannya. Bahkan ia mengaku, awal menginjakkan kaki ke Ibu Kota Provinsi Aceh, ia menetap di tempat tinggal salah satu sahabatnya.

“Awal saya ke Banda Aceh, saya tinggal sama sahabat saya. Maulana namanya. Itu dari semester satu, kemana-mana dia yang selalu antar saya. Sampai pas semester tiga saya beli sepeda hasil uang beasiswa. Baru pas semester lima akhirnya orang tua memutuskan untuk membelikan sepeda motor. Di situ saya mulai lebih jauh lagi beraktivitas,” ujarnya.

Ariga yang sejak kecil telah menunjukkan tingkat kecerdasan yang berbeda dari anak-anak seusianya tentu menjadi obat untuk keluarga, terlebih ibunya.

“Dari kecil udah keliatan beda, kalau diajak kemana-mana dia pintar. Orang di kampung juga tau sifatnya,” kata Siti Kurnia.

Menurutnya, dirinya sempat tidak mengizinkan Ariga melanjutkan pendidikan tinggi bukan disebabkan ia tak mendukung pendidikan anak. Ia mengaku dirinya tak lagi muda dan kerap sakit. Sehingga takut tidak bisa membiayai kuliah Ariga.

“Usia saya udah tua, udah sering sakit. Nggak sanggup kerja lagi. Karena dari dulu udah kerja berat. Apa aja saya lakuin selama halal untuk biaya pendidikan anak. Tapi untuk kuliah, saya merasa tidak sanggup. Cuma pas tau dia dapat beasiswa. Saya dukung, karena dia udah punya niat,” katanya.

Aktifitas yang padat, kuliah, organisasi serta bekerja nyatanya tidak membuat dirinya dijauhi oleh teman-temannya. Ariga kerap bergabung di sela waktu kosong, atau mengisi acara yang dilakukan oleh organisasinya. Namun demikian, di mata para sahabatnya, Ariga merupakan sosok yang sangat tertutup.

“Kalau bicara tentang Ariga, berbicara tentang sosok yang misterius. Sebab yang pertama dia itu susah di tebak. Karena tiba-tiba saya dapat kabar dia udah di Thailand, udah di sini, udah di sini lagi. Tau-tau udah wisuda. Bahkan yudisiumnya kapan aja saya nggak tau. Tapi Ariga memang sosok pekerja keras, dan sangat mudah berorganisasi,” kata Abdullah yang merupakan sahabat dekat Ariga.

Prestasi yang pernah diraih
Ariga tak hanya meraih prestasi akademik saja. Ia juga kerap meraih prestasi non akademik. Dirinya kerap menjadi pembawa acara dalam berbagai kegiatan baik dalam kampus maupun di luar kampus, seperti pembawa acara pada pionir tahun 2017 sekaligus MC dan Presenter Kementerian Agama. Ia juga merupakan Wakil Dua Duta Wisata Aceh Tengah tahun 2017.

“Alhamdulillah ada beberapa prestasi yang pernah diraih. Pernah ikut program studi banding dari Mesjid Raya Baiturrahman, ke Malaysia, Thailand, dan Singapura,” kata Ariga.

Selain itu, ia juga kerap menjuarai debat hukum di berbagai event. Saat ini Ariga juga telah bergabung di Kejaksaan Tinggi Aceh, sebagai Pramubhakti bidang Pidana Khusus.

Bulan Juni mendatang, ia juga akan melakukan kunjungan ke Amerika selama tiga bulan sebagai peserta dalam Internasional Camp Staff Program of Boys Scout of America (ICPS).

Baginya, kuliah tetaplah nomor satu meskipun banyak melakukan kegiatan lain. Yang terpenting adalah gemar mencari informasi, dan juga mengatur waktu dengan baik.

“Tujuan awal tetap kuliah, jadi kita fokus kuliah. Tapi nggak menutup kemungkinan untuk aktif di tempat lain. Saya juga bergabung di Himpunan Mahasiswa Prodi, dan banyak organisasi lainnya. Dan saya merupakan salah satu orang yang selalu membuat jadwal. Bahkan dari mandi, makan dan sebagainya saya selalu tulis. Kalau sudah saya lakukan saya ceklis,” ujarnya. []

Cut Salma HA