Euforia Game Online: Mengkonfirmasi Masa Depan Aceh Divirtualkan
Sumberpost.com – Aceh, daerah di Indonesia dengan pemeluk agama Islam terbanyak, kebudayaan yang kental dengan nilai-nilai agama, keramah-tamahan menjadi sifat wajib dimiliki oleh setiap warganya. Sikap saling sapa dan bercengkarama ditemani segelas kopi saring dan kue timphan menjadi pandangan yang sangat lumrah hampir di seluruh pelosok Aceh, bahkan sepanjang hari warung kopi di Aceh tidak pernah sepi.
Dengan demikian, penulis rasa tidak keliru bila Aceh selain dikenal sebagai bumi Serambi Mekkah juga diberi label daerah sejuta warung kopi. Konon warung kopi di Aceh digunakan untuk tempat bertukar pikiran, menyusun rencana, transaksi perdagangan. Warung kopi di Aceh bisa menjadi pasar, menjadi tempat diskusi pembelajaran, bahkan tempat berdakwah.
Namun ada pergeseran kebiasaan yang terjadi pada tingkah laku anak muda, terkhusus seputaran kota Banda Aceh. Konon warung kopi menjadi wadah silaturrahmi kini malah memiliki fungsi yang jauh melenceng dan terdegradasai dari fungsi silaturrahmi, sapa-menyapa sudah kurang didapati, pemuda kini kehilangan jati diri. Bermodal gadget memilih kursi duduk tanpa basa basi, rasa peduli kini hanya ilusi.
Miris rasanya bila kita kilas balik pada masa penjajahan dulu, pahlawan Aceh menjadikan warung kopi sebagai tempat menyusun strategi perang, tempat berkumpul rapat, sebut saja Teuku Umar, bahkan sebelum ia Wafat menitipkan pesan “Beungoh singoh geutanyo jep kupi di keude Meulaboh atawa ulon akan syahid”(besok pagi kita akan minum kopi di warung Meulaboh atau saya akan syahid).
Begitu fitalnya peranan warung kopi dalam kilas perjalan sejarah bangsa Aceh, bahkan pemimpin Aceh yang hendak berlaga dalam kontestasi Pilkada menjadikan warung kopi Basecamp penyusunan rencana. Menjelang pilkada warung kopi disulap bak tempat pertemuan antar timses, itu dilakukan sudah sejak sangat lama.
Namun pemuda kini lupa akan fungsi warung kopi yang konon diwariskan oleh pendahulu kita, yang ada saat ini, mengunjungi warung kopi hanya untuk bermain game dan mengeluarkan sumpah serapah, warung kopi sudah seperti kebun binatang dan hampir semua binatang dipanggil dan disebut keras-keras namanya.
Padahal dengan adanya SmartPhone lebih memudahkankan kita untuk mengimplementasikan fungsi warung kopi, sekarang hanya segelintir pemuda yang produktif di warung kopi, mampu memanfaatkah teknologi untuk berkreasai. Yang disayangkan presentasenya tidak lebih 20% populasi konsumen warung kopi yang mampu melihat peluang itu sebagai industri kreatif.
Tak ayal penulis bermimpi buruk, jika prilaku pemuda Aceh seperti ini terus-menerus dipertahankan maka dengan demikian kita sedang mengkonfirmasi masa depan Aceh yang akan divirtualisasi. Kedepan tidak ada kehidupan nyata di Aceh, strategi perang disusun dalam telepon genggam, Indonesia terancam tak punya kreator nyata. Dengan demikian ketangguhan bangsa ini mulai berkurang, dan ini bukan kabar baik untuk bangsa kita.
Padahal kita sadar dan tahu betul bahwa Majelis Permusyawaratan Aceh (MPU) Aceh telah mengharamkan permainan Game terserbut, hal ini tertuang dalam Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Nomor 3 tahun 2019 tentag Hukum game Player Unknown’s Battlegrounds (PUBG) dan sejenisnya.
Besar harapan penulis setelah MPU mengeluarkan Fatwa haram sudikiranya MPU dan jajaran yang menaungi hal ini untuk melakukan sidak kepada pelanggar dan memberi efek jera. Agar peraturan ini tidak hanya menjadi indah pada pembahasan dalam ruang sidang, juga terang pada implementasinya.
Masa depan Aceh ada di tangan pemuda, namun pemuda Aceh lebih bangga bergaul di dunia maya ketimbang dunia nyata, sehingga rasa social hanya berupa insta story saja, tanpa gerakan saling peduli dan saling menyapa.
Beberapa warung kopi hening dengan percakan pemuda membahas isu politik dan rancangan masa depan bangsa. Jika Aceh terjerumus maka dikonfirmasi pula masa depan Indonesia menjadi tak nyata, Indonesia hanya akan indah dalam story WA, dan ini bisa saja menjadi alasan bubarnya Negara, sebab kepekaan pemuda sudah tidak ada.
Semoga Aceh baik-baik saja, Indonesia juga pada umumnya. Kita ingin selalu ada pewaris di setiap tahta, demikian pula tahta Negara, bangsa ini akan diwariskan pada kita pemuda, jika kita masih nyaman dan terjebak dalam permainan kapan penataan menjadi pewaris kita lakukan.
Teruntuk pembaca tulisan ini, ayo sama-sama berbenah diri. Orang tua kita sudah lelah dan ada di akhir penugasan. Kitalah yang akan menjadi penggantinya. Apakah kita sudah menyiapakan bekal untuk duduk di kursi itu dan menjadi bagian orang-orang yang akan memakmurkan negeri?.
Apakah kita sudah siap dengan desain kemakmuran? Sebentarlagi kita tak lagi di kampus wahai mahasiswa, kita akan terlempar dalam dunia nyata, sudah siapkah kita? Tanya pada diri masing-masing kita.
Dengan momentum peringatan hari pahlawan, penulis berharap kepada pemuda Aceh khususnya, dan pemuda Indonesia umumnya. Mari hidup di dunia nyata, game boleh sebagai hiburan pelepas penat kepala, tapi jangan jadikan game sebagai kebutuhan sehingga kita lupa diri akan fungsi sebagai generasi penerus bangsa Agent of chage, Agent Of Control dan pemegang estafet kepemimpinan berikutnya.
Jika kita masih terlelap dalam dunia maya, kapan kita akan merancang dunia nyata, dan menyatakan diri kita sebagai generasi emas Aceh 10 hingga 20 tahun kedepan. Harapan terakhir kepada pemimpin bangsa mohon sedikit peduli, buka ruang diskusi agar pemuda tidak melulu ada di insta story, penulis berharap warung kopi bisa menjadi wahana literasi, mempertajam nalar dan analisa dalam ber asumsi. Semoga dengan tulisan ini semua element mengerti dan tersentuh untuk bergerak cepat memperbaiki.
*Fazil Rinaldi, Penulis merupakan mahasiswa Program Studi Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry.