Meletakkan Hidup pada Tempatnya
Aku ingin meletakkan hidup pada tempatnya. Seperti yang diinginkan orang-orang; bagun pagi, mandi, lalu menyeruput kopi di teras rumah.
Tapi, Apakah hidup memang benar di situ? Jika iya, maka aku tak akan pernah bisa meletakkannya. Sebab, aku, kata orang, terkena penyakit insomnia. Aku tak pernah berpikir tentang itu, yang jelas malam begitu indah untuk berpikir hal remeh-temeh atau bahkan serius. Lantas, aku bertanya di mana seharusnya manusia meletakkan hidupnya?
Temanku Salma, yang baru saja berkenalan beberapa hari lalu, diletakkan hidupnya di dalam kurungan. Diletakkan. Ibunya yang meletakkannya di sana. Ia sedang direhabilitasi.
“Butir-butir itu membuang kebusukan yang pernah aku lakukan, seperti hidup hanya permainan,” ujarnya.
“Hidup memang permainan, antara kita dan tuhan. Tanpa memikirkan kuota dan daya,”
Tanpa ia sadari, Salma telah membuang hidupnya ke jurang di sepanjang jalan menuju Takengon dan ibunya berharap bisa menyelamatkannya, menarik tangannya sebelum benar-benar tergelincir ke bawah yang dalam sekali.
Aku benar-benar ingin meletakkan hidup pada tempatnya, pikirku. Salma datang dan duduk di sampingku setelah ia mengepel lantai. Matanya menatap ke atas. Kukira dia sedang melihat buah mangga, ia kejang-kejang. Jidatnya merah, itu yang kulihat sebelum lari dan berteriak memanggil petugas.
“Bang…bang!”
Malam itu aku melihat Jumala sedang membaca di sofa, di depan telivisi. Waktu hampir dini hari, batas kami berlama-lama pada malam. Ia masih membaca buku yang sama seperti malam-malam kemarin, “Orang Atjeh” buku itu. Jumala pernah berbisik padaku, “Hei lihat abang Ismail yang membawa obat sakit kepala itu, begitu ganteng dengan pakaian putihnya, aku ingin menikah dengannya,”. Mungkin, itu sebab ia terus membaca buku itu, ia ingin lebih tau tentang Aceh, pikirku.
Di dekat pintu toilet ada Riska yang duduk bersandar sembari mengisap rokok. Wajahnya lesu tak seperti biasanya. Mungkin ia teringat Salma, pikirku, dan aku juga. Nanti aku ingin mengunjungi makamnya.
Aku menyisir rambut panjangku, memakai lipstik berwarna merah dan bedak. Kupandang cermin yang menjadi cerminan diriku selama ini, “Kita akan segera berpisah, aku mau pulang,”. Petugas telah memanggilku berulang kali. Mereka siap mengantarku. Aku pulang. Ayah dan ibu di luar kota, tak ada waktu menjemputku. Semalam aku berpikir untuk tidak pulang dulu, sebelum ayah dan ibu kembali.
Tapi Psikiater berkata, “Kau sudah pulih, tapi ingat jangan menjilat dunia lagi. Pulanglah ke rumah sebelum benar-benar pulang ke palung,”. Palung? begitu menyeramkan kata-kata itu. Meskipun aku tak mengerti apa maksud kalimat psikiater tua itu. Aku takut palung yang dalam, aku pernah jatuh kesana tapi pada palung yang lain, palung kehidupan.
Petugas A sudah menunggu di depan. Ia tersenyum kepadaku saat aku menunggu pintu dibuka petugas lainya. Petugas A sangat baik padaku. Ia membuka pintu mobil untuk ku, tapi kami sempat mengobrol di depan mobil.
“Di mana manusia seharusnya meletakkan hidupnya?” tanyaku.
“Di sini!” katanya sambil menunjuk ke dadanya. Hati? Ah, mana mungkin, pikirku. Aku masuk ke dalam mobil. Aku pulang.
“Taukah kau di mana makam Salma?” tanyaku pada petugas A. Tiba-tiba aku kepikiran Salma, ketika melihat sebuah kecelakaan di jalan pulang. Petugas A langsung mengiyakan permintaanku. Mobil melaju kesana.
Sejauh mataku memandang, pemakaman itu sepi. Ada sedikit keramaian manusia di bagian utara. Tapi mereka tidak ribut, hanya diam sambil menatap ke bawah.
“Di sana!” kata petugas A, menunjuk ke arah keramaian itu. Makam Salma ada di sebelah sana. Kami berjalan ke sana. Aku berdoa di depan makamnya. Bagaimanapun, Salma temanku, meski kami baru berkenalan. Aku teringat kenangan di bawah pohon mangga.
Suara lantunan selawat dari makam sebelah mengalihkan lamunanku. Aku berpaling ke arah itu. Melihat kain putih yang padat diletakkan ke dalam tanah. Aku berpikir apakah di sana manusia meletakakan hidupnya? Jika benar, maka kita harus mempersiapkan kain putih, orang-orang yang meletakkan aku nanti. Aku ingin meletakkan hidup di tempatnya!
Adli Dzil Ikram, Penikmat Sastra. Email: adzilikram04@gmail.com