Pemecatan Redaksi Suara USU dinilai Melanggar Kebebasan Pers
Sumberpost.com | Banda Aceh- Keputusan Rektor Universitas Sumatera Utara (USU), Runtung Sitepu mencabut status keanggotaaan seluruh awak Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suara USU pada 25 Maret 2019 lalu telah melanggar hak warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.
Pasal 28C Undang-undang Dasar 1945 menjamin hak setiap warga negara mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
Selain itu, Pasal 28F Undang-undang Dasar 1945 juga menjamin hak setiap warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Hal tersebut dikemukakan dalam acara diskusi bertema “Mengapa Rektor Takut Cerpen?” yang diadakan oleh Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI) di Hongkong Cafe, Jakarta Pusat, Minggu, (31/3/2019).
Diskusi yang mengulas tentang kasus yang menimpa LPM Suara USU itu menghadirkan tiga pembicara, yaitu Ketua Umum FAA PPMI Agung Sedayu, Sekjen AJI Indonesia Revolusi Riza, dan Divisi Advokasi LBH Pers Gading Yonggar Ditya. Rektor Universitas Sumatera Utara, Runtung Sitepu yang sempat diundang sebagai salah satu pembicara tidak bersedia datang.
Kasus yang menimpa Suara USU bermula dari cerita pendek (cerpen) “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya” karya Yael Stefany Sinaga yang dimuat di suarausu.co pada 12 Maret lalu.
Pihak rektorat mempermasalahkan cerpen itu karena dianggap mengandung unsur pornografi dan mendukung LGBT. Pada 25 Maret, Runtung Sitepu mengeluarkan surat keputusan yang berisi mencabut status kepengurusan seluruh anggota LPM Suara USU.
Dalam pertemuan itu, berdasarkan informasi dari pihak Suara USU, Runtung juga melarang Suara USU untuk menghimpun massa. Runtung bahkan mengancam masa depan akademik mereka.
“Saya akan gunakan Pimpinan Fakultas, setelah ini saya akan panggil dekan,” ujarnya.
Selanjutnya setiap anggota Suara USU akan dipantau akademiknya.
Cerpen itu dianggap mengandung unsur pornografi karena ada kalimat “Kau dengar? Tidak akan ada laki-laki yang mau memasukkan barangnya ke tempatmu itu. Kau sungguh menjijikkan. Rahimmu akan tertutup. Percayalah sperma laki-laki manapun tidak tahan singgah terhadapmu.”
Gading menyatakan keputusan rektor USU itu janggal.
“Saya sudah baca cerpen itu, tidak ada unsur pornografinya. Kata ‘sperma’, dan ‘rahim’ itu kata baku yang sering digunakan di kajian ilmiah,” ujarnya.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, pornografi bermakna penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi atau bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi.
“Erotisnya dan membangkitkan nafsu berahinya dimana?,” katanya.
Mengenai tudingan bahwa cerpen itu mendukung bahkan mengkampanyekan LGBT, menurut Gading tudingan itu juga tidak beralasan.
“Konteks tulisan tidak merujuk pada pengkampanyean, itu sekedar bercerita tentang bagaimana kaum minoritas didiskriminasi, bukan kampanye,” ujarnya.
Sekjend Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Revolusi Riza mengatakan pemecatan dan pelarangan seluruh awak redaksi Suara USU untuk melakukan aktivitas jurnalistik telah melanggar kebebasan pers serta hak publik untuk memperoleh informasi.
Menurutnya, pers mahasiswa adalah bagian dari pers karena pers mahasiswa melakukan kerja-kerja jurnalistik.
“AJI mengakui pers mahasiswa sebagai bagian dari Pers Indonesia. Pers mahasiswa melakukan kerja-kerja jurnalistik, produk mereka juga memenuhi kaidah jurnalistik,” ungkapnya.
Ketua Umum FAA PPMI Agung Sedayu menambahkan pemecatan terhadap para awak redaksi Suara USU merupakan tindakan yang berlebihan.
“Persoalan cerpen yang belum jelas kesalahannya namun berujung pada keberangusan lembaga pers mahasiswa. Sehingga ini bukan hanya persoalan pemberangusan kemerdekaan berekspresi, namun sekaligus pelanggaran terhadap hak untuk memperoleh dan menyampaikan informasi pers mahasiswa dan masyarakat. Hak itu dijamin oleh konstitusi,” ujarnya.
Saat ini memang ada kecenderungan peningkatan kasus pengekangan pers mahasiswa oleh pihak kampus. Sikap represif kampus terhadap pers mahasiswa tidak hanya di alami oleh LPM Suara USU.
Berdasarkan catatan FAA PPMI sejumlah kasus serupa juga dialami oleh lembaga pers mahasiswa di berbagai kampus. Berdasarkan riset yang dilakukan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) sepanjang 2013-2016 terdapat 133 kasus kekerasan terhadap pers mahasiswa.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 65 kasus justru dilakukan oleh pihak birokrasi kampus berupa intimidasi, perampasan media, hingga penyegelan sekretariat.
“Ini terjadi di kampus-kampus di berbagai daerah,” ujarnya.
Karena itu FAA PPMI meminta seluruh perguruan tinggi di Indonesia untuk menghormati dan mendukung pemenuhan hak lembaga pers mahasiswa dalam mencari, mengolah, dan menyebarkan informasi melalui karya jurnalistik.[rel]