Bener Meriah Dalam Lakon ‘Legenda Gajah Putih’
Lampu-lampu dimatikan. Ruangan seketika menjadi gelap. Hanya sedikit cahaya yang terpancar dari handphone milik penonton. Tak lama, tiga orang laki-laki turun dari atas pentas. Tubuhnya terlihat dari lampu sorot yang baru dinyalakan mengarah ke depan panggung.
Dua diantaranya bergerak menirukan adegan bela diri. Satu dari mereka hanya terus mengawasi dan menyaksikan pergerakan dua orang dihadapannya. Bela diri yang mereka lakukan ini kemudian diketahui menjadi cikal bakal suatu tarian bernama “Tari Guel”.
“Hap, hap, hyak,” suara keduanya lantang sambil terus memberikan jurus bela diri yang dimilikinya.
Tak lama, lampu kembali dimatikan, hanya sesaat. Hingga muncul dua orang perempuan menggunakan pakaian khas penduduk desa zaman dulu. Keduanya membawa tampah yang kemudian digoyang-goyangkan.
Gerakannya baru berhenti, ketika seorang laki-laki datang menghampiri mereka.
“Hai ibu-ibu, sini dulu, kalian sudah dengar belum cerita tentang Sangeda dan Bener Meriah yang mengaku-ngaku sebagai anak raja,” katanya.
Kedua perempuan yang merupakan penduduk desa itu tampak bingung. Mereka melanjutkan pembicaraannya hingga diketahui bahwa raja yang dimaksud adalah Raja Linge ke-13, yang baru saja meninggal di desa seberang.
“Raja yang baru saja meninggal itu? Yang dari seberang?,” kata perempuan yang menggunakan kain batik berwarna merah sebagai penutup kepalanya.
Raja Linge ke-13 adalah seorang Raja, yang memimpin di kerajaan Linge. Kerajaan Linge, merupakan sebuah kerajaan yang terletak di Linge, Aceh Tengah.
Kerajaan ini terbentuk pada tahun 1025.
Setelah berakhirnya Perang Aceh, tahun 1914, Linge (Linggo) masuk Onderafdeling Takengon, sebagai “swapraja”.
Ketiga penduduk desa tadi kemudian melanjutkan pembicaraan. Dua orang yang disebutkan bernama Sangeda dan Bener Meriah dituduh sebagai pembunuh ayahnya sendiri.
Keduanya akan segera dieksekusi dan dipenggal kepalanya. Namun Sangeda melarikan diri. Sedangkan Bener Meriah bertapa di dalam hutan hingga menjelma sebagai gajah putih.
Ruangan kembali gelap. Suara riuh memenuhi isi ruangan, terdengar pula suara raungan gajah, dan kayu-kayu yang terlempar.
Kericuhan terjadi disebabkan oleh amukan gajah putih. Eksekusi ditunda. Kerajaan membuat sayembara dengan memberikan hadiah bagi penduduk desa yang dapat menemukan Sangeda.
Ketiga penduduk desa tadi tentunya ikut mencari Sangeda. Mereka menghadang Sangeda yang kembali mencoba kabur. Sangeda meminta kesempatan kepada penduduk desa untuk bisa berdiskusi. Namun penduduk desa tidak ingin membuang-buang waktu hanya untuk berdiskusi dengan buronan.
“Kami tidak ingin berdiskusi dengan buronan sepertimu,” ujar salah satu perempuan dari mereka.
Sangeda kemudian menujuk tangannya ke arah gajah. Dan kembali berupaya melarikan diri. Namun lagi-lagi penduduk desa menghalanginya dengan menodongkan bambu-bambu runcing.
“Tunggu dulu. Kalau kalian ingin membunuhku, silahkan, bunuh saja. Tapi kalau saya mati, gajah itu akan mengamuk dan membunuh kalian juga. Kita semua akan mati,” kata laki-laki yang menjadi Sangeda.
Penduduk desa tetap tidak percaya, dan bersikekeh untuk membunuh Sangeda.
“Tunggu. Jadi begini saja. Kita buat tawaran. Jika aku tidak mampu menjinakkan gajah itu, kalian boleh memenggal kepalaku. Tetapi kalau aku mampu menjinakkan gajah itu kalian harus membebaskanku. Kita jadi sama-sama untung kan?,” kata Sangeda.
Mereka kemudian mengambil alat-alat yang sekiranya bisa menghasilkan suara. Ada yang memegang penumbuk padi, gentongan, ada pula yang memegang batu sambil dipukul agar menghasilkan suara.
Kemudian Sangeda bersama dengan warga memainkan bunyi-bunyian untuk menjinakkan gajah. Sangeda menemui gajah tersebut dengan memainkan “Tarian Guel” dan berkomunikasi dengan gajah putih.
“Abangku, aku yakin kau bisa lebih ksatria dibandingkan ini,” katanya.
Bener Meriah menolak, baginya ia tak puas jika belum melakukan balas dendam terhadap kerajaan.
“Aku ingin balas dendam,” kata Bener Meriah.
Namun Sangeda berusaha untuk tetap membujuk, ia berjanji, nama Bener Meriah akan tetap abadi.
“Aku berjanji bahwa selama aku masih hidup namamu akan selalu dikenang oleh masyarakat. “Bener Meriah”. Abangku, sudah lama kita tidak bertarung. Aku ingin merasakan bagaimana bertarung melawan jelmaan seekor gajah putih,” ujarnya.
Bayangan gajah yang berada di balik kain putih dengan sorotan lampu pijar berwarna kuning itu kemudian menghilang. Dan muncullah seorang laki-laki dari balik penutup kayu.
Pertunjukan mereka ditutup pula dengan aksi bela diri Sangeda dan Bener Meriah.
Legenda gajah putih dan asal-usul nama Bener Meriah itu diabadikan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa-Komunitas Teater Mahasiswa (UKM-KTM) Rongsokan Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh.
Penampilan teater yang telah digarap satu bulan ini sendiri ditulis dan disutradarai oleh Dendi Swarandanu. Dan diperankan oleh Al Khalily sebagai Bener Meriah “Gajah Putih”, Rizkitullah sebagai Sengeda, Rifar Manani sebagai Guru Beladiri Kerajaan, Rahmad Aulia R, Putri Riswana, dan Marzatillah sebagai penduduk desa.
Peringati Hari Teater Se-Dunia
Pentas teater ini merupakan bagian dari kegiatan dalam peringatan hari teater sedunia. Mengusung konsep Tradisional, UKM Rongsokan juga berharap dapat menjaga tradisi melalui pementasan teater.
“Ketika hari teater sedunia ini dicetus oleh banyaknya teater yang kontemporer, maka kami membawa teater ini dalam tradisional, mengingat juga untuk kita menjaga tradisi,” kata Al Khalily selaku ketua UKM-KTM Rongsokan, Rabu (27/3/2019).
Ia juga mengatakan, dengan adanya penampilan teater ini dapat menambah pemahaman masyarakat yang mulai milenial.
“Dengannya pemahaman masyarakat yang milenial, mungkin bahkan ada orang Aceh Tengah sendiri yang nggak tau sama kisah gajah putih itu sendiri, maka dari itu kami angkat legenda ini,” ujarnya.
Selain pentas teater ini, UKM-KTM Rongsokan juga mengadakan pesta raya yang diisi dengan mural, body painting, musikalisasi puisi, dan juga talk show dengan tema “Membentuk mental dan karakter”, yang diadakan di Museum UIN Ar-Raniry.[]
Cut Salma H.A